Market

Era Jokowi, Ekonomi Indonesia Ditentukan Investor Asing


Di era Jokowi, Indonesia tak hanya gagal menjadi negara yang mandiri pangan dan energi. Sektor ekonomi dan keuangan, nasib Indonesia sangat bergantung investor asing. Apa iya?

Mungkin anda suka

Ekonom senior dari PEPS (Political Economy and Policy Studies), Anthony Budiawan mengatakan, jika ada pejabat negara yang menyebut fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat, jangan dipercaya.

Sebaliknya, secara fundamental, perekonomian Indonesia sangatlah lemah. Dibuktikan dari transaksi internasional, atau dinamakan transaksi berjalan (current account) yang mengalami defisit kronis.

“Transaksi berjalan hanya membaik sementara ketika harga komoditas melonjak tinggi, seperti pada triwulan III 2021 hingga triwulan I-2023,” kata Anthony, Jakarta, Sabtu (11/5/2024).

Setelah periode itu, kata Anthony, harga komoditas kembali normal. Alhasil, transaksi berjalan Indonesia mencetak defisit sejak triwulan II-2023 hingga kini.

Asal tahu saja, transaksi berjalan adalah transaksi antara penduduk Indonesia dengan penduduk dunia, tidak termasuk transaksi modal atau finansial (investasi).

Sedangkan neraca atau transaksi berjalan, terdiri dari tiga komponen, yaitu (neraca) perdagangan barang dan jasa, (neraca) pendapatan primer, dan (neraca) pendapatan sekunder.

Ketika transaksi berjalan mengalami defisit artinya dolar AS dari Indonesia mengalir ke luar. Akibatnya, nilai tukar rupiah mengalami pelemahan.

Defisit transaksi berjalan, berarti aliran dolar AS dari Indonesia ke luar negeri lebih kencang ketimbang sebaliknya.

“Defisit itu harus diimbang dengan dolar AS masuk ke Indonesia. Baik melalui investasi langsung (PMA) atau portofolio yakni saham dan surat utang. Kalau tidak, rupiah anjlok terus,” paparnya.

Celakanya, kata Anthony, untuk menyedot dolar AS, pemerintah melakukan jalan pintas yakni menumpuk utang luar negeri (ULN).

Jangan heran jika jumlah ULN Indonesia terus membengkak dari 293,3 miliar dolar AS pada 2014, menjadi 423,4 miliar dolar AS pada puncaknya di September 2021.

“Ironinya, pemerintah menjadi mesin pencetak utang luar negeri terbesar. Bukan swasta. Kondisi ini membahayakan perekonomian Indonesia,” tuturnya.

Porsi ULN dari pemerintah naik signifikan dari 123,8 miliar dolar AS pada akhir Desember 2014, menjadi 210,8 miliar dolar AS pada Januari 2021.

Sedangkan ULN swasta, termasuk BUMN, memang naik tapi lebih rendah ketimbang pemerintah. Yakni dari 163,6 miliar dolar AS menjadi 206,5 miliar dolar AS.

Setelah itu, kata Anthony, investor asing mulai ‘dumping’ surat utang Indonesia (Surat Berharga Negara/SBN). Utang luar negeri pemerintah dan swasta, masing-masing turun menjadi 197,4 miliar dolar AS dan 194,8 miliar dolar AS, pada Februari 2024.

 

Back to top button