News

Sebelum Kiamat Pun Barangkali Bumi Telah Gosong

Sebagaimana lazimnya “jurnalis-aktivis”, Goodell pun bagi sebagian pembaca—apalagi yang baru mengenalnya—akan terasa sedikit nyinyir. Padahal mungkin justru ia justru sangat kritis pada beberapa hal lazim yang salah kaprah. Ia mencela istilah “pemanasan global” karena menurutnya terdengar “lembut dan menyejukkan. “…Seolah-olah dampak yang paling menonjol dari pembakaran bahan bakar fosil adalah cuaca pantai yang lebih baik…”

Selama tahun-tahun terakhir, bukan sekali dua kita memirsa terjadinya ‘serangan panas’ (heat stroke) di berbagai negara. Beberapa tahun lalu terjadi di Yunani dan beberapa negara Eropa. Tahun ini, sebagaimana pemberitaan, India menjadi wilayah dengan serangan panas terkuat. Disebutkan, fenomena yang terjadi itu meminta beberapa korban, dari sakit parah hingga meninggal dunia.

April lalu, Indonesia pun mencatatkan banyak keluhan hawa panas tersebut. Banyak warga mengeluhkan bahwa panas siang hari tahun ini terasa berbeda dengan terik di tahun-tahun sebelumnya, apalagi jika dibandingkan dengan dekade-dekade lalu.  Menanggapi keluhan tersebut pihak berwenang mengatakan, setidaknya ada lima faktor yang menjadi penyebab panasnya suhu Indonesia di tahun-tahun terakhir.

Pertama, kata pemerintah melalui BMKG, adanya dinamika atmosfer yang tidak biasa. Kedua, terjadinya gelombang panas di Asia. Ketiga, adanya tren pemanasan global dan perubahan iklim. Keempat, karena terjadi dominasi moonsoon Australia, Indonesia memasuki musim kemarau, dan kelima adanya intensitas maksimum radiasi pada kondisi cuaca cerah dan kurangnya tutupan awan.

Peristiwa yang mulai dihembus-hembuskan orang sejak tahun-tahun awal 1980-an, melalui isu pemanasan global, bolongnya lapisan ozon (O3), melelehnya es di kutub, kini tengah menjadi kenyataan yang kian menggiriskan, bahkan mengancam keber-langsungan kehidupan kita di bumi.

Menurut Jeff Goodell, wartawan iklim dan lama menjalani tugas sebagai contributor-editor untuk The Rolling Stones, bumi yang kian pans ini memang akan membunuh kita, penghuninya. Mungkin awalnya ‘satu-persatu’ seperti yang telah terjadi. Kemudian, kian pasti, dampaknya akan lebih bersifat massal.

Buku baru Goodell, “The Heat Will Kill You First” yang terbit awal Juli ini bahkan seolah memastikan bahwa sebelum kiamat, bumi kita ini mungkin sudah hangus, meninggalkan sedikit saja penghuninya yang mampu bertahan. Prediksi yang segera membuat saya membayangkan adegan awal novel “The Road” karangan mendiang Cormack McCarthy yang baru saja berpulang bulan lalu, di mana terlukiskan bagaimana kondisi bumi setelah pemanasan global dan perang dunia yang “super apokaliptik”.

Sebagaimana lazimnya “jurnalis-aktivis”, Goodell pun bagi sebagian pembaca—apalagi yang baru mengenalnya—akan terasa sedikit nyinyir. Padahal mungkin justru ia justru sangat kritis pada beberapa hal lazim yang salah kaprah. Ia mencela istilah “pemanasan global” karena menurutnya terdengar “lembut dan menyejukkan. “…Seolah-olah dampak yang paling menonjol dari pembakaran bahan bakar fosil adalah cuaca pantai yang lebih baik…” tulisnya.

Belum lagi kata “hot” pun menurutnya memiliki setumpuk konotasi yang kadang menyenangkan: seksi, menang, laris. Tentu, neraka juga seharusnya panas; tetapi bagi mereka yang mampu membelinya, AC telah melemahkan metafora kekuatannya, membiarkan panas yang luar biasa tampak seperti masalah ketidaknyamanan biasa, alih-alih sebuah kutukan abadi.

Buku yang membawa segudang ketakutan ini mengajak kita berpikir “ekstrem namun benar”, yakni bahwa mengalahkan pemanasan global cukup dengan hanya menyalakan AC, jelas-jelas cara hidup yang berbahaya. Goodell, yang telah menulis soal perubahan iklim selama lebih dari satu dekade, mengingatkan kita bahwa selama ini kita mendinginkan diri di planet yang menghangat ini, dengan terus membuat planet ini lebih panas lagi. Menyalakan semua AC itu, kata dia, seperti bermain ayam dengan jaringan listrik: “Jika listrik padam lama di hari-hari yang panas, bisnis bisa tutup, sekolah diliburkan, dan orang mati,” kata dia.

Gaya stripped-down Goodell memang cocok dengan subjek yang ia bicarakan. Ini jenis buku pendorong, buku yang memacu dan memompa ingatan ke benak; planet ini sedang terbakar, dan kita kehabisan waktu. Kematian adalah pengulangan yang umum, dan itu tidak hanya berlaku untuk manusia. “Saat cuaca terlalu panas, banyak yang mati,” kata seorang ahli ekologi pertanian kepada Goodell. Atau, seperti yang ditulis Goodell tentang makhluk yang beradaptasi dengan pindah ke tempat yang lebih dingin: “Jika mereka tidak dapat menemukan perlindungan, mereka mati.” Dunia yang lebih panas menempatkan mereka yang paling rentan dalam risiko paling tinggi— yang tua, yang sakit, yang miskin.

Tetapi, kata dia, orang-orang ‘idiots’-lah yang punya keyakinan bahwa sumber daya mereka akan menyelamatkan mereka. “Itu bercanda banget,” tulis Goodell. Pada tahun 2021, gelombang panas yang membakar di Pasifik Barat Laut, yang biasanya beriklim sedang, kini membuat ribuan salmon tercekik dan aspal meleleh. Bumi yang memanas membahayakan tumbuhan, juga persediaan makanan kita.

“Semua makhluk hidup berbagi satu nasib sederhana,”tulis Goodell. “Jika suhu yang biasa mereka alami— yang di antara para ilmuwan dikenal sebagai Zona Goldilocks–naik terlalu tinggi dan terlalu cepat,”Anda dapat menebak apa yang terjadi selanjutnya: “Mereka mati.”

Judul buku, “The Heat Will Kill You First“, berbunyi laiknya sekuel rebus dari buku Goodell sebelumnya, “The Water Will Come.” Pemanasan global dan naiknya permukaan air laut saling berhubungan dengan efek bencana — gletser mencair dan lautan memanas, menyebabkan permukaan laut melonjak naik. Dan malapetaka yang susul-menyusual ini memiliki penyebab yang sama: kita.

“Bumi makin panas karena pembakaran bahan bakar fosil,” tulis Goodell sejak dini. “Semakin banyak minyak, gas, dan batu bara yang kita bakar, bumi kian membakar.” Goodell relative tidak menyia-nyiakan kata-kata saat menyatakan kebenaran yang gamblang dan tidak menyenangkan ini. Sisa buku pun didedikasikan untuk menun-jukkan kepada kita kerusakan yang kita timbulkan dan apa yang masih bisa kita lakukan.

Goodell pun menyusun buku ini dengan perjuangan yang patut mendapatkan penghargaan. Dia menggambarkan “penumpukan panas perkotaan” di Phoenix dan angin topan di Houston; dia menjelaskan bagaimana pembangunan luas jalanan aspal di lahan basah Chennai. Goodell dan teman seperjalanannya bertemu dengan beruang kutub yang lapar di Pulau Baffin. Dia pergi ke Gurun Sonora dengan seorang sukarelawan yang meninggalkan makanan dan air untuk para migran, ribuan di antaranya meninggal saat mencoba melewati perbatasan yang mematikan.

Hanya satu jam perjalanan, Goodell telah kelelahan. Dia mencoba membayangkan betapa kuatnya hasrat untuk datang ke Amerika itu, sehingga orang-orang itu rela berjalan selama lima atau enam hari, melintasi “kuburan panas yang mengerikan ini.”

Yang lebih membingungkan, mungkin adalah meningkatnya jumlah orang Amerika yang menganggap tempat yang sangat panas itu bukanlah stasiun transit dalam perjalanan yang dilalui, tetapi tujuan yang diinginkan untuk menetap. Goodell mengatakan bahwa satu-satunya risiko iklim yang dihindari orang Amerika adalah badai, termasuk badai musim dingin, sementara area dengan risiko panas tinggi, seperti Sun Belt, telah memperlihatkan lonjakan pertumbuhan populasi. Goodell sendiri pindah dari New York bagian utara yang relatif sejuk ke Austin, Texas, ketika dia jatuh cinta kepada seorang wanita yang tinggal di negara bagian itu.

Dia menghabiskan beberapa hari di New York karena Texas pada akhir Agustus “terlalu panas”. Ironisnya, Goodell sendiri telah berubah dari seorang pria yang membenci AC menjadi seseorang yang (dengan enggan) bergantung padanya.

Jadi apa yang bisa kita lakukan? Goodell berbicara dengan seorang ilmuwan yang mencoba menggambarkan hubungan antara perubahan iklim akibat ulah manusia dan cuaca ekstrem dengan lebih jelas. Dengan itu kita dapat membangun pertanggungjawaban, menunjukkan dengan tepat siapa (atau perusahaan mana) yang bertanggung jawab atas—katakanlah–gelombang panas tertentu. Sebuah perusahaan Paris telah mengusulkan teras atap untuk memperbaiki “efek penggorengan” dari atap seng yang jadi ikon kota. Alih-alih makan daging yang merusak iklim, kita disuruh mempertimbangkan jangkrik yang sederhana, “Yang bisa digiling dan dijadikan tepung kaya protein, atau dibumbui dan digoreng seperti udang,”tulis Goodell.

Paris telah dibangun di tempat yang lama dianggap sebagai zona sedang, dan karenanya tidak pernah mengembangkan “budaya iklim”. Namun mengadopsi budaya iklim, menurut Goodell, juga dapat memotong jalan lain, dengan “penderitaan dan kematian akibat panas ekstrem” menjadi tragedi rutin “yang kita terima dan tidak terlalu dipikirkan dalam kehidupan sehari-hari.”

Misalnya, saat Sebastian Perez, seorang migran tidak berdokumen dari Guatemala, pingsan saat bekerja di lapangan terbuka, selama gelombang panas yang terjadi di Oregon pada 2021. Waktu itu suhu mencapai 107 derajat Fahrenheit atau sekitar 42 derajat C. Itu rata-rata suhu di Mina pada Haji tahun ini. Perez yang kemudian meninggal, membuat negara bagian Oregon mengumumkan aturan darurat untuk pekerja luar ruangan. Aturan sebelumnya telah berlaku dalam rentang dekade. Bumi memang tengah berubah menuju gosong.  [bahan: The New York Times]

THE HEAT WILL KILL YOU FIRST: Life and Death on a Scorched Planet | By Jeff Goodell | 385 pp. | Little, Brown & Company | $29

Back to top button