Market

Tata Kelola Keuangan Serampangan, Warisan Utang Jokowi Bisa Belasan Ribu Triliun


Ekonom senior yang juga Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini mengkritisi tata kelola anggaran di era pemerintahan Jokowi yang dinilai serampangan.

Dalam diskusi daring yang diinisiasi Universitas Paramadina bertema “Evaluasi Akhir Tahun Bidang Ekonomi, Politik, dan Hukum, dikutip Jumat (15/12/2023), Prof Didik menyebut politik anggaran menjadi pilar paling penting sebagai cermin dari demokrasi, justru babak belur di saat kini.

Saat pandemi COVID-19, kata Prof Didik, Presiden Jokowi menelorkan Perppu No 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona. Serta aturan turunannya yakni Perpres 54/2020.

Dalam beleid itu meniadakan peran DPR yang bermakna mematikan fungsi checks and balances parlemen, termasuk dalam dalam penyusunan APBN.

Pasal 12 Perppu 1/2020 memberikan ruang kepada presiden untuk mengeluarkan APBN hanya berdasar Perpres 54/2020. Dengan hilangnya checks and balances, maka hilang pula salah satu karakteristik yang sangat esensial dalam kehidupan demokrasi suatu negara.

Celakanya lagi, pasal 27 Perppu 1/2020 meniadakan pula pengawasan dari lembaga yudisial. Artinya, dugaan korupsi terkait anggaran COVID-19 tidak bisa diperkarakan alias kebal hukum.  “Aturan itu justru menjadi bencana. Karena, banyak orang yang culas atau curang dalam penangangan anggaran COVID-19,” ungkap Prof Didik.

Salah satu pelanggaran yang mencolok, kata Prof Didik, saat pandemi COVID-19, meniadakan 2/3 kegiatan kerja di kantor. Termasuk agenda kunjungan kerja kementerian dan lembaga (K/L) yang anggarannya cukup besar.

“Sehingga dana tersebut dapat dialihkan untuk membantu masyarakat yang terdampak COVID-19. Namun, nyatanya, pemerintah justru menarik utang hingga Rp1.500 triliun, untuk foya-foya,” kata dia.

Pada dasarnya, kata mantan anggota DPR asal PAN itu, APBN merupakan cermin dari sebuah kebijakan, perilaku politik, dan bandit-banditnya. “APBN bisa dipakai secara legal tetapi curang untuk alat politik, Pilpres, Pileg, dan lain sebagainya. Presiden ke depan jangan meniru pengelolaan anggaran seperti saat ini,” kata pria kelahiran Pamekasan, Madura itu.

Dalam pengamatannya, pemerintah saat ini yang disokong oligarki, terus berupaya memperluas kekuasaan (empire building). Mulai dengan menggulirkan isu penundaan Pemilu 2024, hingga patgulipat aturan cawapres mengarah ke dinasti politik yang menyeret mantan ketua MK, Anwar Usman.

“Hal ini merupakan salah satu kendala bagi investasi untuk masuk ke Indonesia. Demokrasi diindikasi masuk ke jurang karena matinya check and balances. Peranan parlemen yang kian melemah, partai politik sebagai sarang oligarki, usaha perpanjangan 3 periode, dan rule of law rusak berat,” lanjut Prof Didik.

Sedngkan terkait utang, dirinya pernah memprediksikan, warisan utang yang ditinggalkan Jokowi minimal Rp10 ribu triliun. Atau bahkan bisa lebih. “Ditambah utang BUMN, angkanya bisa belasan ribu triliun, utang yang diwariskan kepada pemimpin yang akan datang,” pungkasnya.

 

 

Back to top button