News

Australia Siap Gelar Referendum tentang Hak Warga Pribumi pada 14 Oktober 2023

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengumumkan bahwa referendum mengenai pencantuman hak-hak warga pribumi di dalam konstitusi akan digelar pada 14 Oktober 2023.

Referendum itu menyerukan pembentukan ‘Suara Pribumi untuk Parlemen’, sebuah komite yang akan memberi nasihat kepada para legislator mengenai UU yang berdampak pada masyarakat Pribumi Aborigin dan Kepulauan Selat Torres di negara itu.

Penduduk pribumi Australia mencakup lebih dari 3 persen dari hampir 26 juta populasinya, tetapi tidak disebut-sebut dalam konstitusi meskipun telah menghuni benua itu selama 60.000 tahun lebih.

Mereka dipinggirkan oleh penguasa kolonial Inggris dan tidak mendapat hak pilih hingga tahun 1960-an dan terus ketinggalan di bawah rata-rata nasional pada sebagian besar ukuran sosial ekonomi.

“Memilih ‘tidak’ akan menutup pintu bagi peluang ini untuk dimajukan. Jangan menutup pintu bagi generasi penduduk pribumi Australia mendatang,” kata Albanese dalam pidatonya saat mengumumkan tanggal referendum itu di Kota Adelaide, Rabu (30/8/2023).

Dukungan masyarakat bagi referendum itu telah surut sejak legislasi itu disahkan oleh Senat Australia pada Juni lalu di tengah perdebatan panas. Para penentang mengatakan referendum itu akan memecah belah warga Australia berdasarkan ras.

Referendum ini akan memerlukan persetujuan dari mayoritas pemungutan suara secara nasional dan mayoritas di enam negara bagian di Australia. Referendum konstitusional terakhir yang disahkan adalah pada 1977.

Saat ini, sudah ada kampanye dari kedua belah pihak ‘Yes’ dan ‘No’ dan akan terus berlangsung selama enam pekan ke depan untuk mencari dukungan warga.

Referendum Pribumi

Mereka yang memilih ‘Yes’

Bagi mereka yang mendukung ‘Yes’, hanya ada dua alasan sederhana, yakni rasa hormat dan pengakuan.

Kubu ‘Yes’ menginginkan pengakuan terhadap masyarakat Pribumi Australia dalam Konstitusi, karena menurut mereka Australia tidak bisa lagi menjadi satu-satunya negara kolonial yang tidak mengakui masyarakat pribumi dan adat dalam dokumennya.

Para pendukungnya mengatakan kondisi dan pengambilan kebijakan terkait masyarakat Pribumi Aborigin saat ini tidak dapat dilanjutkan. Untuk mengubah kondisi ini, masyarakat Pribumi Aborigin dan Selat Torres harus bisa memberikan pendapat mengenai hal-hal yang akan memengaruhi kehidupan mereka.

Untuk pembuatan kebijakan yang lebih baik dan konsisten, mereka mengatakan pemerintah harus berkonsultasi dengan badan perwakilan mengenai undang-undang dan kebijakan yang memengaruhi mereka.

Pengakuan dan penghormatan ini bisa dilakukan dengan membentuk sebuah badan ‘Suara Pribumi untuk Parlemen’, yang berarti sebuah badan permanen yang tidak dapat dihapuskan kecuali jika ada referendum lagi.

Referendum Pribumi

Kelompok ‘Yes’ mengatakan lembaga ini akan menggabungkan simbolisme pengakuan dengan tindakan nyata dalam bentuk badan penasehat.

Kelompok-kelompok yang berbeda sudah bekerja sama agar bisa mendapat dukungan ‘Yes’ pada referendum. Banyak warga yang terlibat dalam kampanye ini bekerja selama bertahun-tahun untuk mencoba mendapatkan pengakuan masyarakat Pribumi dalam agenda nasional.

Salah satunya adalah Dialog Uluru, kelompok warga yang mengagas ‘Uluru Statement from the Heart’ yang mengusulkan adanya ‘Voice, Treaty, Truth’. Juru bicaranya termasuk Profesor Megan Davis, Aunty Pat Anderson, dan Noel Pearson.

Ada juga tim kampanye resmi Yes23 dari pemerintah federal yang dipimpin oleh Perdana Menteri Anthony Albanese, dan seluruh pemerintahan negara bagian.

Kelompok yang mendukung ‘Yes’ juga sudah mengumpulkan ribuan relawan di seluruh negeri, yang sudah melakukan doorknocking ke rumah-rumah warga, menggelar pertemuan dengan warga, serta acara komunitas lainnya, dengan didukung berbagai organisasi ternama di Australia seperti asosiasi football AFL, asosiasi rugby NRL, maskapai penerbangan Qantas , perusahaan telekomunikasi Telstra dan Bank Commonwealth.

Mereka yang memilih ‘No’

Mereka yang berkampanye ‘No’ mendapat dukungan dari kelompok lobi konservatif Advance di bawah bendera ‘Australian for Unity’, didukung oleh juru bicara Warren Mundine dan juru bicara oposisi untuk Masyarakat Pribumi Australia, yakni Jacinta Nampijinpa Price.

Pendukung utama ‘No’ lainnya termasuk pemimpin oposisi, seperti pemimpin Partai Liberal Peter Dutton dan pemimpin Partai Nasional David Littleproud.

Peter mengatakan ia akan mendukung undang-undang yang mengakui penduduk asli Australia, namun mendukung kelompok yang ingin membentuk badan penasehat untuk dimasukkan ke dalam konstitusi.

Hal ini membuat Partai Liberal berselisih dengan mitra koalisi mereka, dan David Littleproud sejauh ini menolak untuk mengikat partainya pada kebijakan tersebut.

Kampanye ‘No’ dari Australians for Unity memiliki tiga alasan utama mengapa menentang ‘Suara Pribumi untuk Parlemen’: kekhawatiran akan menimbulkan perpecahan, akan menghadapi tantangan hukum, dan hal-hal lainnya yang tidak diketahui.

Referendum Pribumi

Mereka melihat ‘Suara Pribumi untuk Parlemen’ sebagai sesuatu yang ‘memecah belah’ antara penduduk asli Australia dan masyarakat lain secara luas.

Para pendukung ‘No’ juga mengatakan mereka tidak ingin konstitusi diubah karena mereka yakin malah menciptakan peluang untuk mengajukan gugatan hukum di pengadilan tinggi.

Beberapa pegiat ‘No’ juga mengatakan mereka ingin melihat undang-undang yang akan mengatur ‘Suara Pribumi untuk Parlemen’, sebelum melakukan pemungutan suara dalam referendum.

Ada juga ‘No’ yang sekunder, yang disebut sebagai ‘No yang progresif’, diperjuangkan oleh senator Lidia Thorpe danBlack Sovereign Movement yang ia wakili di parlemen.

Kelompok ini tidak mendukung usulan ‘Suara Pribumi untuk Parlemen’, tapi dengan alasan yang berbeda dengan para pendukung ‘No’ lainnya.

Para pendukung kelompok ‘No’ yang progresif percaya usulan ‘Suara Pribumi untuk Parlemen’ tidak cukup efektif, karena badan tersebut hanya berfungsi sebagai penasehat dan tidak memiliki kekuasaan independen atau hak veto terhadap parlemen.

Mereka juga tidak ingin masyrakat Pribumi Australia dimasukkan ke dalam dokumen konstitusi, yang dianggap sebagai sebuah dokumen kolonial yang tidak sah oleh sebagian orang.

Kelompok ‘No’ yang ‘progresif’ juga menyerukan untuk lebih mendahulukan ‘Treaty’ sebelum ‘Suara Pribumi untuk Parlemen’, karena mereka percaya ini akan lebih banyak manfaatnya untuk meningkatkan kehidupan masyarakat Pribumi Australia.

Back to top button