News

Wajah Pemerintahan ke Depan Suram jika KPU Tak Komitmen Jaga Regulasi

Mantan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Ida Budhiati menilai cara kerja KPU periode saat ini menunjukkan tidak adanya komitmen untuk menjaga keajekan regulasi penyelenggaraan pemilu. Hal tersebut mengakibatkan wajah pemerintahan ke depan menjadi suram.

“KPU seringkali memunculkan atau bahkan menghapuskan peraturan yang menuai polemik di tengah masyarakat. Salah satunya terkait dengan laporan penerimaan sumbangan dana kampanye (LPSDK) oleh peserta pemilu di Pemilu 2024,” kata Ida dalam diskusi bertajuk ‘Kotak Pandora Kebijakan KPU RI: Menggelar Karpet Merah untuk Napi Korupsi dan Menghapus Pelaporan Dana Kampanye’ yang digelar virtual pada Minggu (11/6/2023).

Menurut anggota KPU periode 2012-2017 itu, KPU yang periode ini tidak perlu terlalu banyak menguras energi untuk menimbulkan persoalan hukum yang semestinya tidak perlu terjadi.

Hal ini dikarenakan Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tidak mengalami perubahan, sehingga seluruh instrumen teknis penyelenggaraan pemilu, yang tertuang dalam PKPU sudah cukup lengkap.

“Dan regulasi KPU di tahun 2019 itu meneruskan legacy yang sudah ditanamkan nilai-nilai pemilu yang demokratif dan berintegritas pada tahun 2014,” lanjut Ida.

“Jadi soal LPSDK, itu sudah diterapkan sejak Pemilu 2014, 2019 dan apalagi UU-nya tidak berubah, jadi kita patut bertanya kepada KPU apa yang menjadi alasan-alasan filosofis, sosiologis, apalagi alasan yuridis mereka ini meniadakan LPSDK,” tambah dia.

Terkait pernyataan salah seorang anggota KPU Idham Kholik yang menyebut bahwa LPSDK tidak diatur dalam UU Pemilu, justru membuat Ida berpikir bahwa ini adalah cara pandang yang kaku.

“Jadi (Idham) membaca pasal itu isi teks yang ada di dalam Pasal 334 yang menyebutkan dua jenis laporan dana kampanye, yaitu laporan dana awal kampanye dan penerimaan pengeluaran dana kampanye di Pasal 335,” ungkap Ida.

Ida menyebutkan bahwa memang jika ditelusuri perubahan sejak UU Nomor 12 Tahun 2003 hingga UU Nomor 7 Tahun 2017, hanya mengenal dua jenis laporan dana kampanye saja.

“Tapi kan kemudian setelah pemilu, penyelenggara pemilu itu kan melakukan evaluasi. Apa yang harus diperbaiki begitu ya dalam ruang lingkup KPU sebagai regulator,” jelasnya.

Tak hanya itu, LPSDK, tambah Ida juga bisa menjadi bahan pertimbangan bagi masyarakat untuk mengetahui kredibilitas calon dan ketika menggunakan hak pilihnya.

“Meskipun gitu ya tidak diatur dalam UU, selama diatur dalam PKPU dan juga dipraktikkan dalam dua kali pemilu di Indonesia, parpol itu dan peserta pemilu paslon dan DPD mereka patuh pada PKPU. Tidak ada resistensi dari peserta pemilu,” tegas Ida.

“Justru LPSDK dihilangkan, itu peserta pemilu juga mengalami kerugian, kenapa? Peserta pemilu juga akan mengalami kesulitan karena laporan dana kampanye itu dibuat sistem pelaporannya jadi sistem pelaporan yang sistem kebut semalam,” sambung dia.

Oleh karena itu, Ida mempertanyakan komitmen KPU periode saat ini. “Apakah KPU sekarang ini masih punya spirit yang kuat dalam usaha untuk mewujudkan pemilu berintegritas, pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi,” ucapnya.

Ia menilai jika LPSDK dihapuskan tentu artinya masyarakat tidak bisa berharap akan pemilu yang berintegritas. “Dan wajah pemerintahan ke depan itu semakin suram gitu ya, kalau KPU itu tidak punya komitmen yang kuat untuk membuat regulasi, melengkapi ketentuan UU, memenuhi, melayani peserta pemilu dan juga melayani pemilih di bidang politik,” tegas Ida menambahkan.

Back to top button