News

Dinilai Kangkangi Putusan MK, Pakar Desak DPR Tolak Perppu Cipta Kerja

Pakar mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menolak Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Cipta Kerja. Salah satu alasannya, Perppu tersebut membangkang alias mengangkangi putusan Mahkamah Konstitusi (MK)

Desakan tersebut datang dari Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS).

“Di penghujung tahun 2022, pemerintah membuat kejutan dan sekaligus kegaduhan, dengan menerbitkan Perppu tentang Cipta Kerja yang kontroversial, yang menuai banyak kritik dari berbagai kalangan masyarakat yang menolak,” katanya di Jakarta, akhir pekan ini.

Menurutnya, penolakan tersebut lantaran Perppu Cipta Kerja dianggap sebagai pembangkangan terhadap Putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja Inkonstitusional (bersyarat), karena cacat formil dan cacat prosedural.

Perppu Cipta Kerja tersebut harus disahkan DPR pada sidang Dewan selanjutnya, yang mulai aktif kembali pada 10 Januari 2023.

“Masyarakat berpendapat DPR wajib menolak Perppu Cipta Kerja yang terindikasi tidak sah,” tuturnya.

Ia pun membeberkan alasannya. Menurut MK, Perppu tidak boleh ditetapkan sewenang-wenang, tetapi wajib memenuhi tiga ketentuan atau prasyarat agar penerbitan Perppu menjadi sah secara hukum.

Pertama, harus ada kondisi ‘kegentingan memaksa’ untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Kedua, undang-undang yang dibutuhkan untuk mengatasi ‘kegentingan memaksa’ belum ada, sehingga terjadi kekosongan hukum atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena memerlukan waktu cukup lama sedangkan keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian untuk diselesaikan.

Dalam butir menimbang, pemerintah menjadikan dinamika ekonomi global khususnya terkait kenaikan harga energi dan harga pangan serta gangguan rantai pasokan (supply chain) sebagai kondisi ‘kegentingan memaksa’, yang menjadi dasar penerbitan Perppu Cipta Kerja.

“Tentu saja alasan ini mengada-ada dan manipulatif,” timpal dia.

Sejauh ini, Anthony membeberkan, kenaikan harga energi, harga pangan dan harga komoditas lainnya seperti mineral, batubara, minyak sawit, dan lain-lainnya malah menguntungkan Indonesia, dan membuat ekonomi Indonesia membaik.

Pertumbuhan ekonomi 2022 sudah diperkirakan antara 5 persen hingga 5,3 persen. Neraca perdagangan hingga November 2022 mencatat surplus 50,6 miliar dolar AS, tertinggi sepanjang sejarah. Sedangkan pertumbuhan ekonomi 2023, menurut proyeksi terakhir Kemenkeu, dipatok minimal 5 persen.

Selain itu, harga minyak mentah dunia juga sudah turun, bahkan pemerintah sudah merespons dengan menurunkan harga BBM (nonsubsidi).

“Semua ini jelas menunjukkan tidak ada ‘kegentingan memaksa’ untuk dapat diterbitkan Perppu Cipta Kerja,” papar dia tandas.

Prasyarat kedua, sambung dia, undang-undang yang dibutuhkan untuk mengatasi ‘kegentingan memaksa’ belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, juga tidak terpenuhi.

“Karena, Indonesia sejauh ini sudah mempunyai berbagai macam undang-undang yang sangat memadai untuk mengatasi kondisi krisis, antara lain UU No 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan, yang baru saja dibuat di masa pemerintahan Jokowi,” ungkap Anthony.

UU Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan tersebut sangat memadai mengatasi potensi krisis ekonomi dan keuangan. “Sebagai bukti, undang-undang ini tidak ikut diubah di dalam Perppu Cipta Kerja,” tukasnya.

Artinya, dia menegaskan, tidak ada kekosongan hukum, sehingga prasyarat ketiga juga tidak terpenuhi.

Selain itu semua, sambung Anthony, mengatasi potensi stagflasi dan resesi ekonomi dengan menerbitkan Perppu Cipta Kerja merupakan kebijakan yang tidak tepat dan salah kaprah. Perppu Cipta Kerja terdiri dari banyak UU, yang ironinya tidak relevan dan tidak mampu mengatasi stagflasi atau resesi ekonomi.

Ia menjelaskan, resesi ekonomi adalah suatu kondisi di mana permintaan turun tajam sehingga terjadi over-supply yang akhirnya memicu PHK.

“Maka itu, Cipta Kerja bukan solusi. Karena, industri yang sedang dalam kondisi over-supply tidak mungkin melakukan investasi (untuk meningkatkan supply),” timpal dia.

Dengan demikian, kata dia, Perppu Cipta Kerja tidak memenuhi tiga prasyarat yang ditetapkan MK. “Karena itu, Perppu Cipta Kerja cacat prosedur: berarti presiden Jokowi melanggar konstitusi?” timpal Anthony seraya mempertanyakan.

Oleh karena itu, lanjutnya, DPR wajib menolak Perppu Cipta Kerja yang inkonstitusional tersebut. “Rakyat wajib mengawasi DPR agar mengambil keputusan yang konstitusional,” ucapnya.

“Rakyat wajib memberi sanksi kepada DPR, dalam hal ini partai politik, yang melecehkan konstitusi jika memberi persetujuan dan pengesahan terhadap Perppu Cipta Kerja yang secara jelas melanggar konstitusi,” imbuhnya.

Diketahui, Perppu Nomor 2 Tahun 2022 digugat ke MK oleh masyarakat sipil yang terdiri atas mahasiswa, dosen, hingga advokat. Mereka mendaftarkan permohonan pengujian formil atas perppu tersebut.

Juru bicara MK Fajar Laksono mengatakan, permohonan tersebut telah diterima pada Kamis (5/1/2023), dan menjadi permohonan pertama yang masuk ke MK awal 2023.

Back to top button