Kanal

“Austerity Against Democracy” : Neolib Global dan UU Cipta Kerja

Dengan dua Langkah kerja neolib yang disebut Albo & Fanelli saat ini–‘total privatization’ dan ‘disciplining dissent’ (mendisiplinkan perbedaan pendapat)– faktanya kita lihat marak di realitas. Privatisasi atau komodifikasi terhadap sektor-sektor pelayanan publik, gencar dilakukan. Sementara beragam aturan yang cenderung mengekang kebebasan dan hak asasi, terus menjadi produk legislasi…

Oleh   :  Widdi Aswindi*

Manuver Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggelindingkan setidaknya dua aturan “Babon” yang terkesan anti-demokrasi, yakni KUHP baru dan UU Cipta Kerja dengan beragam variannya, tampaknya tidak bisa dilihat dalam kacamata sempit Indonesia. Ia harus dicermati dari luar angkasa tempat sekian banyak satelit beralamat, sehingga nyata terlihat bahwa semua itu tak bisa dipisahkan dari proses metamorfosis—atau barangkali sekadar mimikri ?—dari paham kapitalisme.

Artinya, meski terkesan ganjil karena selama ini Jokowi sering dilekatkan sebagai dekat dengan kalangan aktivis kiri-progresif, dalam urusan itu Presiden Jokowi seolah tak lebih dari bidak (para gembong) kapitalisme dunia. Perlu pengamatan yang lebih cermat untuk menyamakannya dengan Felipe Gonzáles, perdana menteri Spanyol era 1980-an dari kalangan Sosialis, yang akhirnya justru dikenal dunia lebih kapitalis daripada para pialang saham di Wall Street.

Faktanya memang menyebalkan, betapa kapitalisme yang jelas-jelas merupakan paham dekaden itu, seakan-akan merujuk mitos para highlander yang immortal.   Dalam istilah lain yang lebih pedas, filsuf berkebangsaan Slovenia, Slavoj Zizek, menyebutnya ibarat vampir yang mengisap darah manusia dengan dahaga. Tetapi biar pun dibunuh berkali-kali, ia tak pernah mati.

Setiap kali nyaris perlaya karena krisis, kapitalisme selalu menggeliat dan mengganti sebagian sifatnya. Ketika kapitalisme hampir kolaps—dan itu dicatat sejarah seringkali terjadi–muncul ide negara kesejahteraan (welfare state) yang mengoreksi kapitalisme pasar bebas dengan redistribusi melalui subsidi silang dan pajak negara, via ide John Maynard Keynes. Belakangan, ketika sekian banyak salah urus akibat negara (pemerintah AS sebagai contoh) terlalu agresif cawe-cawe, datang Milton Friedman yang merevisi langkah dan mengubah lagi gaya kapitalisme.

Dari fakta sejarah itulah kita bisa melihat pentingnya buku tipis berjudul “Austerity Against Democracy An Authoritarian Phase of Neoliberalism?” yang ditulis duo cendikiawan York University, Toronto, Kanada, Greg Albo dan Carlo Fanellli, ini.

Neoliberalisme—wujud mutakhir kapitalisme saat ini—tentu saja tidak jatuh ‘gubrag’ dari langit. Doktrin ini, seperti juga diulas Dr Arjanto ‘Anto’ Sangaji dalam pengantar buku tersebut, lahir dari kondisi obyektif krisis kapitalisme. Dalam sejarah hampir dua abad terakhir, kapitalisme terus mengalami guncangan silih berganti. Sebelum 2008, krisis besar sudah berulang terjadi: 1820-an, 1870-an, 1930-an, dan 1970-an. Dan untuk memperpanjang nafasnya, kata Dr Anto, sistem ini selalu berusaha keluar dari krisis hanya dengan resep penghilang rasa sakit, laiknya yang konon diresepkan para dokter kepada para pasien miskin papa yang menderita penyakit kronis berbahaya tapi mahal obatnya. Tentu saja, ‘obat’ itu tidak menyelesaikan masalah.

Semua itu karena sejatinya penyakit yang diderita kapitalisme tersebut sifatnya sistemik. Banyak cendikiawan Marxis percaya, ancaman krisis itu telah lama ‘diramalkan’ Marx dalam “Das Capital” volume III. Hal yang juga diungkap Dr Anto dalam pengantar. Marx menjelaskan, krisis pada kapitalisme yang dengan itu akan datang dan kembali lagi dan lagi, berpangkal pada hukum tendensi kemerosotan tingkat keuntungan (the law of the tendential fall in the rate of profit, LTFRP). Marx bilang, penyebab kemerosotan tingkat keuntungan terjadi karena peningkatan komposisi kapital organik (organic composition of capital): yakni, nilai kapital konstan (value of constant capital) tumbuh lebih cepat dari nilai kapital variabel (value of variable capital). Kapital konstan meliputi mesin, pabrik, bahan baku; sementara kapital variabel adalah upah plus benefit yang diterima kelas pekerja.

Misalnya, tulis Dr Anto, untuk mencegah krisis, kelas kapitalis berusaha meningkatkan tingkat keuntungan, dengan meningkatkan tingkat eksploitasi terhadap buruh dan menekan belanja konstan kapital. Eksploitasi ditingkatkan, misalnya melalui perpanjangan jam kerja atau melipat-gandakan beban kerja tanpa mengubah upah buruh. Faktanya, beberapa pengujian validitas LTFRP dalam kasus-kasus krisis kapitalisme yang kerap berulang itu menemukan kebenarannya.

Misalnya, dalam riset Andrew Kliman (2012), yang menunjukkan kian merosotnya tingkat keuntungan perusahaan-perusahaan di AS dari awal abad 20 dulu hingga awal dekade kedua abad 21.  Demikian pula hasil penelitian Duménil & Lévy (2004), atau  Michael Robert pada negara-negara kapitalis lainnya.

Setelah Depresi Besar (Great Depresion) berhasil dihalau cara Keynes, pada era 1970-an krisis kembali datang dengan nama Deflasi Dahsyat (Great Deflation). Krisis itu ditandai dengan inflasi besar-besaran, peningkatan jumlah pengangguran, kemerosotan nilai ril indeks pasar modal, dan rontoknya sekian banyak perusahaan besar dan perbankan.

Saat itulah negara kembali hadir, tetapi dengan resep baru, ‘Neoliberalisme’. Di Inggris, Perdana Menteri Margaret “The Iron Lady” Thatcher  bersikap keras terhadap serikat-serikat pekerja yang sebelumnya begitu kokoh kuat. Di AS, Ronald Reagan pun melakukan hal serupa. Negara mulai menarik diri dari sistem perlindungan sosial, dan — yang paling pokok–program-program privatisasi sektor-sektor pelayanan publik, gencar dilakukan.

Dari krisis itu lahir “Begawan-begawan’’ Neoliberalisme, yang dikomandoi Milton Friedman. Sebagai anti-tesis Keynessian, melalui bukunya yang terbit di tahun 1962, “Capitalism and Freedom”, Friedman mati-matian membela pasar bebas. Baginya, peranan pemerintah seharusnya dibatasi pada soal-soal di mana pasar tidak bisa mengurusi dirinya sendiri. Negara cukup menentukan, memutuskan dan menegakkan aturan permainan.

Menurut Dr Anto di pengantar terjemahan buku itu, dalam doktrin Neoliberalisme, negara bukan tidak hadir. Negara  justru benar-benar hadir dan memastikan pasar bekerja melalui serangkaian kebijakan konkret. “Negara memfasilitasi pasar bebas (free market) melalui deregulasi dan privatisasi; negara mempromosikan kebijakan-kebijakan perpajakan dan moneter, seperti reformasi perpajakan, pemotongan pengeluaran pemerintah (subsidi) untuk mengontrol inflasi dan membatasi intervensinya dalam pasar; negara melakukan liberalisasi impor dan melakukan devaluasi terhadap nilai tukar mata uang, mempromosikan spesialisasi (pada komoditas tertentu) menurut keunggulan komparatif, merangsang ekspor dan meningkatkan kompetisi di pasar  domestik; negara mendorong liberalisasi arus modal (capital flows) untuk menarik investasi asing dan meningkatkan kemampuan domestik di dalam konsumsi dan investasi; negara melakukan liberalisasi sistem keuangan nasional untuk meningkatkan simpanan dan tingkat pengembalian investasi; negara mempromosikan fleksibilitas pasar tenaga kerja untuk meningkatkan kesempatan kerja; negara memperbaiki sistem hukum dalam rangka menciptakan atau melindungi hak-hak milik; negara mengembangkan demokrasi politik,”tulis Dr Anto.

Namun hal itu dilakukan negara,”…bukan dalam rangka melindungi kemerdekaan atau kebebasan dan hak-hak asasi manusia, tetapi terutama untuk melemahkan kemampuan mayoritas rakyat dalam mempengaruhi kebijakan ekonomi,” ia menyambung.

Kini, nyaris setengah abad dari krisis yang ditanggulangi Friedman tersebut, berkali-kali kita menyaksikan krisis datang berulang. Bukan lagi kita bisa menunjuk krisis ekonomi 2008 sebagai contoh, tetapi bahkan yang dekat dan masih terasa dampaknya, krisis ekonomi dunia 2022 dan 2023 ini.

Krisis 2022 disebut sebagai “polikrisis”, sebuah istilah yang dipopulerkan sejara-wan Adam Tooze, untuk menunjuk kondisi buruk yang sudah multi. Sementara tahun 2023 ini kondisinya belum lagi pulih, kalau tak boleh dikatakan kian mengkhawatirkan. “Jumlah krisis telah meningkat sejak awal abad ini. Sejak Perang Dunia Kedua, kami belum pernah melihat situasi serumit ini,” kata Roel Beetsma, profesor ekonomi Universitas Amsterdam, tentang kondisi perekono-mian dunia tahun ini.

Dalam situasi krisis yang mulai terasa sejak 2008 itu, Albo dan Fanelli melihat betapa proyek neoliberalisme itu kini lebih progresif dan ‘keji’. Itu yang mereka tuangkan dalam buku, yang karena sifatnya lebih dekat kepada pamphlet (kurang dari 50 halaman), mengingatkan kita kepada “The Communist Manifesto” yang juga pendek dan sederhana.

Albo & Fanelli menyebut dua karakter yang menonjol dari fase neoliberalisme saat ini: ‘total privatization’ dan ‘disciplining dissent’ (mendisiplinkan perbedaan pendapat). Untuk menekan rasio utang pemerintah terhadap GDP, agenda total privatisasi atau komodifikasi terhadap sektor-sektor pelayanan publik, kini semakin gencar. Ibaratnya, apa yang bisa dijual, jual! Dengan mengajukan konteks terutama di negeri-negeri kapitalis maju, Albo & Fanelli mengisyaratkan bahwa penerapan neoliberalisme benar-benar membebani kelas pekerja. Mereka dipaksa untuk membayar beban dari krisis, demi kejayaan kelas kapitalis.

Kini sebagian besar negara bertindak lebih otoriter untuk melindungi sistem ini, dengan mendisiplinkan para penentangnya, terutama kelas pekerja, agar tidak bergolak. Substansi demokrasi, yakni peluang bagi kelas-kelas dalam masyarakat untuk memperjuangkan alternatif tatanan sosial yang lebih baik, dijungkir-balikkan. Negara neoliberal mengusung ‘disciplinary democracy’, yang—menurut Dr Anto–tak lain hanya subordinasi demokrasi kepada pasar. “Jangan heran, di bawah neoliberalisme, demokrasi jadi hanya berwatak prosedural,”kata cendikiawan terkemuka Indonesia Timur itu.

Tentu, Albo & Fanelli tidak alpa mengemukakan fakta. Keduanya seakan mengonfirmasi kebenaran Marx dan Engels, yang sekitar 150 tahun lalu berkata: “Negara adalah sebuah komite/panitia yang mengurus kepentingan-kepentingan bersama keseluruhan kelas kapitalis.”

Tentang penjualan aset-aset negara kepada perusahaan pribadi, keduanya menunjukkan bahwa sepanjang 1985-1999, lebih dari 8.000 aksi privatisasi dilakukan di seluruh dunia. Nilainya mencapai lebih dari 1,1 triliun dollar AS. Hasil riset Nancy Brune, Geoffrey Garrett, dan Bruce Kogut, “The International Monetary Fund and the Global Spread of Privatization” menunjukkan bahwa untuk setiap dolar utang negara berkembang kepada IMF pada 1980-1984, setengahnya dibayar melalui privatisasi BUMN selama rentang masa 15 tahun ke depan.

Merujuk artikel “The Economist” (2014), salah satu media terdepan yang menyuarakan komodifikasi radikal sektor publik, tahun 2012 membawa volume privatisasi tertinggi ketiga berdasarkan nilai yang sudah dicatat. Semua negara berebutan menjual miliknya. Misalnya, Inggris yang memprivatisasi Royal Mail dan ingin menjual aset lain seperti URENCO; Jepang ingin menjual Japan Post, yang saat itu diperkirakan bernilai 40 miliar dollar AS; Australia sejak 2014 telah mengisyaratkan rencana untuk menjual aset layanan pos, sektor keuangan, dan penerbangan mereka; sementara Prancis pun gemes ini segera melikuidasi investasi di Renault, Thales, dan Orange.

Sementara di langkah kedua, pendisiplinan perbedaan pendapat, apa yang terjadi mengonfirmasi melemahnya demokrasi di tangan pejabat neolib.

Ada banyak contoh, namun yang paling terasa adalah seperti hasil penelitian LeBaron dan Dauvergne (2014), bahwa pemerintah banyak negara ‘demokrasi’  makin menganggap pemprotes dan oposisi politik sebagai ancaman bagi pemulihan dan daya saing ekonomi. Berbagai mekanisme untuk ‘penertiban’ — dan bahkan kriminalisasi pun dilakukan.

Upaya lainnya adalah dengan cara melegislasi sekian banyak aturan yang mengekang kebebasan. Di AS, kini ada “Bill H.R. 347”, yang bahkan menegaskan bahwa “memasuki atau tinggal” di daerah yang dianggap “terbatas” sebagai aksi kejahatan. Undang-undang yang menguatkan aturan “National Defense Authorization Act” pada tahun 2012, itu juga memberikan presiden kekuasaan mutlak untuk memerintahkan penahanan kepada setiap orang di mana saja di seluruh penjuru dunia tanpa tuduhan atau pengadilan.

“Bill H.R. 347” mengkriminalisasi berbagai aksi protes, termasuk apa pun “yang menghambat atau mengganggu pelaksanaan ketertiban dari bisnis pemerintah atau acara-acara resmi” dan “menghalangi atau menghambat pintu masuk atau pintu keluar bangunan atau lapangan yang dianggap hanya bisa dimasuki kelompok tertentu”. Meskipun tampaknya bertentangan dengan Amendemen Pertama Konstitusi Amerika Serikat perihal kebebasan berpendapat dan berkumpul dalam aksi protes secara damai, undang-undang ini disahkan dengan dukungan dari kedua partai, “Republic” dan “Democrat”.

Di Kanada, undang-undang anti-protes yang baru, juga begitu. Belum lagi “Bill 78” di Quebec, yang secara efektif melarang aksi mogok mahasiswa, menjadikan aksi protes tanpa izin polisi atau memakai cat wajah dan masker sebagai aksi ilegal.

Di Inggris dan Spanyol, perangkat undang-undang baru diberlakukan untuk mengantisipasi protes—yang menentang pemotongan subsidi di sektor pendidikan, kesehatan, dan peraturan ketenaga-kerjaan yang ketat, dengan hukuman untuk protes jalanan tanpa ijin termasuk denda mencapai 800.000 dolar AS. Melakukan aksi demo di dekat gedung parlemen atau area yang tidak sah lainnya dapat dikenakan hukuman kurungan penjara sampai dua tahun. Dan sebagainya.

Terlihat jelas, apa yang bergulir di sini melalui UU KUHP dan UU Cipta Kerja dengan sekian variannya itu berjalan sejajar dengan gelombang tren yang tengah melanda dunia.

Kita tentu tak ingin membuat demokrasi sekadar legitimasi prosedural, saat sisa-sisa praktiknya berupa Pemilu lima tahunan pun tak memberikan kunjung memberi harapan. Segera terbangunkan dalam kesadaran untuk membuat perubahan, tentu menjadi langkah awal untuk mencapai tujuan bangsa dalam Pembukaan UUD 1945 yang teramat mulia itu. [ ]

*Praktisi dan pegiat survey

**Rubrik Kanal merupakan rubrik opini dari kalangan cendiakawan dan pembaca Inilah.com

Back to top button