Kanal

Lin Che Wei, Gelincir Minyak dan “Reminiscence of a Stock Operator”

Penerima Tasrif Award yang kemudian menjadi koruptor mungkin boleh diibaratkan Anakin Skywalker yang seiring usia memilih menjadi penjahat paling bengis di jagad raya Star Wars, Darth Vader.

Saya mendapatkan kesulitan yang cukup besar ketika harus menjelaskan kepada Angela, putri kami, mengapa saya dipanggil polisi karena membeberkan manipulasi yang dilakukan oleh sekelompok konglomerat. Angela selalu berpikir bahwa hanya orang jahat yang dipanggil dan diperiksa oleh polisi.”

Pengakuan itu ditulis Lin Che Wei dalam buku “Bukuku Kakiku” terbitan 2004. Saya yakin, sekitar Mei lalu, ketika urusan ekspor minyak sawit mentah (CPO) mulai membelit dan dirinya dijadikan tersangka, Che Wei alias Weibinanto Halimdjati tak lagi menemui kesulitan untuk menerangkan kepada puteri sulungnya yang saat ini telah berusia 27 tahun tersebut.

Mungkin kepada kedua puterinya Che Wei telah menerangkan posisi dan peran yang membuatnya kini dijadikan salah satu tersangka kasus ekspor CPO yang hingga saat ini telah menyeret lima orang sebagai tersangka tersebut. Tetapi kepada publik, jelas belum. Publik yang sebagian masih terperangah, heran dan takjub, bagaimana mungkin seorang penerima Anugerah Tasrif Award dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) itu bisa keluar rel dan memilih peran diametral dengan segala kebaikan yang membuatnya menyabet anugerah tersebut.

Penerima Tasrif Award yang kemudian menjadi koruptor mungkin bisa diibaratkan Anakin Skywalker yang seiring usia memilih menjadi penjahat paling bengis di jagad raya Star Wars, Darth Vader. Pasalnya, Tasrif Award adalah penghargaan AJI yang Award diberikan kepada mereka, entah individu, kelompok atau pun Lembaga, yang gigih menegakkan kebebasan pers, kebebasan berekspresi, dan nilai-nilai keadilan serta demokrasi. Sementara, adakah seorang koruptor pernah berpikir soal keadilan senyampang ia melakukan perbuatan korupsi?

Kita memang sulit percaya bagaimana orang sekaliber Che Wei bisa tergelincir—kalau benar—untuk berperan besar dalam penyelewengan ekspor yang menurut jaksa penuntut umum merugikan negara dengan nilai segede gaban itu: Rp 18,3 triliun!  Sebagai seorang yang dikenal publik sebagai kolektor karya seni, tentu uang Che Wei jumlahnya bukan main. Puluhan tahun lalu ia sudah menjadi direktur utama perusahaan invesment banking asal Prancis, PT Societe Generale Securities Indonesia. Setelah berhasil membongkar aksi manipulasi yang saat itu diangkat pers sebagai Lippogate, Che Wei kemudian diangkat menjadi direktur utama perusahaan sekuritas besar milik negara,  PT Danareksa, dari 2005 hingga 2007. Sekeluar dari Danareksa, Che Wei mendirikan perusahaan riset dan analisis industri sendiri, Independen Research & Advisory Indonesia (IRAI), tempat ia lebih banyak bermain di belakang layar sebagai konsultan.

Tetapi ketenaran membuat Che Wei tak bisa tidak untuk terkait dengan pemerintah. Ia mulai wara-wiri di pemerintahan saat menjadi staf khusus Kementerian BUMN di era Menteri Sugiharto, 2004-2007.  Che Wei pun sempat menjadi staf khusus Menko Perekonomian Aburizal Bakrie, penasihat Menko Perekonomian Sofjan Djalil pada 2014, hingga menjadi bagian tim asistensi Menteri PPN/Bappenas, Menteri ATR/BPN, serta penasihat Menko Perekonomian saat itu, Darmin Nasution. Kementerian di bawah Menko Ekonomi Airlangga Hartarto pun baru memutuskan hubungan kerja dengannya setelah kasus ekspor CPO ini merebak.

Sebagai warga negara yang bertanggung jawab, peraih  penghargaan “Indonesian Best Analyst dari AsiaMoney Magazine dan “The Most Popular Analyst Award” 2002 dan 2004 itu pun tidak melupakan aspirasi politik yang harus ia junjung. Menjelang Pemilu 2014 lalu, melalui konferensi pers bertajuk ‘Manifesto Rakyat yang Tak Berpartai’, Che Wei berikrar menjadi pendukung Jokowi, salah seorang calon presiden saat itu. “Saya yakin memilih Jokowi karena lebih superior. Karena dalam penanganan pedagang kaki lima (misalnya), Jokowi memutuskan untuk menata ketimbang menertibkan. Dia (Jokowi) cenderung memimpin, bukan memerintah. Kemudian juga, Jokowi itu sosok yang peduli,” kata dia.

Alhasil, kedekatannya dengan setiap rejim membuat Che Wei—seharusnya—tak akan kesulitan untuk hidup jauh di atas kriteria layak. Entahlah kalau ia telah lama terpeleset kebenaran pernyataan Gandhi, sebelum tergelincir licinnya CPO saat ini. “Bumi, kata Mahatma Gandhi, “sejatinya cukup untuk memenuhi kebutuhan setiap manusia, tetapi tidak setiap keserakahan manusia.”

Kesan tamak itu bisa otomatis muncul di kepala publik bila mencermati uraian para jaksa dari kejaksaan Agung. Menurut Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, peran penting Che Wei adalah turut membuat kebijakan Kewajiban Pasar Domestik (DMO) dalam kasus dugaan korupsi ekspor minyak sawit mentah (CPO). Ia adalah orang swasta yang sangat didengar Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Pedagangan Indrasari Wisnu Wardhana. “Dia (LCW)) orang swasta, tapi kebijakannya di Kementerian Perdagangan sangat didengar oleh Dirjennya,”kata Jaksa Agung, sebagaimana dikutip Antara, Rabu (18/5/2022) lalu.

Sementara Jampidsus Kejagung, Febrie Adriansyah mengatakan, Chen Wei merupakan pihak yang mengusulkan kepada Kementerian Perdagangan untuk mengeluarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 20 persen kepada para pengusaha kelapa sawit. “Iya, dia yang mengusulkan kebijakan ini. LCW juga yang meyakinkan beberapa pihak (termasuk Kemendag),” kata Febrie saat ditanya soal dakwaan kepada lima terdakwa kasus dugaan korupsi fasilitas izin ekspor minyak goreng, Rabu (31/8/2022) lalu.

Namun, kata Febrie, Chen Wei kemudian melobi para pengusaha kelapa sawit yang tidak lolos DMO agar tetap bisa melakukan ekspor tanpa memenuhi kebijakan DMO minimal 20 persen itu. “Kepentingan perusahaan itulah yang dia lobi. Bagaimana caranya mendapatkan izin ekspor tanpa memenuhi kuota DMO. Makanya jadilah ini kebijakannya,”kata dia.

Yang terasa jauh dari etis, menurut Kejagung, Che Wei juga menerima gaji laiknya konsultan dari perusahaan-perusahaan tersebut. “Saya enggak bisa bilang LCW aktor utama. Kami pastikan dia juga terima gaji dari perusahaan-perusahaan itu. Jadi, masing-masing terdakwa ada kerja samanya,”kata Febrie menambahkan.

Lin Che Wei didakwa melanggar Pasal 2 juncto Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

Direktur Eksekutif Narasi Insitute, Achmad Nur Hidayat, pernah menulis di laman berita RMOL, Kamis (19/5/2022) lalu, bahwa IRAI yang didirikan Che Wei bukan jaringan sembarangan. Mereka adalah jaringan lintas negara dan merupakan para arsitek program biofuel sawit B30.

“Lin Che Wei diduga sering berinteraksi dengan pemilik korporasi besar kelapa sawit seperti Wilmar, Musimas dan Permata Hijau, di mana mayoritas oligarki sawit tersebut lebih memilih Singapura sebagai homebase,”tulis Nur Hidayat. Menurut dia, Che Wei adalah penghubung yang ‘unik’ antara policy makers (pemerintah) dan korporasi. Bukan sekadar advisor, Che Wei juga diduga ikut bermain dalam konflik kepentingan soal perizinan ekspor sawit di Indonesia.

Kuatnya IRAI, menurut Nur Hidayat juga karena lembaga think tank itu memiliki para ahli kebijakan top. Di antara mereka, tulis Nur Hidayat, ada Bambang Harymurti (mantan pemimpin redaksi Majalah Tempo), FX Sutijastoto (ahli energy & mineral resources), Kanya Lakshmi Sidarta (ahli sawit), Lana Winayanti (ahli perencanaan kota), Tai Cheong Hip (ahli migas), Yap Tiay Soen (ahli keuangan dan perbankan). “Sayangnya profil ahli IRAI kini disembunyikan dari frontpage irai.co.id,”kata Nur Hidayat. Itu terjadi segera setelah Che Wei ditetapkan sebagai tersangka. “Website lembaga think tank  IRAI (www.irai.co.id) tiba-tiba menyembunyikan bagian partner dan client IRAI. Padahal sebelumnya bagian tersebut sebagai sesuatu yang dibanggakan,”tulis Nur Hidayat.

Karena ‘lupa’?

Kalau benar Che Wei belakangan terhinggapi sifat loba dan tamak, apa yang menyebabkan semua itu? Apakah karena ia lupa pada esensi buku-buku yang pernah dibacanya, terutama buku yang pernah diakuinya sebagai salah satu buku favoritnya sepanjang hidup,“Reminiscence of a Stock Operator”, karangan Edwin Lefèvre? Buku yang pertama kali diterbitkan pada 1923 itu merupakan fictionalized biography dari seorang spekulator terbesar dalam sejarah investasi, Jesse Livermore.

Tentang buku itu Che Wei menulis,”Mungkin banyak orang bertanya mengapa buku yang sudah sedemikian tua itu masih mempunyai relevansinya di dunia keuangan yang sudah sedemikian maju. Salah satu alasan utama mungkin karena pasar modal masih juga ditentukan oleh sifat serakah manusia dibandingkan dengan hal-hal yang lain. Sejarah berulang secara terus-menerus dan manusia cenderung tidak belajar dari krisis dan pengalaman. Sikap tamak para investor cenderung untuk menuruti herd instinct, ketidaksabaran dan sikap cepat ingin kaya dengan mudah, tidak banyak berubah dari masa ke masa. Walau berbentuk fiksi “The Reminiscence of Stock Operator” banyak sekali memberikan nasihat investasi yang sangat berharga.”

Intensnya keterlibatan Che Wei dalam pemerintahan, juga cenderung berlawanan dengan buku lain yang juga menjadi favoritnya,” Capitalism and Freedom” tulisan ekonom terkemuka Milton Friedman. Kita tahu, sama seperti Thomas Jefferson, Friedman juga beranggapan bahwa pemerintahan yang terbaik adalah pemerintahan yang paling sedikit mengatur.

Che Wei menulis,”Di Indonesia pun saya berpendapat bahwa masyarakat kita seharusnya dapat sadar bahwa pemerintah bukanlah kunci penyelesaian dari semua masalah kita, bahwa kebijakan pemerintah meskipun dilakukan dengan maksud dan tujuan yang baik, sering kali menjadi rancu dan menimbulkan dampak buruk. Sayang sekali bahwa sesudah krisis peranan pemerintah justru makin dominan, baik itu dalam hal pembelanjaan nasional maupun dalam hal kepemilikan aset. Pada saat kini, pemerintah terlalu banyak mengatur hidup masyarakat….”

                           ***

Pada saat menaiki tangga Kejaksaan Agung manakala pemeriksaan kasus Bank Lippo pada 2003 lalu, Che Wei mengaku handphonenya berbunyi. Ternyata ada pesan singkat (SMS) dari ‘seorang teman bijak’-nya, Goenawan Mohamad.

SMS itu, tulis Che Wei dalam “Bukuku Kakiku”, berbunyi: “I have a favourite quote from Lu Xun: Hope isn’t the kind of thing that you can say either exists of doesn’t exist. It’s like a path across the land—it’s not there to begin with, but when lots of people go the same way, it comes into being”.

Goenawan, tulis Che Wei, meneruskan pesannya dengan SMS kedua, yang berbunyi: “You are one of the first persons to create the much needed hope”.

Kita belum tahu, adakah pesan-pesan—kali ini tentunya via WA—yang datang dan meneguhkan Che Wei dalam menjalani cobaan hidupnya saat ini? [  ]

Back to top button