Kanal

Fahd Pahdepie; Setelah Ali Syariati, Danarto dan AA Navis


Mampu menulis hal yang liris artinya Fahd adalah pribadi yang dinamis. Tidak hanya karena ia sibuk dalam ’urusan duniawi’ sebagai seorang CEO sebuah perusahaan media serta komisaris sebuah BUMN, tapi terutama dinamis dalam pergulatan pemikiran, yang dalam buku ini terlihat begitu sosial. Ia tidak merenung semata (buat) dirinya, tapi lebih untuk sesamanya. 

Oleh     : Darmawan Sepriyossa

Banyak buku tentang haji dan perjalanan naik haji dibuat, sebelum datangnya buku yang ditulis Fahd Pahdepie ini. Hanya tiga saja yang (ingin) saya ingat. Pertama, “Haji” dari sang raushanfiqr terkemuka, Ali Syariati. Lainnya “Orang Jawa Naik Haji” dari penyair-cerpenis alm Danarto, dan “Surat dan Kenangan Haji” dari sastrawan terkemuka, alm Ali Akbar (AA) Navis. 

Haji”-nya Ali Syariati sempat membuat membuat saya sedikit ‘menyesal’—tentu saja kata ini pun tak tepat—telah berhaji sebelum tuntas membaca buku ini. Saya menunaikan haji di usia muda, 26 tahun, pada 1996. Sementara terjemahan buku Ali Syariati yang diterbitkan Pustaka Salman ITB baru saya baca pada 1997. 

Ternyata bukan hanya saya yang mengalami ‘kekecewaan’ seperti itu. Alm Buya Prof. Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif pernah mengatakan,”Sekiranya saya telah memba-ca karya Ali Syariati ini sebelum menunaikan ibadah haji, tentu perjalanan spiritual saya akan lebih berkualitas.”

Tentu tidak pada tempatnya saya berlama-lama mengulas buku tersebut. Yang jelas, bagi saya dan banyak orang lain yang telah membacanya, interpretasi Ali Syariati atas (prosesi) haji terasa amat dahsyat. Satu saja pertanyaan awal Syariati yang ingin saya angkat, yakni pada saat timbul niat di hati untuk berhaji: “Sudah benarkah niat kita? Jiwa mana yang kita bawa? Jiwa yang hendak bertekuk lutut dan mengakui kehinaan di hadapan Tuhan, ataukah jiwa yang hendak ‘memperalat’ Tuhan demi status baru sebagai manusia yang gila hormat dan sanjungan, dan sekadar memperpanjang gelar yang kita sandang?”

Orang Jawa Naik Haji” yang terbit melalui Grafitipers pada 1984, kurang dari setahun setelah Danarto naik haji, juga sempat menjadi fenomena tersendiri. Buku yang dikatapengantari Taufiq Ismail ini sarat dengan perenungan untuk hal-hal yang mungkin telah begitu lama dianggap banyak orang ‘kecil’, atau bahkan ‘sudah selesai’ tanpa perlu dipikirkan lagi. 

Datang ke Baitullah sebagai “seorang Jawa yang sangat meyakini kebenaran agamanya tapi buta pengetahuan dasar agama”, selama berhaji Danarto hanya mengandalkan falsafah “tutup mata, tutup telinga”. Doanya di setiap prosesi pun hanya doa sapu jagat, “Robbana, aatina, fi dunya hasanah…”. Namun barangkali ketidakcanggihan pengetahuan agama itu yang membuat Danarto bisa menghayati perjalanan hajinya dengan lebih subtil. Sehalus perasaan ayahnya, seorang mistikus Jawa yang kadang dimintai tetangga menujum, yang menurut Danarto “tak pernah telat mendirikan shalat”, meski lebih memilih bacaan Jawa, yang mungkin baginya lebih “mesra” dan “dekat”. 

Ada yang berkomentar, di buku itu Danarto melebur pengalaman-pengalamannya yang nyata dan logis, dengan hal-hal yang mengawang-awang, alias magis. Tapi bukan karena buku itu, tentu, bila sastrawan terkemuka Goenawan Mohamad menyebut Danarto sebagai “sastrawan pelopor realisme magis di Indonesia”. Entah, apakah ia terpengaruh “mbahnya” realisme magis, Gabriel Garcia Marquez, atau tidak. 

Buku ketiga, “Surat dan Kenangan Haji”, tulisan pengarang novel fenomenal “Robohnya Surau Kami”, AA Navis, juga sarat permenungan. Termasuk ketika Navis ‘mempertanyakan’ bentuk Ka’bah, kubus bersegi empat. Pertanyaan yang juga dijawab Navis sendiri dengan permenungannya itu. Persis seperti saat Leopold Weiss, yang kemudian mengubah nama menjadi Muhammad Assad, menulis dalam buku perjalanannya mencapai Kabah yang menggetarkan,”Road to Mecca”. ”Saya telah menyaksikan di berbagai negara kaum Muslimin, tempat tangan para seniman besar menciptakan karya yang diilhami,” kata Assad. “tetapi justru dalam kesederhanaan kubus itu, yang menyangkal segala keindahan garis dan bentuk, saya merasakan getaran paling kuat dalam hidup.” Bagi Assad,  pada kesederhanaan Ka’bah itu tercermin sikap, bahwa betapa pun indahnya segala yang dibuat tangan-tangan manusia, adalah congkak jika dibandingkan dengan kebesaran Tuhan. Semakin sederhana yang dapat dibuat manusia, kian terbaiklah itu sebagai pernyataannya akan kebesaran Tuhan.

                                                ***

Sebagaimana buku Danarto dan AA Navis, ”Haji Jalur Langit” yang ditulis Fahd Pahdepie—diterbitkan Linimasa, Bandung, awal tahun ini—menunjukkan pergulatan laiknya seorang penyair dan puisi liriknya. Dan itu konon, menurut kritikus sastra mendiang Linus Suryadi AG, dialami hampir semua penyair kita. Komponen pokok di dalam puisi lirik ialah alam dan perasaan, dua hal yang sangat dekat dengan kepekaan pribadi dan mungkin pergulatan batin penulisnya dalam memaknai diri, hidup, keluarga dan alam sekitar serta masyaraatnya. 

Mampu menulis hal yang liris artinya Fahd adalah pribadi yang dinamis. Tidak hanya karena ia sibuk dalam ’urusan duniawi’ sebagai seorang CEO sebuah perusahaan media serta komisaris sebuah BUMN, tapi terutama dinamis dalam pergulatan pemikiran, yang dalam buku ini terlihat begitu sosial. Ia tidak merenung semata (buat) dirinya, tapi lebih untuk sesamanya. 

Bila untuk urusan yang privat saja, filsuf terkemuka Socrates pernah bilang,”Hidup yang alpa ditafakuri adalah hidup yang tak layak dijalani”? Apalagi bila renungan itu adalah renungan social, saat seseorang peduli, prihatin, dan terketuk, sebelum datang saat untuk berkiprah dalam aksi nyata. Ah, jangan jauh-jauh mencari benchmark. Bukankah perenungan Nabi SAW yang mulia di Gua Hira pun sejatinya adalah perenungan sosial? Bukankah “Pergolakan Pemikiran Islam” alm Ahmad Wahib, yang pada masanya begitu menginspirasi itu, juga sebuah perenungan sosial? 

Dari orang-orang yang peka dan peduli akan nasib dan masa depan umat seperti itu—seperti juga Fahd dalam bukunya ini, mengiringi sekian banyak buku sejenis dari kepala dan tangannya–masyarakat sejatinya bisa mengambil banyak hikmah. Urusannya mungkin juga semacam pembagian tugas, manakala bagi sebagian (besar) masyarakat lainnya, bahkan merenung pun sudah menjadi perilaku kemewahan tertentu. Anggaplah, bagaimana mungkin seseorang bisa merenungkan kebaikan bagi orang lain, manakala dirinya sendiri terus dikejar-kejar mimpi buruk upah di bawah UMR, misalnya. 

Banyak hikmah dan manisnya mutiara hidup yang ditulis Fahd di “Haji Jalur Langit” ini. Terlalu banyak untuk dikupas lebih rinci. Mulai dari mengapa ia setidaknya tiga kali sebelumnya mendapatkan “panggilan haji” dengan segala jalan yang telah dibukakan, namun tetap saja belum berangkat menjadi peziarah yang berbekal sepi diri, ibarat—dalam bahasa Jalaluddin Rumi– seruling bambu yang menjerit pilu karena tercerabut dari rumpunnya. 

Saya sendiri meyakini perenungan Fahd dalam buku ini juga seharusnya dinikmati seperti kita semua menikmati puisi-puisi liris: baca di malam hening sunyi, tanpa cawe-cawe pikiran di luar diri. Itu pula hujjah saya untuk tak menyentuh perenungan Fahd di sini. Apalagi memberi nilai, atau bahkan vonis. [dsy]

 

Back to top button