Kanal

Terpaan Politik Sandera


Politik sandera dengan memperalat hukum, sama sekali tidak sehat untuk kematangan demokrasi. Politik sandera menjadi salah satu cara berpolitik paling primitif, kampungan, dan niradab. Mereka acap kali tanpa rasa malu, mempermainkan hukum demi singgasana kekuasaan, sekaligus menutupi kecurangan yang mereka ciptakan. 

Oleh: Wiguna Taher

Cawapres 03 yang juga Menko Polhukam Mahfud MD dalam akun X-nya mencuit, “Seorang eks Ketua DPRD, pernah mengadu kepada saya, selalu dipanggil oleh aparat penegak hukum (APH) dengan dugaan memimpin korupsi APBD berjamaah. Setiap dipanggil APH dia diperas agar tidak dijadikan tersangka (TSK). Ditunjukkan foto kekayaan dan aset-asetnya plus istri simpanannya yang dianggap hasil korupsi dan aibnya.”

“Dia pun tak berkutik, tertekan, dan selalu membayar. Tapi setelah berhenti jadi ketua DPRD dan hartanya habis, tak bisa diperas lagi, dia tetap dijadikan TSK dan dipenjara 7 tahun. Itu contoh orang tersandera. Hidupnya tak merdeka, selalu dalam tekanan. Hai anak-anak muda, yang lurus dan jangan sampai tersandera ya.”

Cuitan @mahfudmd, 20 Januari 2024 itu dilihat 1,6 juta kali, direpost 3.847, dan mendapat like 15 ribu lebih. 

Apa yang dicuitkan Mahfud MD itu hanya contoh kecil dari praktik politik sandera di republik ini, yang menjadikan hukum sebagai alat pukul utama. Hukum ditegakkan hanya kepada lawan politik. Yang tak mau ikut gerbong, dicari titik lemahnya, diperiksa sampai menyerah, ujung-ujungnya harus ikut keinginan penguasa. Tetapi dalam situasi yang lain, hukum tiba-tiba mandul, berliku jalannya, apabila menyangkut kepentingan konco politik.

Sudah menjadi pengetahuan publik bahwa, tidak sedikit dari pejabat dan politisi kita yang terindikasi tersangkut kasus hukum. Jelang kontestasi pilpres 2024, realitas itu menjadi semacam tali kekang yang menjerat leher. Ibarat kerbau yang dicucuk hidungnya, mereka manut, dan tunduk dengan keinginan penguasa. Tersandera.

Sebagai pengingat, bagaimana hebohnya jagad ini tatkala Kejaksaan Agung memeriksa Menko Perekonomian Airlangga Hartarto selama 12 jam pada 24 Juli 2023 lalu. Dia diperiksa terkait dugaan korupsi izin ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan turunannya, termasuk minyak goreng periode 2021-2022. 

Dalam kasus yang menyebabkan kerugian keuangan negara Rp6,47 triliun itu, Kejaksaan Agung menetapkan tiga  tersangka korporasi serta lima terpidana individu. Namun, pemeriksaan bos Partai Golkar itu hingga saat ini tak ada tindak lanjutnya. 

Kini, Airlangga dan Partai Golkarnya, berdiri tegak mendukung pasangan Prabowo-Gibran, dengan mengabaikan amanat Munas partai yang memberi mandat kepada Airlangga untuk maju sebagai capres atau cawapres. 

Sebelumnya lagi, Rabu (21/12/2022) tim penyidik KPK menggeledah ruang kerja Gubernur, Wagub, dan Ruang Sekretaris Daerah Pemprov Jatim, di Jalan Pahlawan, Surabaya. Penggeledahan ini diduga berkaitan dengan operasi tangkap tangan Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Sahat Tua Simanjuntak beberapa waktu lalu. 

Hingga kini, tak ada tindak lanjut dari penggeledahan kantor Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak itu. Entah ada kaitannya atau tidak, yang jelas, setelah melalui berbagai lobi politik yang panjang, sekarang mereka berdua masuk dalam jajaran elit tim pemenangan Prabowo-Gibran. 

Berbeda dengan nasib dua menteri asal Partai NasDem, Menkominfo Johnny G Plate dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo. Kasus korupsi keduanya dibuka secara terang benderang dan status tersangka disematkan, setelah Nasdem, partai tempat mereka bernaung mengusung capres yang berseberangan dengan kekuasaan. 

Lepas dari itu semua, politik sandera dengan memperalat hukum, sama sekali tidak sehat untuk kematangan demokrasi. Politik sandera menjadi salah satu cara berpolitik paling primitif, kampungan, dan niradab. 

Hukum sejatinya harus ditegakkan kapan, dimanapun, dan kepada siapa pun, tanpa pandang bulu sesuai asas kesetaraan di muka hukum (equality before the law)

Itu sebabnya hukum dilambangkan dengan seorang perempuan yang disebut dengan Dewi Keadilan, yang tertutup matanya, sebelah tangannya membawa timbangan, dan tangan lainnya membawa sebuah pedang yang diturunkan ke bawah. 

Maknanya, hukum tidak perlu ditakuti karena sesungguhnya hukum itu memiliki sifat memelihara dengan nurani kemanusiaan. Hukum tidak membedakan siapa yang berbuat dan tidak pernah memihak. Setiap perbuatan akan ditimbang berat ringannya, sebelum hukuman dijatuhkan. Dan yang pasti, hukum bukanlah alat untuk membunuh.

Kenyataannya, hukum belum manjadi panglima dalam mengatur tata kelola berbangsa dan bernegara. Sebaliknya, politik yang menjadi panglima, sehingga hukum tak ubahnya sekadar alat transaksi untuk tarik ulur kepentingan politik penguasa. 

Mereka acap kali secara terang benderang dan tanpa rasa malu, mempermainkan hukum demi singgasana kekuasaan, sekaligus menutupi kecurangan dan borok yang mereka ciptakan. 

Wiguna Taher adalah Pemimpin Redaksi Inilah.com

Back to top button