Kanal

Sejarah yang Berulang

Tahun 1999, ayah saya pertama kali berangkat haji sebagai petugas haji. Ia menjadi Tim Pemandu Ibadah Haji (TPIH) pada usia 41 tahun. Saya masih ingat betul saat itu, ketika ayah mengenakan seragam cokelat dan kami mengantar ayah hingga depan pintu rumah. Bapak memberikan pesan kepada ibu, “Fatihah ka Mama Abdul Fatah, jejek taneuh tilu kali.” Artinya, bacalah Al-Fatihah untuk Mama Abdul Fatah dan injaklah bumi tiga kali.

Mungkin Anda bertanya apa dasar hukumnya atau dalil dari Al-Quran atau hadis terkait dengan hal ini. Saya tidak tahu atau mungkin memang tidak ada. Namun, mengirimkan “hadiah” Al-Fatihah kepada leluhur yang telah tiada, saya rasa memiliki makna tersendiri. Seperti memberikan hadiah kepada mereka. Apakah bacaan Al-Fatihah tersebut sampai kepada ruh yang telah tiada? Mungkin jawaban jenaka dari Gus Dur sudah cukup untuk menjawab, “Coba dicek, apakah Al-Fatihah yang dikirim itu balik lagi? Kalau tidak balik lagi, berarti sampai.” Itu hanya lelucon.

Tentang injak bumi tiga kali, saya percaya itu adalah peristiwa simbolis. Sebuah pesan yang disampaikan kepada seseorang yang akan pergi jauh, “Ingatlah, inilah tanah tempatmu pulang. Nanti kembali ke sini. Di tanah ini kamu dilahirkan, di tempat yang jauh di sana, bawalah dan jagalah nama baik tempat ini.” Itu kira-kira maksudnya.

Setelah itu, almarhum kakek saya mengumandangkan azan di depan pintu rumah, melepas kepergian ayah. Ayah yang saya kira kuat, saat itu menangis dengan sangat. Ia akan meninggalkan anak-anaknya. Terutama istri, ibu saya, yang tidak bisa diajak pergi ke tanah suci seperti yang pernah dijanjikan sebelumnya. Saya ingat ibu tidak mau mengantar ayah sampai ke pintu, ia menangis di ruang tamu.

Processed With Moldiv - inilah.com
Foto: Dok Pri

24 tahun kemudian, sejarah tampaknya berulang. Kali ini giliran saya, pada usia 36 tahun, lebih cepat 5 tahun dari perjalanan ayah, saya berangkat haji juga sebagai petugas haji. Tetapi kali ini saya menjadi Petugas Haji Daerah. “Seperti ayah,” kata ibu saya, karena perjalanan saya sangat mirip dengan ayah saya. Sahabat saya, Bang Erick, mengatakan, “Seperti film yang sudah dipersiapkan dan diputar ulang.” Saya tersenyum mendengar perumpamaan tersebut.

Namun, ternyata tidak semudah itu mengelola perasaan. Saat tiba di Madinah, saat menyampaikan salam dari istri saya kepada Rasulullah, saya menangis. Rasanya ada rasa bersalah karena tidak bisa membawa istri saya berhaji bersama. Semoga doa saya sekuat doa ayah. Konon, beberapa peristiwa

sejarah memang berulang. Hal itu merupakan refleksi dari perjalanan hidup kita yang telah ditetapkan, maktub. Guru saya pernah mengatakan, “Jika amalanmu sama dengan orangtua, kamu bisa mewarisi dan melanjutkan perjuangannya. Jika amalanmu sama dengan amal leluhurmu, kamu bisa melanjutkan apa yang dicita-citakan dan didoakan leluhurmu dahulu.” Hanya Allah yang mengetahui segala rahasia.

Yang pasti, sebelum berangkat haji, saya diantar ayah dan ibu sampai ke depan pintu. Mereka mendoakan saya. Ayah berkata, “Sok, Fatihah ka Mama Abdul Fatah, injak bumi tiga kali.” Kirimkan ‘hadiah’ Al-Fatihah untuk kakek buyut saya, Mama Abdul Fatah, dan injak bumi tiga kali.

Tanpa banyak bertanya, saya melakukannya sambil tersenyum. Ayah membalas senyum tersebut, “Wios, ieu mah warisan ti Mama.” Artinya, tidak apa-apa, ini adalah warisan dari Mama—kakek buyutmu. Saya mengangguk.

Beberapa saat kemudian, ayah mengangkat sebelah tangannya dan mulai mengumandangkan azan, “Hayya ‘alash-shalah… hayya ‘alal-falah.” Barangkali azan tersebut adalah simbol panggilan untuk beribadah, panggilan untuk mengingat dan membesarkan Allah dalam setiap langkah yang akan diambil, serta panggilan untuk pulang.

Di Masjidil Haram, saat itu di antara waktu Zhuhur dan Ashar, azan ayah masih terngiang. Mungkin saya merindukannya, seperti yang pernah dia rasakan dulu ketika menahan rindu di tanah suci. Kemudian mencurahkannya melalui doa dan shalat. Kekuatannya seratus ribu kali lipat dari rindu, doa, dan shalat yang dilakukan di tempat-tempat lain di dunia.

Setelah doa, saya merasa seolah-olah mengalami déjà vu. Apakah ayah juga pernah mengalami hal yang sama?

Mekkah, 26 Zulkaidah 1444H

FAHD PAHDEPIE

Back to top button