Kanal

Dua Negara Serumpun Bakal Bersatu Balas Uni Eropa Soal CPO

Uni Eropa sudah tak mau lagi menerima minyak kelapa sawit mentah (CPO) dengan alasan isu lingkungan. Kini dua negara serumpun sebagai produsen terbesar CPO dunia, siap melakukan pembalasan dengan menghentikan ekspor CPO ke kawasan itu.

Ekspor CPO ke Uni Eropa merupakan isu lama yang tidak kunjung menemukan titik temu. Seperti diketahui, pada 2018, arahan energi terbarukan Uni Eropa mengharuskan penghapusan bahan bakar transportasi berbasis kelapa sawit secara bertahap pada 2030 karena dianggap terkait dengan deforestasi. Ini tentu sangat mempengaruhi produsen CPO seperti Malaysia dan Indonesia.

Negosiasi Indonesia dengan Uni Eropa terkait dengan impor komoditas, terutama CPO ini kerap mengalami hambatan. Dalam beberapa diplomasi yang dilakukan, Eropa selalu mempertahankan pendapatnya, dan tak mau mengalah.

Indonesia sudah mendekati beberapa negara-negara (Uni Eropa) yang memang memiliki ketergantungan besar terhadap minyak nabati. Dengan cara ini, diharapkan jika ada negara yang tidak setuju maka akan mempengaruhi negara Uni Eropa lainnya.

Malaysia juga sama dengan Indonesia, mengecam undang-undang bebas deforestasi Uni Eropa karena memblokir akses pasar minyak sawitnya. Indonesia dan Malaysia telah meluncurkan kasus terpisah kepada Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang menuding aturan yang diberlakukan Uni Eropa merupakan hambatan perdagangan.

RI-Malaysia bahas untuk melawan

Malaysia berencana menghentikan ekspor minyak sawit ke Uni Eropa sebagai tanggapan atas gugatan deforestasi. Malaysia melihat rencana itu akan lebih baik dan berpengaruh kuat jika dilakukan dengan Indonesia sebagai sesama penghasil terbesar CPO.

Malaysia mengatakan pada Kamis (12/1/2023) dapat menghentikan ekspor minyak sawit ke Uni Eropa sebagai tanggapan atas aksi Uni Eropa. Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Fadillah Yusof mengatakan Malaysia dan Indonesia akan membahas undang-undang yang melarang penjualan minyak kelapa sawit dan komoditas lain yang terkait dengan deforestasi.

“Jika kita perlu melibatkan para ahli dari luar negeri untuk melawan langkah apa pun yang dilakukan Uni Eropa, kita harus melakukannya,” kata Fadillah. “Atau, opsinya bisa kita hentikan saja ekspor ke Eropa, fokus saja ke negara lain jika mereka (Uni Eropa) mempersulit kita semua untuk mengekspor ke mereka,” ujar Fadillah mengutip CNA.

Fadillah, yang juga wakil Perdana Menteri Malaysia, mendesak anggota Dewan Negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit (CPOPC) untuk bekerja sama menentang undang-undang baru tersebut dan memerangi ‘tuduhan tak berdasar’ yang dibuat oleh Uni Eropa dan Amerika Serikat tentang keberlanjutan minyak sawit. CPOPC, yang dipimpin Indonesia dan Malaysia, sebelumnya menuduh UE secara tidak adil menargetkan minyak sawit.

Indonesia dan Malaysia telah membuat standar sertifikasi keberlanjutan wajib untuk semua perkebunan sebagai jawaban atas tudingan deforestasi itu. Ada keharusan produsen CPO untuk sertikasi ini yakni sertifikat Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) serta Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO). Namun Uni Eropa dan aktivis lingkungan masih menyalahkan industri CPO atas pembukaan hutan hujan Asia Tenggara.

Akibat kebijakan Uni Eropa ini, permintaan dari kawasan tersebut untuk minyak sawit diperkirakan menurun secara signifikan selama 10 tahun ke depan bahkan sebelum undang-undang baru disetujui.

Sebelumnya Presiden Joko Widodo saat bertemu dengan Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim di Istana Kepresidenan Bogor, Senin (9/1/2023) sepakat untuk bekerja sama memerangi diskriminasi terhadap komoditas CPO. Jokowi mengatakan, kedua negara akan memerangi diskriminasi sawit dan memperkuat kerja sama melalui CPOPC untuk mengatasi masalah tersebut.

Kedua menteri terkait yakni Menteri Perkebunan dan Komoditas Malaysia Fadillah Yusof berencana bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto guna membahas posisi bersama Indonesia dan Malaysia terkait aturan deforestasi Uni Eropa ini.

Produksi terus turun

Kedua negara di Asia Tenggara ini menyumbang sekitar 85 persen dari ekspor dunia, tetapi produksinya stagnan dalam beberapa tahun terakhir karena kekurangan tenaga kerja yang disebabkan pandemi, aplikasi pupuk yang rendah, dan ekspansi perkebunan baru yang lambat.

“Setelah tahun yang mengecewakan di tahun 2022, pasar mengharapkan produksi minyak sawit meningkat pada tahun 2023 sekitar 2,5 juta ton, dipimpin oleh Indonesia,” kata Julian McGill, kepala regional di konsultan agribisnis LMC International, mengutip Reuters.

Namun hal ini tidak akan berarti banyak tersedianya minyak sawit untuk ekspor karena pengolahan dalam negeri yang lebih besar di Indonesia, termasuk peralihan ke mandat biodiesel yang lebih tinggi, katanya.

Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB) mematok produksi nasional pada 2023 naik sedikit menjadi 19 juta ton, dari 18,45 juta ton pada 2022, tertahan oleh krisis tenaga kerja. Sementara Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) memperkirakan produksi Indonesia akan turun menjadi 50,82 juta ton tahun ini, dari 51,33 juta ton tahun lalu.

“Produksi industri sawit Indonesia cenderung menurun sedangkan dari sisi permintaan terjadi pergeseran konsumsi dari ekspor ke konsumsi dalam negeri,” kata Pengurus GAPKI Fadhil Hasan.

Indonesia selama ini berusaha menyerap produk CPO dengan mengalokasikan kepada kebutuhan dalam negeri lewat kebijakan domestic market obligation (DMO). Indonesia juga berupaya meningkatkan penggunaan minyak sawit dalam biodiesel menjadi campuran 35 persen yang akan menambah antara 2,5 juta hingga 3 juta ton permintaan minyak sawit mentah di dalam negeri.

Apakah kedua bangsa Melayu ini harus takut terhadap dampak aksi pembalasan ini? Indonesia maupun Malaysia tidak perlu takut akan digugat ke WTO. Hal ini mengingat CPO sudah ditolak oleh Uni Eropa atas keinginan mereka dengan alasan lingkungan. Jika Indonesia dan Malaysia memblokir CPO ke Uni Eropa, maka tidak ada alasan untuk Uni Eropa menggugat ke WTO.

Selain itu, kedua negara tak perlu khawatir hasil CPO-nya kehilangan pasar. Tujuan ekspor bisa dialihkan ke China yang siap bertumbuh setelah melonggarkan batasan COVID serta pasar lainnya yang masih besar. Seperti India, Bangladesh, ataupun Pakistan.

Back to top button