Hangout

Tren Nikah Muda Surut, Sindrom Cinderella Memudar?

Tren nikah muda mengalami penurunan. Tak hanya terjadi di Indonesia, juga di negara tetangga Singapura. Pernikahan dini selama ini menjadi kekhawatiran banyak kalangan karena berisiko bagi kesehatan fisik dan mental.

Menarik mencermati data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat hampir di seluruh wilayah Indonesia, data perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun cenderung turun dari tahun ke tahun. Misalnya saja, di Jawa Barat persentasenya turun menjadi 10,09 persen tahun 2021, dibandingkan 2020 yang mencapai 11,96. Kemudian di Jawa Tengah presentasi menjadi 9,75 persen di 2021 dari 10,05 persen di 2020.

Menariknya, di Jakarta, tren menikah muda justru mengalami kenaikan pada 2021 sebesar 4,68 persen. Padahal, pada 2020 jumlahnya hanya 1,45 persen. Kenaikan juga terjadi di Yogyakarta di mana pada 2021 angkanya mencapai 3,52 persen, dari 1,85 pada 2020.

Tren penurunan angka nikah di usia muda juga terjadi di negara tetangga Singapura. Dalam survei yang dilakukan Divisi Kependudukan dan Bakat Nasional Singapura yang dilakukan antara Februari dan Juni 2021 terungkap delapan dari 10 lajang muda ingin segera menikah di usia muda.

Hasil survei bertajuk ‘Perkawinan dan Orang Tua di Singapura’ itu terungkap, meskipun mayoritas 80 persen dari para lajang berusia 21 hingga 35 tahun yang disurvei ingin menikah muda, proporsinya menurun selama bertahun-tahun.

Survei tersebut melibatkan 2.848 lajang, dan 3.017 responden sudah menikah, dengan rentang usia antara 21 dan 45 tahun. Hasil survei mengungkapkan, mayoritas lajang berusia 21 hingga 45 tahun, merasa bahwa memiliki karier dan membesarkan keluarga sama pentingnya, sementara 14 persen menganggap keluarga sebagai prioritas yang lebih penting daripada karier. Sekitar 77 persen dari para lajang yang disurvei juga mengindikasikan bahwa mereka ingin memiliki anak.

Terlepas dari tingginya proporsi responden yang ingin memiliki anak, setengah dari responden menikah hanya memiliki satu anak atau bahkan sama sekali tidak memiliki anak. Tiga alasan utama yang sering dikemukakan oleh responden yang tidak ingin memiliki anak lagi adalah biaya finansial, sudah memiliki cukup anak, dan stres membesarkan anak. Uang tetap menjadi faktor kunci bagi mereka yang ingin memiliki lebih banyak anak juga.

Usia menikah di banyak negara

Hampir semua negara di dunia memiliki undang-undang yang menentukan usia berapa pasangan dapat menikah. Pada sebagian besar negara, mereka yang berusia di bawah 18 tahun diizinkan untuk menikah. Memang, setidaknya 117 negara (termasuk Amerika Serikat) mengizinkan anak-anak untuk menikah, menurut analisis Pew Research Center.

Di banyak negara usia 18 tahun secara hukum menandai akhir masa kanak-kanak. Sehingga sebagian besar negara (153 dari 198 yang disurvei) mengharuskan orang yang ingin menikah harus sudah dewasa yakni 18 tahun atau lebih.

Tetapi banyak negara memiliki semacam pengecualian untuk persyaratan ini. Misalnya, di Australia, jika seseorang berusia minimal 18 tahun, pasangannya dapat (dengan persetujuan pengadilan) berusia 16 tahun. Dan di banyak negara lain, seperti Irak, Jamaika, dan Uruguay, anak-anak dapat menikah dengan izin orang tua.

Di sekitar satu dari lima negara (38), ada perbedaan usia minimum untuk pria dan wanita. Misalnya, di Bangladesh, wanita harus berusia 18 tahun dan pria harus berusia 21 tahun untuk menikah. Di 37 dari 38 negara ini, jumlah minimum untuk anak perempuan lebih rendah dari keduanya.

Dalam Undang-undang Perkawinan di Indonesia yang dikeluarkan dan disahkan pada 1974, kemudian diubah lagi pada tahun 2019, usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun bagi pria dan wanita.

Di Indonesia, pernikahan di usia muda bahkan anak-anak masih menjadi fenomena yang biasa terjadi terutama di pelosok-pelosok daerah. Meskipun Indonesia diakui sebagai bangsa yang menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, namun tidak dapat dipungkiri tradisi dan nilai budayanya tetap kuat. Di berbagai daerah tradisi menikah di usia muda dan anak-anak masih dipegang teguh.

Misalnya saja, masyarakat adat di Indonesia sudah puluhan tahun mengenal praktik ‘kawin gantung’, artinya anak-anak dinikahkan tetapi baru boleh tinggal dalam satu rumah setelah dewasa. Bagi mereka yang menghormati hak asasi manusia dan prinsip kesetaraan gender, praktik ini mungkin terdengar aneh.

Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak Republik Indonesia pada 2020, dari 270 juta penduduk Indonesia, sekitar 11,2 persen perempuan menikah pada usia 20-24 tahun dan 7,2 persen perempuan menikah di bawah usia 17 tahun. Indonesia menduduki peringkat kedua menurut angka pernikahan anak di negara-negara ASEAN.

Dampak nikah muda

Di beberapa daerah, baik di Pulau Jawa ataupun di luar Jawa, praktik nikah muda masih sering terjadi di masa kini. Ada beberapa hal yang membuat anak muda memutuskan untuk nikah dini salah satunya adalah dorongan dari orang tua.

Ada juga yang berpikir menikah lebih cepat lebih baik serta kampanye dari public figure tentang nikah muda dengan alasan untuk menghindari seks bebas dan perzinaan. Pendidikan yang rendah juga menjadi faktor masih terjadinya nikah muda ini.

Masalah ekonomi juga ikut memberi andil. Kemiskinan mendorong seseorang untuk menikah lebih cepat untuk memperbaiki kualitas hidup. Penyebab lainnya adalah kehamilan yang tidak bisa diprediksi atau kehamilan di luar pernikahan.

Yang sering terlupakan dari nikah muda adalah konsekuensi terhadap kesehatan terutama untuk perempuan. Perkawinan muda dan anak-anak meningkatkan risiko kehamilan dini yang tidak direncanakan. Ini bisa menimbulkan dampak kesehatan antargenerasi yaitu risiko komplikasi dan kematian ibu.

Dengan agensi dan status yang lemah, anak perempuan dalam pernikahan dini lebih mungkin mengalami kekerasan dalam rumah tangga. Secara keseluruhan, itu mengisolasi anak perempuan dari keluarga dan teman-teman serta mengecualikan mereka dari berpartisipasi dalam komunitas mereka. Akibatnya dapat memunculkan korban-korban perempuan mengalami masalah kesehatan mental dan kesejahteraan jiwa.

Karena masih labilnya usia dalam perkawinan juga persiapan yang belum matang, angka perceraian pun semakin tinggi. Beberapa pasangan yang memutuskan nikah muda banyak yang memutuskan pula untuk bercerai. Salah satu kasusnya berada di Indramayu. Mungkin Anda pernah mendengar istilah RCTI sebagai kependekan dari Randa Cilik Turunan Indramayu, yang artinya Janda Muda dari Indramayu.

Sindrom Cinderella

Sebagaimana tokoh Cinderella dalam cerita rakyat, perempuan memilih menantikan seorang pangeran yang akan menyelamatkan dirinya dari kesengsaraan dan ketidaknyamanan. Sindrom ini muncul akibat tren urban khususnya pada pada diri perempuan.

Banyak perempuan yang merasakan lelah menghadapi situasi saat ini misalnya pusing karena harus sekolah, kesulitan ekonomi atau capai karena bekerja. Untuk keluar dari masalah, perempuan memilih menikah meskipun di usia muda dan menyerahkan apa yang menjadi bebannya kepada suaminya.

Lelah, lantas ingin menikah, merupakan bentuk dari perilaku perempuan yang kurang mampu bertanggung jawab terhadap apa yang tengah terjadi dalam dirinya. Ini merupakan dampak lain dari ketidakmatangan psikis perempuan menyikapi pernikahan muda.

Sindrom Cinderella pertama kali dikemukakan oleh Collete Dowling pada 1981 melalui bukunya yang kemudian dialihbahasakan oleh Santi WE Soekanto pada 1989 berjudul ‘Cinderella Complex: Ketakutan Perempuan akan Kemandirian’.

Dowling mendefinisikan sindrom Cinderella sebagai sebuah jaringan sikap dan rasa cemas akan kemandirian yang membuat psikis perempuan tertekan (insecure). Definisi mandiri yang dimaksud Dowling adalah kemampuan untuk mengeksplorasi pontensi diri, kemampuan bergantung pada diri sendiri dalam membuat keputusan, kepahaman pada kapasitas diri, dan kemampuan mengolah potensi diri menjadi sebuah keuntungan atau profit.

Dowling menjelaskan sindrom Cinderella muncul dalam bentuk keinginan yang mendalam untuk dirawat dan dilindungi oleh laki-laki. Perempuan memiliki kecenderungan ketergantungan yang tersembunyi dan terkubur dalam alam bawah sadar. Perasaan enggan dan cemas yang dialami perempuan tersebut mengakibatkan timbulnya kebutuhan psikologis untuk menghindari kemandirian dan keinginan untuk diselamatkan.

Parahnya, hal ini dinormalisasi oleh budaya kita yang patriarkis karena peran gender dalam rumah tangga yang menempatkan laki-laki sebagai kepala rumah tangga yang bertugas melindungi dan mengayomi sedangkan perempuan sebagai yang dilindungi dan yang diayomi. Akibatnya, ideologi feminitas seperti ini menjadikan perempuan mencerap status inferior mereka sehingga tidak dapat mengembangkan potensi diri yang paripurna.

Trend sindrom Cinderella di era sekarang tampaknya mulai memudar. Perempuan banyak yang memegang prinsip dan memahami bahwa menikah tidak selalu menuntaskan persoalan yang ia hadapi. Artinya tidak semua perempuan kebelet menikah.

Banyak perempuan semakin modern dalam berpikir dan bersikap. Mereka masih ingin bekerja dan membangun karir sendiri sekaligus memanjakan dirinya dengan apa yang telah ia capai. Perempuan mulai mencoba untuk mandiri menjalani hidupnya sebelum membangun rumah tangganya.

Menghindari nikah muda

Di Indonesia, pernikahan dini ini bertolak belakang dengan undang-undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 pasal 6. Namun, meskipun sudah ada payung hukumnya, pernikahan anak di Indonesia masih sulit diatasi. Hanya saja bukan berarti tidak mungkin menindak tegas para pelaku.

Ada beberapa tindakan yang mungkin dilakukan. Misalnya, kepedulian terhadap kesejahteraan rakyat menjadi pekerjaan rumah yang krusial bagi pemerintah. Dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pernikahan anak dengan dalih ekonomi dapat dihindari.

Tindakan lainnya adalah memberikan pemahaman kepada anak-anak bahkan orang tua tentang perkawinan yang merupakan hal mendasar. Peran tokoh adat dan agama sebagai perwakilan masyarakat sangat penting untuk mendidik remaja putri tentang dampak perkawinan anak.

Terakhir, tetapi juga sangat penting, dengan meningkatkan penegakan hukum terhadap perkawinan anak di Indonesia. [ikh]

Back to top button