Market

E-Commerce Kuasai Pasar Bikin Pedagang Tanah Abang Sulit Bernafas

Benar kata orang, pembeli adalah raja. Kini, sang raja mulai enggan ke pasar. Lebih memilih membeli barang lewat pasar daring alias marketplace. Sekali pencet saja, jadi. Tinggal tunggu barang datang.

Adanya perubahan perilaku dari sang ‘raja’ atau konsumen itu, kini dirasakan para pedagang pakaian di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dulu, pasar ini disebut-sebut sebagai grosir pakaian terbesar di Asia Tenggara.

Di pasar ini, pakaian jenis apapun ada. Mulai busana muslim, batik, kaos bola hingga baju-baju trendi, ada. Ragam aksesoris pun tersedia. Mulai sepatu, tas, topi, ikat pinggang dan barang lainnya. Wajar bila Pasar Tanah Abang selalu ramai.

Khususnya di Blok A dan B, selalu dijejali manusia. Setiap lorongnya dipenuhi pedagang pedagang makanan dan minuman, atau para kuli panggul. Sesak memang, untuk bernafas pun sulit.

Mendekati Lebaran, lebih penuh lagi. Bahkan, pengunjung enggan membawa kendaraan pribadi karena tempat parkirnya susah. Lalu lintas di kawasan Pasar Tanah Abang pun, dijamin macet. Warga ibu kota pasti menghindari jalur Tanah Abang. 

Kini, pedagang Tanah Abang yang susah bernafas. Penjualan sepi, sejak maraknya Tiktok shop, Tokopedia, Shopee dan platform e-commerce lainnya.

“Pasar pun sudah pindah alam, sudah banyak orang nyaman dengan belanja daring. (Belanja) luring pun menjadi korban, setiap hari pasar sepi pengunjung,” dikutip dari akun TikTok @boutiq_jakarta, Kamis (14/9/2023).

Para pedagang konvensional ini, bukannya ngotot ‘melawan arus’ dengan menutup mata dengan berkembangnya perdagangan online. Ada yang coba-coba berdagangan secara live. Mengikuti cara berjualan para artis, memanfaatkan fitur live shopping (TikTok Live atau Shopee Live).

Hasilnya? Tetap saja tak sesuai harapan. Barang dagangan tetap saja menumpuk. “Ketika artis pamer hasil live Rp41 miliar, saya bisa laku 1 pcs saja sangat bersyukur. Artinya, perjuangan live 1 jam itu berbuah hasil,” cuit @boutiq_jakarta.

Sepinya penjualan, menurutnya, dialami sebagian besar pedagang di Pasar Tanah Abang. “Dulu, datang barang sekarung besar, sehari sudah habis. Sekarang, sudah beberapa minggu, pajangan masih ini-ini aja. Padahal harga udah dimurahin banget. Jual online dan live dengan berbagai strategi tetap sulit ditembus,” tulis akun 
@grosirbajuwanita.

Gara-gara ini, bukan hanya pedagang Tanah Abang saja yang kena. Produsennya kena, pekerjanya kebagian getahnya pula. Karena barang tak laku dijual, maka permintaan turun. Produksi dikurangi, jam kerja ikut berkurang. Bisa-bisa semakin banyak pekerja yang kena PHK.

Perang Harga

Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki menyebut, anjloknya omset pedagang Tanah Abang, karena maraknya praktik-praktik predatory pricing. Lagi-lagi telunjuk tangannya mengarah ke platform e-commerce. Apa itu?

Ya, predatory pricing adalah penetapan harga jual jauh di bawah harga modal. Bahasa sederhananya jual rugi, atau perang harga.

Praktik ini lazim terjadi di platform online. Sehingga wajar bila konsumen lebih memilih berburu barang lewat e-commerce.

Menkop Teten mengakui, harga barang yang ditawarkan lewat e-commerce, sering tak masuk akal. Jelas pola-pola seperti ini menjadi ancaman serius bagi pedagang kecil di tanah air.

Keberadaan platform e-commerce yang mengancam pedagang kecil ini, bisa leluasa karena belum ada aturan resmi dari pemerintah. Intinya, ekonomi digital harus diatur agar tidak ‘memakan’ ekonomi konvensional. Keduanya harus bisa berjalan beriringan.

“Memang pengaturan ekonomi digital kita ini masih lemah, di e-commerce kita, 56 persen dikuasai asing. Jadi domestik hanya 44 persen. Kalau tidak segera kita mengaturnya, ini ancaman. Hari ini, sektor riil sudah teriak. Tanah Abang juga teriak, produsen, UMKM sudah enggak bisa bersaing produknya,” kata Menkop Teten.

Saat ini, Indonesia benar-benar menjadi surganya perdagangan online. Hasil riset Momentum Works menempatkan Indonesia sebagai pasar terbesar belanja online di kawasan Asia Tenggara.

Sekitar 52 persen dari nilai produk yang dijual (gross merchandise value /GMV) di Asia Tenggara, terjadi di pasar Indonesia.

Sepanjang 2023, transaksi e-commerce di Indonesia mencapai US$77 miliar, atau setara Rp476,3 triliun dengan pertumbuhan 18,77 persen secara tahunan (year on year/yoy). Sedangkan porsi transaksi uang elektronik mencapai Rp399,6 triliun.

Dari sekian banyak plaform belanja online yang digandrungi konsumen Indonesia, juaranya adalah TikTok Shop. Selama 2022, data ByteDance menyebut, nilai transaksi TikTok naik 400 persen.

Sedangkan nilai produk yang dibeli (gross merchandise value/GMV) di Asia Tenggara, melampaui US$4,4 miliar atau Rp68 triliun.

Back to top button