Kanal

Putusan MK Setelah Peluit Komite HAM PBB dan Sidang “Karyawan yang Membobol Kas Tokonya’’


Publik tidak hanya terhibur oleh perdebatan dalam sidang, yang tak jarang menelanjangi buruknya karakter dan mencla-menclenya pilihan sikap seseorang. Bagi banyak kalangan warga, rangkaian sidang yang tergelar pun seakan meruapkan angin sejuk ke arah demokratisasi, dari sebuah lembaga yang sejatinya sudah harus siap-siap ditendang dari ingatan baik orang-orang.

Berlebihan dan tidaklah cocok kalau dikiaskan laiknya peribahasa “Sekali lancung ke ujian, seumur hidup orang tak kan percaya”, memang. Tetapi dua kali menggelar sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) di dua Pilpres berbeda, Mahka-mah Konstitusi (MK) memang tak  pernah memenangkan gugatan pihak yang tak puas. 

Dua kali pengalaman pahit berperkara di MK, yang ndilalah-nya harus dialami calon presiden Prabowo Subianto itu, belakangan malah mencuatkan sinisme tersendiri kepada MK. Akronim lembaga tinggi negara tersebut malah dipelesetkan Sebagian pihak sebagai “Mahkamah Kalkulasi/tor”, alih-alih Mahkamah Konstitusi seperti seharusnya. 

Tidak heran, ketika pasangan calon presiden-wapres 01 (Anies-Muhaimin), disusul paslon 03 (Ganjar-Mahfud) mengajukan gugatan PHPU Pilpres 2024 ke MK, respons yang diterima kedua paslon tersebut umumnya sikap skeptis, bila bukan sinis. Konon, bahkan banyak personel pendukung utama kedua paslon, yang selama ini memperjuangkan mereka dari awal proses pencalonan hingga hari H pemilihan pun banyak yang memandang langkah hukum tersebut konyol. 

Tak kurang dari Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, juga meragukan kemampuan independensi (hakim-hakim) MK tersebut. Seraya menunjuk Komite Hak Asasi Manusia PBB, yang mengeluarkan pernyataan pada Kamis, 28 Maret 2024, terkait Indonesia, Usman tak menutupi sikap skeptisnya akan kemungkinan putusan MK di akhir sidang PHPU. Seraya mengutip rilis dari laman ohchr.org, yang menegaskan kekhawatiran Komite HAM PBB mengenai penegakkan demokrasi di Indonesia, khususnya terkait pelaksanaan Pemilu 2024, Usman menggarisbawahi keprihatinan Komite tersebut. 

post-cover
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid. (Foto: Antara).

“Apakah Mahkamah Konsitusi bisa diyakini independensinya?”tanya Usman, reto-ris, pada acara diskusi buku “NU, PNI, dan Kekerasan Pemilu 1971”, yang digelar  di Jakarta, Selasa (2/4/2024). 

Potongan video pernyataan Usman tersebut berkeliaran di berbagai media sosial, termasuk yang diunggah di TikTok oleh akun @gen_b. Usman juga mengingatkan tentang kesimpulan akhir Komite HAM PBB tersebut, yang menurutnya meragukan dua hal. Pertama soal ketidaknetralan Presiden Jokowi dalam proses Pilpres, terutama dugaan kampanye untuk meme-nangkan anaknya. “Kedua, adalah keraguan Komite HAM PBB kepada Mahkamah Konstitusi Indonesia,” kata Usman. Untuk itu, Usman meminta MK untuk membuktikan bahwa keraguan Komite HAM PBB itu salah. 

Namun bagi Rektor Universitas Teknologi Muhammadiyah (UTM) Jakarta, Prof. Agus Suradika, peluit kencang yang ditiup Komite HAM PBB tersebut harus diambil hikmahnya.  Ia meminta rekomendasi badan dunia itu menjadi tanda bahwa semua pihak di negeri ini harus berbenah. “Sebab, apa pun argumentasinya, rekomendasi Komite HAM PBB ini menjadi masalah karena menyangkut wajah demokrasi di Indonesia,” kata Prof Agus. “Ini merupakan alarm bagi kita semua.”

MK yang Menggeliat 

Skeptisisme publik itu perlahan menguap, sesegera lembaga yudikatif yang berlokasi di Medan Merdeka Barat itu memulai sidang. Di luar kejadian-kejadian yang menjadi “aksesoris” sidang, seperti ketika Hakim MK Arief Hidayat mengingatkan Hotman—dipanggil sebagai “Hot-men” oleh kuasa hukum pemohon—agar bersikap sopan, atau saat Hotman terkesan “klamar-klemer” disindir Hakim Saldi Isra untuk keluar ruangan pada sidang 3 April lalu, sidang MK kali ini tampaknya tak hanya menyedot perhatian banyak khalayak.

Publik tidak hanya terhibur oleh perdebatan dalam sidang, yang tak jarang menelanjangi buruknya karakter dan mencla-menclenya pilihan sikap seseorang. Bagi banyak kalangan warga, rangkaian sidang yang tergelar pun seakan meruapkan angin sejuk ke arah demokratisasi, dari sebuah lembaga yang sejatinya sudah harus siap-siap ditendang dari ingatan baik orang-orang.

post-cover
Calon wakil presiden (Cawapres) nomor urut 03, Mahfud Md saat memberikan keterangan di sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Mahkamah Konstitusi (MK) – (Foto: Inilah.com/Reyhaanah Asya)

Bagaimana tidak, bila sidang yang menghadirkan serangkai saksi tersebut seolah pepak dengan keterbukaan. Kehadiran dan ‘serapah’ Profesor Franz Magnis Soeseno, guru besar filsafat Sekolah Tinggi Filsafat  (STF) Driyarkara, Jakarta, misalnya, menguatkan kesan tersebut. Bagi romo, mantan warganegara Jerman yang bernama asli Franz von Magnis itu, kiprah dugaan cawe-cawe Presiden Jokowi dalam kontestasi Pilpres bisa diibaratkan perilaku licik tanpa moral seorang karyawan yang mencuri kas tokonya sendiri. 

Romo Magnis sendiri pada sidang Selasa (2/4) itu membeberkan lima pelanggaran yang dilakukan Presiden Jokowi untuk kubu Prabowo-Gibran. Pertama, ia menyoroti pendaftaran Gibran yang disahkan oleh KPU, yang menurutnya jelas-jelas merupakan pelanggaran etika. Kedua, soal keberpihakan Jokowi selama Pilpres 2024, yang disebutnya telah melanggar etika secara berat lantaran menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan paslon tertentu. 

“Dia memakai kedudukannya, kekuasaannya, untuk memberi petunjuk pada ASN, polisi, militer, dan lain-lain, untuk mendukung salah satu paslon serta memakai kas negara untuk membiayai perjalanan-perjalanan dalam rangka memberi dukungan kepada paslon itu. Dia secara berat melanggar tuntutan etika,” kata Romo Magnis. 

Ketiga, Romo menilai tindakan Jokowi yang mengerahkan kekuasaannya untuk memenangkan paslon tertentu, sudah keterlaluan. Pad sisi inilah ia megibaratkan Jokowi seperti karyawan yang mencuri kas toko. “Itu juga tanda bahwa dia sudah kehilangan wawasan etika dasarnya tentang jabatan sebagai presiden. Kekuasaan yang dia miliki bukan untuk melayani diri sendiri, melainkan melayani seluruh masyarakat,” ujar Romo Magnis. 

Keempat dan kelima, Romo Magnis menyebut banyaknya manipulasi dalam Pemilu yang jelas melanggar etika, serta soal nepotisme yang dibangun Presiden, yang menurut dia sangat memalukan.

Hari ke hari sidang, Merdeka Barat seolah tengah membuncahkan harapan publik, tak hanya bagi pendukung paslon 01 dan 03. Bagi beberapa pendukung paslon pemohon, terutama 01, asa mereka yang hampir putus, setelah sidang-sidang MK tergelar perlahan terbangun kembali. Itu dengan mudah bisa dilihat pada grup-grup WA kelompok tersebut. Misalnya, pada grup “Masyarakat Pejuang AMIN 1”, dan beberapa grup pendukung paslon 01 lainnya. Sementara pada kelompok-kelompok pendukung paslon 03, harapan itu tampaknya lebih pada peluang mengembalikan Pemilu yang demokratis. 

Wajar bila bukan hanya masyarakat awam yang terpesona geliat (di) MK. Para politisi, tokoh pembela demokrasi, ahli hukum dan cendikiawan pun dibikin terpukau, ibarat para istri pejabat Mesir melihat Yusuf AS.  

Berbeda dengan sebelumnya, Usman Hamid pun kelihatannya kembali menaruh harapan.  Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia itu belakangan tampak yakin bahwa MK pun menyepakati soal ikut campurnya Jokowi dalam Pilpres 2024. Hal itu disampaikan Usman merespons pernyataan Hakim Konstitusi Arief Hidayat dalam sidang lanjutan sengketa Pilpres 2024 di Gedung MK, Jumat (5/4). “Saya kira… pandangan para hakim setidaknya diwakili Pak Arief Hidayat, yang meyakini ada cawe-cawe dari Presiden,”kata Usman, disiarkan di media televisi nasional, Jumat (5/4) sore.

“Saya yakin MK hari ini lebih dewasa,” kata Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Jazilul Fawaid, kepada Inilah.com, Sabtu (6/4). Dengan begitu, ia berharap MK adil dalam memutuskan siapa pemenang, sehingga menguatkan demokrasi Indonesia, kini dan ke depan. 

post-cover
Anggota Tim Hukum Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar, Bambang Widjojanto (BW) di ruang sidang MK. (Foto Inilah.com/Syahidan).

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Jenderal Soedirman, Prof. Muhammad Fauzan, menyoroti kehendak MK menghadirkan tiga orang menteri Kabinet Jokowi, karena beralasan tidak elok mendatangkan Jokowi sebagai kepala negara.  “Ini terobosan, menurut saya,” kata Prof. Fauzan. Ia berharap, dengan mendatangkan sebanyak mungkin pihak, Mahkamah bisa mengambil keputusan yang benar-benar adil. 

Menurut Prof. Fauzan, dulu Mahkamah Konstitusi dikenal sebagai Mahkamah Kalkulator, karena seolah hanya bermain pada soal ‘hitung-hitungan’. “Sekarang tidak. Itu pendapat saya dari persidangan hari ini, dengan menghadirkan empat orang menteri,”kata dia. 

Namun tidak dihadirkannya Presiden Jokowi itu tetap menjadi hal yang disesalkan Pakar Hukum Tata Negara dan mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie. Kepada Inilah.com yang mewawancarainya, Prof Jimly menyatakan apresiasi kepada MK yang berhasil menghadirkan empat menteri Jokowi tersebut. “(Itu) bagus untuk klarifikasi atas banyaknya berita hoaks dan framing-framing kesimpulan yang dicocok-dicocokkan uuntuk kepentingan politik pihak-pihak yang tidak puas  pada hasil Pemilu,” kata Prof Jimly. 

Namun ia tetap merasa keterangan Presiden itu perlu. “…Siapa tahu keterangan Presiden justru menyelesaikan masalah kesalahpahaman tentang keperpihakan pribadi Presiden kepada paslon 02, juga tentang Bansos,” kata dia. Menurut Prof Jimly, dana Bansos itu bersumber dari dana operasional Presiden sendiri untuk kegiatan sehari-hari, yang dipersepsi seolah-olah disalurkan untuk pemenangan paslon 02.

Bila perlu, Presiden juga bisa dipanggil khusus untuk memberi keterangan yang dibutuhkan MK,”kata dia. 

Sekadar Pertunjukan? 

Tentu saja tak mudah menghalau skeptisisme yang sudah terlanjut lama melekat ke MK. Di era sosmed, hal itu dengan mudah bis akita telusuri dan dapatkan di berbagai ragam sosmed, dari Facebook, Instagram, konten YouTube, atau pun grup-grup WhatsApp

Misalnya, di berbagai grup WA, awal pekan ini ramai beredar tulisan seseorang yang menamakan diri “Henry Subiakto”. Sekilas, wajar bila publik yang ceroboh langsung mengasosiasikannya dengan Prof.Dr. Henri Subiakto, Drs, SH, MSi, guru besar komunikasi Universitas Airlangga, Surabaya. Melihat ragam penulisan namanya, tampaknya konten itu tak berhubungan dengan beliau.  

Menurut “Henri Subiakto”, sidang-sidang MK memang berjalan “…seakan para hakim MK lebih terbuka pd semua opsi putusan; baik menolak maupun menerima gugatan. Walau mungkin akan berpikir jika sampai harus menerima gugatan. Berapa beratnya untuk mengembalikan keadaan dan kejiwaan ke titik sebelum Pemilu.” 

“Henri” percaya bahwa MK “pasti ingin mengembalikan marwah MK yg hancur karena putusan No. 90 Th 2023”. Namun ia pun sadar, “jika MK berani mutus diskualifikasi Prabowo-Gibran, akan bisa muncul chaos dan krisis. Padahal kalau chaos yang pegang kendali presiden Jokowi. Dengan backup’an  Panglima TNI, Kapolri,  KASAD,  KASAU dan KASAL yang semua merupakan All The President’s men,” tulis dia pada konten berjudul “Yang Nampak dari Panggung Sidang MK” (pada konten asli, semua huruf pada judul adalah huruf kapital) itu. 

“Henri” juga mempersoalkan kedatangan empat menteri, tapi tak boleh ditanyai, kecuali oleh Hakim-hakim MK itu. Bagi “Henry” itu menunjukkan bahwa :”Makanya pemanggilan menteri-menteri ke MK, dibiarkan oleh Presiden, karena tahu para menteri tentu bisa jawab pertanyaan hakim dengan jawaban-jawaban teknis dan normatif.” 

post-cover
Ketua Tim Pembela Prabowo-Gibran Yusril Ihza Mahendra di Gedung MK (Foto: Inilah.com/Reyhaanah Asya)

Lebih jauh “Henri” percaya, ada ‘pertunjukan’ yang kemarin dan nanti pada 22 April, digelar di dan oleh MK. Ia menyebut ‘pertunjukan’ itu show “seeing is believing”, semata agar apa yang tampak di mata rakyat akan dipercaya sebagai upaya yang benar. “Walau aslinya materi yg diperoleh dari tanya-jawab dengan para menteri itu tak terlalu banyak guna terkait isu perusakan demokrasi,” tulis dia.

Ia menunjuk bahwa konsep “seeing is believing” perlu dilakukan agar “…kerja MK sekarang, harus terlihat serius, agar  kekecewaan rakyat tak menjadi-jadi. Panggung yang menarik di MK itu bisa sebagai sarana katarsis thd berbagai kekecewaan”, tulisnya.

Ia juga menunjuk bahwa dulu, di Sidoarjo, Jawa Timur, ketika lumpur Lapindo meluap dan membuat warga ngeri dan marah karena terancam, ada pihak yang melakukan pekerjaan memasuk-masukkan bola bola beton ke dalam lubang lumpur panas Lapindo. “Secara teknis upaya memasukkan bola-bola beton itu tidak ada manfaat, karena masuk ke perut bumi, akan tetapi aktivitas itu tetap dikerjakan sebagai upaya komunikasi, agar  rakyat melihat ada upaya serius yang dilakukan. Itu yang namanya “Seing is Believing”; dengan melihat itu rakyat tenang, percaya, oleh sebab dirasa negara sudah bekerja,” tulis dia di artikel tersebut.  

“Dalam konteks sengketa hasil Pemilu, kalau nanti diputus MK, mereka juga akan mengakui bahwa MK telah bekerja maksimal, sebagaimana yang terlihat sampai hadirkan 4 menteri jadi saksi. Jika masih ada yang protes, dengan gerakan perlawanan demokrasi, mereka akan dianggap sebagai kelompok berisik yang tidak legawa. Kelompok yang tidak menerima kenyataan hingga bisa mengganggu persatuan dan agenda nasional,” ia melanjutkan. 

Oh ya Pembaca, bagaimana prediksi Anda sendiri soal hasil sidang PHPU? Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis (TPS), Agung Baskoro, percaya bahwa hasil sidang MK pada Pemilu ini pun akan sami mawon dengan hasil sidang dua sengketa Pilpres terdahulu. “(yang membedakan) hanya proses saja. Kemungkinan besar ditolak sangat besar,”kata Agung.
[dsy/vonita/reyhaanah/harris/rizki]

Back to top button