Hangout

Sejarah Desa Bengkala, Desa Bisu-Tuli di Bali yang Kaya Nilai Kemanusiaan

Ditulis oleh: Kanty Atmodjo

Tak hanya menawarkan keindahan alam dan budayanya, ada banyak keunikan di Bali yang membuat para wisatawan terus berdatangan.

Salah satunya adalah melihat keunikan di Desa Bengkala yang terletak di Kabupaten Buleleng, Bali.

Sekilas, desa ini tampak seperti desa pada umumnya. Namun, jika sudah bertemu dengan penduduk desanya dan berkomunikasi dengan mereka, barulah paham keunikan dari desa ini.

Keunikan Desa Bengkala adalah mayoritas penduduk di des aini hanya menggunakan bahasa tubuh alias bahasa isyarat untuk berkomunikasi.

Hal itu ternyata karena di Desa Bengkala ini tinggal komunitas tuna rungu wicara atau tuli dan bisu yang cukup besar.

Bahkan saking banyaknya warga yang berada dalam kondisi tuli dan bisa, desa Bengkala sampai dijuluki sebagai Desa Kolok. Kolok dalam bahasa Bali berarti tuli dan bisu.

Sejarah Desa Bengkala, Dikutuk Selama 1.000 Tahun

Memiliki sebagian besar penduduk dalam kondisi kolok atau bisu dan tuli, tentu menimbulkan pertanyaan tersendiri mengapa itu bisa terjadi.

Dikutip dari laman rri.co.id, terdapat mitos bahwa banyaknya penyandang tunarungu dan tunawicara di Desa Bengkala ini dipercaya karena kutukan dari Sri Maharaja jayapangus.

Ia adalah Raja Bali dari Dinasti Warmadewa yang memerintah pada 1178-1181 M.

Dari Prasasti Bengkala yang belum diketahui angka pastinya disebutkan, masyarakat Desa Bengkala melakukan aksi mogok bicara dan mogok kerja sebagai perlawanan atas para petugas memungut pajak karena dianggap sewenang-wenang.

Aksi warga desa itu membuat kerajaan marah. Sampai akhirnya Sang Raja mengutuk Desa Bengkala, warganya akan mengalami bisu hingga 1.000 tahun.

Sedangkan dari sisi medis atau ilmiah, seorang peneliti dari Universitas Achipelago, John Hinan, pernah mengambil sampel darah 200 warga Desa Bengkala pada 1993.

Hasilnya, diketahui kondisi tunarungu para warga desa itu karena genetik dan keturunan, dengan perincian 24 perempuan dan 20 laki-laki.

Penelitian lainnya juga menyebut, ditemukan adanya gen Resesif DFNB3 yang membuat 1 dari 30 bayi mengalami kondisi bisu dan tuli.

Tetapi warga setempat percaya bahwa kondisi warga kolok diakibatkan adanya kutukan masa lalu yang belum hilang. Meski demikian, warga kolok di Desa Bengkala tetap diterima dan tidak dikucilkan.

Bahkan di Desa Bengkala berdiri Sekolah Luar Biasa yang khusus mengajarkan bahasa isyarat yang digunakan di desa tersebut. 

Tari Janger Kolok

Meski memiliki kekurangan dalam mendengar dan berbicara, di Desa Bengkala ini punya tarian khusus yang penarinya adalah para kolok atau para tunarungu dan tunawicara. Tarian tersebut disebut Tari Janger Kolok.

Bila pada umumnya penari mengikuti melodi musik dalam menarikan sebuah tarian, pada Tarian Janger Kolok ini pemusiklah yang menyesuaikan gerakan para penari yang kolok.

Tentunya tetap disesuaikan dengan aba-aba dari para pemusik.

Munculnya Tari Janger Kolok ini berkat tangan terampil salah seorang penduduk asli Desa Bengkala Bernama I Wayan Nedeng pada 1969.

Pendirian Janger Kolok ini dikarenakan keunikan dari tarian Janger, yaitu tarian yang diiringi nyanyian.

Namun, dalam tarian Janger Kolok ini yang dinyanyikan tidak sama dengan nyanyian seperti Janger biasanya, karena hanya menggunakan bahasa isyarat.

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Janger memiliki arti kesenian tradisional Bali berupa tarian yang dimainkan oleh 10 pasang penari (laki-laki dan perempuan).

Kesenian tradisional ini juga terdapat di Banyuwangi yang diadaptasi dari Bali.

Namun dalam tari Janger Kolok ini irama yang dibunyikan tidak seperti Janger biasanya. Dalam Janger Kolok, yang digunakan adalah irama dari bahasa isyarat.

Alat yang dipakai dalam Janger Kolok hanya cengceng dan kendang, karena prinsip dalam tarian ini adalah penabuh mengikuti gerakan penari.

Disclaimer: Kanal Penulis Lepas disediakan untuk tujuan informasi umum dan hiburan. Isi dari blog ini hanya mencerminkan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Inilah.com.

Back to top button