Kanal

Ketakutan Warga Rempang Kini, Pilih Diam Atau Dianggap Provokator

“Kami tidak mau pindah. Kami lahir di sini, ini tanah leluhur kami. Manalah kami mau tinggalkan mereka (leluhur),” ujar salah seorang warga Sembulang Tanjung, Pulau Rempang, Batam yang enggan menyebutkan namanya saat menceritakan kondisi saat ini di tanah Rempang kepada Inilah.com.

Sebut saja namanya Somad, nama samaran yang diucap karena ia mengaku tidak tahu lagi harus percaya atau tidak dengan orang yang baru ia kenal ketika datang ke wilayahnya.

Menurutnya, belakangan ini sempat beberapa kali orang dari luar pulau tiba-tiba datang pascakericuhan yang terjadi di depan Kantor BP Batam 7 September lalu, entah dari polisi berpakaian sipil atau dari wartawan.

Kini sebagian besar warga Rempang memilih untuk mengunci mulutnya daripada langsung diamankan penegak hukum karena dianggap sebagai provokator.

Apa yang dialaminya itu ternyata tidak berbeda dengan yang disampaikan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

KontraS menyebut insiden bentrokan antara warga Pulau Rempang dengan aparat gabungan menimbulkan rasa ketakutan yang dialami warga.

Hal itu dibeberkan KontraS berdasarkan hasil investigasi usai insiden penolakan rencana relokasi warga demi Proyek Strategis Nasional (PSN) Eco City di pulau tersebut.

Beberapa fakta yang terlihat di lapangan adalah, kehadiran aparat yang menempati lima posko di jalan akses menuju Pulau Rempang. Terlebih lagi dengan posko yang dibangun warga di Sungai Buruh Simpang Sembulang, namun kini dipenuhi aparat gabungan yang berjumlah puluhan.

Tak hanya itu, KontraS juga merilis aparat penegak hukum menempati Rumah Sakit Khusus Infeksi (RSKI) dan Kantor Kecamatan Galang di Sembulang. Ketakutan warga semakin bertambah dengan banyaknya aparat yang berlalu lalang di permukimannya dan menempati posko-posko yang biasanya ditempati warga untuk berkumpul.

Aktivitas mereka yang kebanyakan melaut untuk mencari ikan pun terpaksa berhenti, sehingga merugikan perekonomian warga Rempang. Para nelayan itu khawatir dengan kondisi keluarga yang ditinggal, jika harus melaut.

Fokus utama mereka adalah mempertahankan kampung mereka dari pematokan (lahan). Mereka memikirkan nasib anak dan istri di rumah yang dikhawatirkan akan diamankan petugas.

KontraS pun meminta Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) melakukan investigasi independen dan menetapkan kasus Rempang sebagai peristiwa pelanggaran HAM. Selain itu, mereka meminta Ombudsman RI untuk meneliti dugaan maladministrasi dalam kasus Rempang, khususnya dalam penentuan PSN, proses relokasi warga dan peran BP Batam.

Dalam temuan investigasinya, KontraS mencatat sebanyak 20 warga sipil mengalami luka berat dan ringan usai bentrokan dengan aparat gabungan pada 7 September lalu.

Sementara itu di SMPN 22 Batam, terdapat 11 korban luka terkena gas air mata yakni 10 siswa dan seorang lagi tenaga pengajar. Bahkan satu orang bernama Ridwan terkena peluru karet dan harus mendapat 12 jahitan di tubuhnya.

KontraS menilai pengerahan aparat gabungan seperti Polri, TNI, Satpol PP, serta Ditpam Batam yang berjumlah 1.010 personel ketika itu berlebihan. Ditambah lagi dengan 60 kendaraan taktis seperti mobil water cannon, mobil pengurai massa, dan APC Wolf.

“Fakta bahwa kehadiran aparat telah nyata berimplikasi pada munculnya ketakutan di tengah masyarakat,” demikian keterangan yang disampaikan KontraS.

Imbas dari itu semua, warga masih terus dihantui oleh rasa ketakutan, mulai dari intimidasi serta kehilangan tempat tinggal. Jika kembali menyuarakan tuntutannya pun khawatir akan dianggap sebagai provokator dan langsung diamankan petugas.

Sejatinya warga hanya ingin berkumpul membicarakan nasib mereka ke depannya, namun karena sudah tak saling percaya satu sama lain akhirnya warga memilih bungkam.

Seperti yang diakui Zulkifli, warga Sembulang lainnya yang kini bingung harus memilih antara daftar untuk relokasi atau menolak dan bertahan di Sembulang. Jika memang setuju direlokasi, maka ia harus rela meninggalkan pekerjaannya di laut.

“Kami bisa apa di rumah susun, kapal kami bagaimana. Kalau kami disuruh relokasi, akan dibangunkan rumah tipe 45, kapan dibangunnya? Bangun unit rumah begitu butuh waktu, tidak sebentar. Sekarang kami disuruh relokasi, kerja apa kami jauh dari laut?” keluhnya.

Ayah dua anak ini mengaku tidak bisa lagi berkumpul bersama warga lainnya karena kerap dicurigai. Padahal dirinya hanya sekadar ingin bersama-sama mencari kejelasan nasibnya bersama keluarga.

“Kalau kita berkumpul, kita dibilang ngompor-ngompori, berkumpul sebentar susah. Tetua kami sudah bungkam, tak mau lagi bicara soal nasib kita. Soalnya sekarang intel sudah banyak masuk kampung kami,” ujarnya ketika ditemui Inilah.com.

Daftar Relokasi

Sejatinya BP Batam memberikan tenggat waktu pendaftaran mulai 11-20 September, namun karena masih banyak warga yang belum mau mendaftar maka masa pendaftaran diperpanjang.

Kepala Biro Humas dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait menjelaskan pihaknya masih menunggu arahan dari pemerintah pusat mengenai batas pendaftaran. “Kita bersifat dinamis, kami ikuti arahan dari (pemerintah) pusat saja,” katanya.

Menurutnya pendaftaran itu berlaku utuk 16 kampung Melayu, namun BP Batam memfokuskan di empat kampung di Kelurahan Sembulang saja.

Empat kampung itu di antaranya Sembulang Hulu, Sembulang Tanjung, Pasir Panjang, dan Pasir Merah.

Warga menolak mendaftar untuk bersedia direlokasi adalah bukan tanpa alasan. Salah satunya yakni belum terwujudnya rumah tinggal yang dijanjikan pemerintah sebagai pengganti.

Warga hanya diberikan gambar rumah di dalam brosur yang dibagikan oleh BP Batam, sementara wujud rumah aslinya belum ada. Jika saja pemerintah sudah terlebih dulu menyediakan tempat tinggal pengganti untuk warga tentunya tidak akan timbul penolakan oleh warga yang berujung kericuhan.

“Hidup kami harus tetap jalan, anak kami tetap harus sekolah. Kami tidak mau sengsara karena tinggalkan kampung kami. Anak kami tidak boleh ketakutan, bagaimana sekolah mereka?” kata warga Rempang yang tak mau disebut namanya saat ditemui Inilah.com.

Ia mengaku tidak yakin dengan yang ditawarkan BP Batam terkait tempat tinggal pengganti. Sehingga ia menegaskan tetap akan bertahan dan meneruskan aktivitas melautnya bersama sang anak.

“BP Batam saja tidak ada anggaran, mau biayai hidup kita, mau bangun kota baru. Hidup kami harus tetap jalan, anak kami tetap harus sekolah. Kami tidak mau sengsara karena tinggalkan kampung kami. Anak kami tidak boleh ketakutan,” tegasnya.

Keseharian Warga Rempang

Inilah.com menyempatkan diri memasuki kawasan yang terdampak proyek Rempang Eco City sekaligus berkeliling melihat kondisi terakhir di empat kampung yang ada di Keluarahan Sembulang, Kecamatan Galang, Pulau Rempang.

Di kawasan itu banyak terdapat spanduk bertuliskan tempat dan waktu pendaftaran relokasi untuk warga Rempang yang bertempat di Kantor Kecamatan Galang Rempang dan Kantor Koramil di RSKI.

Tampak sejumlah posko dengan tenda-tenda darurat yang diisi oleh petugas BP Batam dengan didampingi aparat penegak hukum, baik yang berpakaian dinas maupun pakaian sipil. Mereka terlihat intens melakukan komunikasi menggunakan handy talky (HT).

Ini menjadi pemandangan sehari-hari yang dilihat oleh warga Rempang pascakericuhan. Sehingga tidak heran jika warga terus dihantui oleh rasa kekhawatiran yang berlebih. Karena belakangan ini banyak terlihat wajah-wajah baru yang dipastikan bukan warga setempat yang berprofesi sebagai nelayan.

Selain sebagai nelayan, warga Sembulang juga kerap mengantarkan para pemancing ke tengah perairan dalam menggunakan perahu dengan harga sewa Rp800 ribu dari malam hingga pagi hari.

Kemudian warga nelayan lain biasanya beraktivitas memasang jaring, memiliki kolong pantai, mencari rumput laut, menangkap udang, serta memancing ikan untuk dijual sekaligus untuk makan sehari-hari. Dari melaut, rata-rata penghasilan warga sekitar Rp60 ribu hingga Rp100 ribu per hari.

Selain melaut, warga juga memiliki kebun buah-buahan yang bisa dipanen dan dijual seperti mangga, cempedak, jengkol, dan pete. Inilah sebenarnya yang menjadi dasar mengapa warga tidak mau direlokasi.

Bahkan ada sebuah pohon cempedak berukuruan besar yang lingkarnya melebihi tangan dua orang dewasa. Itu dinilainya sebagai bukti bahwa kampung Rempang sudah ada sejak dahulu sebelum adanya BP Batam.

Jokowi Utus Menteri Bahlil

Rencana pembangunan PSN di Rempang telah memicu konflik agraria antara negara dengan warga. Proyek itu masuk dalam PSN tahun ini sesuai Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 dan ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp381 triliun pada tahun 2080.

Proyek ini akan memakan 7.572 hektare lahan Pulau Rempang atau 45,89 persen dari keseluruhan lahan pulau Rempang yang memiliki luas sebesar 16.500 hektare.

Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia menegaskan pemerintah bakal tetap mempercepat pembangunan Rempang Eco City di tengah konflik warga dengan aparat.

Bahlil berjanji negara akan menggunakan cara-cara yang lebih humanis dalam menghadapi masyarakat Pulau Rempang yang harus direlokasi imbas PSN Eco City itu.

“Kami akan mengerahkan cara-cara yang lembut,” katanya di Batam, Senin (18/9/2023).

Ia menyebut total investasi yang sudah masuk, khususnya dari Xinyi Group, menyentuh lebih dari Rp300 triliun. Tahap awal, pembangunan pabrik kaca dan solar panel terbesar setelah China ini akan masuk Rp175 triliun.

Hal ini menurutnya akan berdampak positif terhadap capaian pendapatan negara. Bahlil juga mengklaim ada dampak yang akan dirasakan masyarakat setempat berupa melimpahnya lapangan pekerjaan.

Pascakedatangan Menter Bahlil, kesepakatan mengenai lokasi relokasi telah berubah. Dari rencana awal ke Pulau Galang, kini kabar terbaru lokasi relokasi adalah di Tanjung Banun yang berada di bagian selatan Pulau Rempang.

Terkait relokasi warga, Bahlil mengaku menerima masukan usai mengunjungi kediaman tokoh masnyarakat Rempang.

Warga Tidak Diajak untuk Sepakat

Warga menyayangkan Menteri Bahlil yang datang ke Kota Batam dan memberikan pernyataan terkait relokasi Pulau Rempang. Pasalnya, warga tidak pernah diajak untuk berdiskusi. Sehingga apa yang disampaikan Menteri Investasi itu dinilai hanya sepihak.

“Kami tidak pernah diajak (diskusi), tak ada kasih tahu ke kami. Sekarang katanya mau di Tanjung Banun, manalah kami tahu. Coba duduk bareng bagaimana maunya kita, mereka tak mau dengar,” ujar Somad (nama samaran) warga Sembulang Tanjung yang tidak mau disebut identitasnya.

Sejak awal ia menantikan duduk bersama untuk melihat peta mana saja yang akan direlokasi sekaligus lokasi selanjutnya. Namun hingga saat ini tidak ada petugas yang datang ke wilayahnya.

“Ini katanya mau buka peta, mana-mana yang mau direlokasi tahap pertama. Dimana kita mau dipindah, tak ada. Buka peta hanya di hotel bukan kepada kami-kami yang kena gusur, kenapa buka peta di hotel,” ucapnya.

Tidak adanya keadilan itulah yang memaksa dirinya untuk tetap bertahan di tanah kelahirannya sekaligus menjaga warisan leluhurnya di Pulau Rempang. 

“Kami tidak mau pindah. Kami lahir di sini, ini tanah leluhur kami. Manalah kami mau tinggalkan mereka (leluhur),” tekadnya. (Wahid Maruf/Anton Hartono)

Back to top button