News

Terburuk Sejak Reformasi, Pemilu 2024 Disebut Sarat Penggelembungan Suara Paslon


Perkumpulan Jaga Pemilu menilai masa pencoblosan Pemilu 2024 merupakan pelaksanaan pesta demokrasi terburuk sejak era reformasi bergulir tahun 1998 lalu. Hal ini diungkapkan sejumlah aktivis yang tergabung dalam organisasi Jaga Pemilu seiring mencuatnya dugaan kecurangan yang terjadi di sejumlah Tempat Pemungutan Suara di Indonesia (TPS) saat hari pencoblosan Pemilu 2024 tangggal 14 Februari lalu.

Menurut perwakilan dari Divisi Advokasi dan Hukum Jaga Pemilu, Rusdi Marpaung, dugaan kecurangan yang paling banyak terjadi yakni penggelembungan suara salah satu pasangan calon presiden-calon wakil presiden (25 persen). Kemudian, tidak boleh mencoblos (11 persen) dan salah input data di platform rekapitulasi Sirekap milik Komisi Pemilihan Umum (11 persen).

Berikutnya, terkait politik uang (9 persen), pencoblosan ilegal (7 persen), permasalahan Daftar Pemilih Tetap (6 persen), upaya membatasi pengawas pemilu bekerja (6%) serta pelaksanaan pencoblosan yang bermasalah (5 persen).

“Sebelum pencoblosan sudah banyak masalah, mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi, masa kampanye, pendaftaran dan netralitas aparat. Tak heran jika pada hari pencoblosan banyak lagi masalahnya,” kata Rusdi dalam keterangannya dikutip Minggu (25/2/2024).

Dia menjelaskan, hal tersebut menunjukkan para penyelenggara dan pengawas pemilu kehilangan fokus.

“Ini yang membuat pemilu 2024 menjadi yang terburuk sejak reformasi,” ujar Rusdi menyesalkan.

Dia mengungkapkan, data dugaan pelanggaran diperoleh dari 11 ribu penjaga dan relawan pemilu yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia yang memasok data rekapitulasi suara dan dugaan pelanggaran dari 1.000 TPS dan berupaya mengawalnya sampai kecamatan.

“Sampai saat ini JP (Jaga Pemilu) sudah melaporkan 207 dugaan pelanggaran. Dari jumlah itu, satu sudah ditindaklanjuti di mana KPU Makassar berkomunikasi dengan kami perihal dugaan itu,” katanya.

Sementara itu, Staf Migrant CARE Trisna Dwi Yuni Aresta mengatakan, pihaknya telah melaporkan empat peristiwa dugaan kecurangan pemilu yang terjadi di luar negeri kepada Bawaslu. Namun, laporan tersebut ditolak oleh Bawaslu karena dinyatakan tidak memenuhi syarat materiil.

“Keempat laporan itu adalah dugaan pelanggaran terkait data pemilih ganda di New York dan Johor Bahru, insiden hadirnya calon legislatif Uya Kuya yang datang ke WTC Kuala Lumpur pada hari pencoblosan dan Ketua Bawaslu Rachmat Bagja dan komisioner lainnya hadir di lokasi serta adanya spanduk calon legislatif Tengku Adnan yang menempel di Kotak Suara Keliling di Malaysia,” katanya membeberkan.

Migrant Care mendorong agar KPU mengaudit logistik metode pos yang banyak menghilangkan surat suara. Terlebih, metode pos sering jadi alat perdagangan surat suara karena pengiriman metode pos tidak bisa ditelusuri.

“Di Hongkong misalnya, hanya 41 persen pemilih yang bisa menggunakan hak suaranya. Jumlah itu berkurang lagi karena pengguna hak pilih metode TPS (31 persen) ataupun metode pos (31 persen) hanya sebagian. Dari jumlah yang kurang, itu pun berkurang lagi dimana ada 49 persen yang tidak digunakan (kembali ke pengirim) atau tidak dikembalikan,” kata Trisna.

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menambahkan, berdasarkan temuan dari kecuranganpemilu.com, terjadi penggelembungan suara di 16 provinsi dan 83 kabupaten kota di seluruh Indonesia.

“Penggelembungan suara ini terjadi cukup merata di berbagai TPS di seluruh Indonesia. Kami mempertanyakan sistem Sirekap yang tetap menerima suara dari TPS di atas 300 suara padahal batasan suara di tiap TPS maksimal 300 suara. Seharusnya, sistem bisa menolak kalau ada TPS yang jumlahnya lebih dari 300 suara,” ujar Feri.

 

Back to top button