Market

Walhi Kaltim Berharap DPR Bisa Bergerak Batalkan Alih Fungsi Hutan Kaltim

Gabungan LSM lingkungan mengharapkan Komisi IV DPR untuk membatalkan pengalihan fungsi hutan di Kalimantan Timur seluas 736.055 hektare menjadi kebun sawit, area pertambangan dan bahkan menjadi lahan untuk proyek Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Pelepasan hutan alam perkuat dengan Pemprov Kalimantan Timur untuk mengubah perda RTRW tahun 2020-2042 yang telah disahkan pada akhir Maret 2023. beberapa LSM pemerhati hutan, seperti Yayasan Auriga Nusantara, WALHI, Forest Watch Indonesia (FWI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan, dan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) menemui Komisi VI DPR pada pertengahan Juli lalu. Audisi diterima Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Budi Satrio Djiwandono.

“Untuk itu, tinjau ulang usulan pelepasan tersebut dan periksa inisiatif rakyat yang terbukti telah mengamankan kawasan hutan secara arif dan berbasis nilai adat,” kata direktur Eksekutif WALHI di Kalimantan Timur, Fathur Roziqi kepada inilah.com, Jumat (20/7/2023).

Revisi RTRW Kaltim 2022-2042 disepakati menjadi Peraturan Daerah (Perda) oleh Pemprov dan DPRD pada akhir Maret lalu, dan saat ini tengah menunggu harmonisasi dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Komisi IV DPR-RI, yang membidangi lingkungan hidup.

Namun beberapa LSM dan aktivis lingkungan memprotes kebijakan tersebut. Menurut mereka, dalam perda RTRW Kaltim, akan mengubah status lahan seluas 736.055 hektare. Terdiri dari 612.366 hektare atau 83,19 persen berupa pelepasan kawasan hutan, lalu 101.788 hektare atau 13,38 persen, mengalami penurunan status kawasan hutan. Setidaknya, hutan alam seluas 408.225 hektare akan terdegradasi.

Analisis data gabungan LSM lingkungan itu menyebutkan, ada empat perusahaan yang diduga menikmati pelepasan dan penurunan status kawasan hutan. Pada sektor tambang, ada empat perusahaan besar. Yaitu Adaro seluas 58.000 hektare (35 persen), Bayan Resources (13 persen), BBE Mining seluas 8.543 hektare (5 persen), dan LX International seluas 4.200 hektare (3 persen). Sisanya seluas 47.898 hektare (29 persen), didapatkan 53 perusahaan pertambangan.

Nyatanya justru meningkatkan praktik devorestasi atau mengubah kawasan hutan seperti yang dijanjikan pemerintah. Hasil temuan pemerhati lingkingan menunjukkan dari total lahan tersebut hanya 13 persen yang memberikan bantuan untuk masyarakat setempat. Sisanya, justru terbesar, untuk kepentingan korporasi.

Walhi juga menilai bahwa revisi tata ruang kerap dijadikan cara untuk mengampuni aktivitas perusahaan ilegal. “Dan patut dipertimbangkan, bahwa eskalasi konflik tenurial di Kaltim semakin meningkat akibat kesenjangan penguasaan ruang yang jusru untungkan korporasi,” ucapnya lagi.

Fathur menambahkan, audiensi sudah dilakukan ke Komisi IV DPR. Selanjutnya pihaknya menunggu komitmen Wakil Ketua Komisi I, bahwa segera memanggil Tim Terpadu dan KLHK untuk mengklarifikasi aduan Koalisi Indonesia Memantau, yang salah satunya adalah Walhi Kalimantan Timur.

Back to top button