Kanal

Tajug Al-Bakiak, Langgar Tempat Belajar Alif-Ba-Ta Kehidupan

Walau program Listrik Masuk Desa (LMD) belum berjalan (LMD mulai pada 1983), tajug kami telah berlistrik. Hanya tiga bohlam. Satu tergantung di tengah ruangan, cukup tinggi dengan daya sekitar 10 atau 15 watt pada tegangan 110 volt. Tentu saja sangat kurang terang menurut standard sekarang. Tapi itu jauh lebih baik dibanding menggunakan lampu templok berbahan bakar minyak tanah, atau bahkan lampu cempor yang asapnya bisa membikin upil jadi hitam.

Meski tidak menjadi budaya yang ketat sebagaimana dialami anak-anak di Minangkabau, kanak-kanak Sunda di masa lalu juga bisa dipastikan akrab dengan masjid, langgar atau pun surau. Kami menyebut langar dan surau sebagai tajug. Akrab, karena hampir sepertiga kehidupan anak-anak Sunda masa itu berputar di tajug, setidaknya untuk tidur.

Alhasil saat itu surau bagi kami tidaklah semata tempat beribadah yang ‘rigid’ dan ‘suci’. Selain tempat belajar, terutama mengaji, bagi kami, anak-anak saat itu, tajug lebih sebagai tempat permainan yang lain. Jadi mengaji pun mungkin saat itu kami anggap sebagai permainan yang lain, atau lebih tepatnya selingan di antara banyak permainan. Jadi, berangkat mengaji saat petang, untuk kemudian tidur di  tajug sebelum pulang bada Subuh itu kami lakukan dengan senang dan riang.

Begitu juga kami, anak-anak Kampung Putat Timur, Desa dan Kecamatan Kadipaten, Kabupaten Majalengka di pertengahan 1970-an itu. Pada usia sekitar 6-11 tahun itu, mungkin dalam sepekan setidaknya bisa tiga malam kami menginap di tajug.  Tak ada yang meminta kami untuk melakukan hal itu, sebenarnya. Tidak orang tua, tidak pula guru ngaji kami. Kami belajar mengaji bada Maghrib, sekalian menunggu datangnya shalat Isya. Dilanjutkan setelah shalat Subuh bila beberapa anak belum dapat giliran.

Inisiatif untuk menginap di tajug pun murni datang dari masing-masing kami. Biasanya hanya teriakan bersahutan sepulang sekolah. Saat itu hanya ada dua SD yang berdiri di ‘dekat’ kampung kami. SDN Kadipaten 3, di Lapang Sedar, di pinggiran jalan Raya Kadipaten-Cirebon, yang berdiri sejak 1960-an. Atau SDN Inpres Lapangsari, yang jaraknya hanya sekitar satu kilometer, yang baru berdiri seiring turunnya Instruksi Presiden Soeharto soal pendidikan. SDN Inpres itu berdiri tahun 1976, saya generasi kedua SD yang kini setidaknya telah dua kali berganti nama itu. 

Pada akhir 1980-an sekolah kami itu dimekarkan menjadi SDN Lapangsari dan SDN Mekarsari, karena kebutuhan. Tapi dengan suksesnya program Keluarga Berencana (KB), imbasnya dua SD itu pada awal 2000-an kembali disatukan dengan nama SDN Liangjulang 6. Karena jarak yang lebih dekat, kebanyakan anak-anak Kampung Putat Barat dan Putat Timur bersekolah di SDN Lapangsari. Seingat saya, sampai saya kelas enam pun, tak ada anak SDN Lapangsari yang datang ke sekolah selain berjalan kaki. Bukan karena di antara kami tak ada yang punya sepeda. Tetapi memang, yang punya hanya satu dua anak saja. Jadi, alih-alih bisa membentuk genk anak-anak bersepeda mini, ia hanya akan bermain sendiri. Wajar bila bikin cepat bosan. Akhirnya sepeda itu pun jarang lagi disentuh dan ia kembali bergabung bermain bersama, sesuai permainan yang sedang hits saat itu.  

Walau program Listrik Masuk Desa (LMD) belum berjalan (LMD mulai pada 1983), tajug kami telah berlistrik. Hanya tiga bohlam. Satu tergantung di tengah ruangan, cukup tinggi dengan daya sekitar 10 atau 15 watt pada tegangan 110 volt. Tentu saja sangat kurang terang menurut standard sekarang. Tapi itu jauh lebih baik dibanding menggunakan lampu templok berbahan bakar minyak tanah, atau bahkan lampu cempor yang asapnya bisa membikin upil jadi hitam. Kami dapat listrik dari jaringan Pabrik Gula Kadipaten, yang di masa giling (produksi tebu per enam bulan) sering mati kekurangan  daya. Yang ideal memang lampu Petromaks, meski harus sering memompanya. Terangnya serasa di rumah orang hajatan.

Dua bohlam lainnya yang lebih ngirit lagi, mungkin masing-masing 5 watt. Satu menggantung di pintu masuk tajug. Satunya lagi di luar, di muka pangimbaran (ruang menjorok yang menandai tempat imam shalat). Kurang dari satu meter setelah pangimbaran, tebing kali kecil, sungai mati, tegak berdiri. Suasananya agak spooky karena semak dan pepohonan lebat.  Jarang ada orang ke sana. Orang bilang, agak angker. Mungkin saja. Paling tidak, bukan sekali kami diganggu. Misalnya, Kemen– teman kami ini tak pernah resmi bersekolah selain ngaji di tajug–, pernah dipindahkan posisi tidurnya saat nginap. Dia yang tadinya tidur di dalam tajug bersama kami, sbuh-subuh berteriak-teriak ketakutan, terbangun di bawah kohkol (kentongan).  Kapan-kapan saya ceritakan soal-soal itu.

Bila siangnya ada kesepakatan untuk nginap di tajug, waktu maghrib, selain membawa sarung dan buku belajar baca tulis Quran, masing-masing kami biasanya membawa camilan. Apa saja yang ada di rumah. Paling sering sih, rengginang. Bila sedang tak ada, biasanya ibu membuatkan camilan yang praktis. Datang menginap di tajug tanpa bawa camilan akan membuat kami malu. Mungkin saja, camilan itu juga yang jadi penyebab lain kami senang menginap di tajug. Kami bisa saling bertukar camilan sederhana buatan ibu kami masing-masing di rumah. Zaman itu belum lagi ada snack-snack buatan pabrik yang mengandung sekian banyak micin alias Monosodium glutamate itu. 

Snack Chiki, makanan ringan berupa bola-bola kering berasa keju, dengan kemasan bergambar anak ayam, yang mulai ngetop pertengahan 1980-an pun seingat saya belum ada. Paling juadah buatan rumah seperti papais, koci, nagasari, pisang atau ubi rebus, rebus jagung, rebus kacang. Bahkan kadang ada teman yang membawa kulungsu alias penganan dari biji asam Jawa yang direbus dan digoreng tanpa minyak atau disangrai. Rasanya nyaris seperti makan kacang. Namun hati-hati, kebanyakan makan kulungsu bisa bikin weureu alias mabok dan pusing-pusing.

Seingat saya, tak pernah ada yang membawa jaket saat menginap di tajug. Sepertinya itu pakaian yang belum akrab dengan kondisi kami saat itu. Jaket hanya dipakai orang dewasa, itu pun bila mereka gagayaan alias bergaya. Hanya ada dua jenis jaket saat itu: jaket kulit, atau jaket jeans alias denim. Kami anak-anak cukup bersarung untuk menahan dinginnya lantai semen yang hanya dialasi tikar pandan (tikar yang saat ini lazim dipakai penutup jenazah), juga untuk melawan angin Majalengka yang terkenal dingin menusuk tulang di saat kemarau.

Guru ngaji kami dua orang. Mereka kadang bergantian mengajar, meski lebih sering datang berbarengan. Sepertinya di antara mereka pun tak ada jadwal tegas. Dan kadang terasa juga suasana kompetisi di antara keduanya memperebutkan kami, anak-anak yang datang belajar ngaji.

Yang satu Mang Ranawi, yang di luar waktu mengaji lebih sering dipanggil Mang No’ong. Nama yang jelas-jelas mengundang rasa ingin tahu kami sebenarnya. No’ong dalam bahasa Sunda artinya mengintip dalam pengertian negatif, dan di Sunda, tak ada nama ‘landihan’ atau sebutan yang tak memiliki etimologi alias asal-usul.  

Satunya lebih muda, Mang Duleh. Saat itu masih duduk di bangku Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA) di Maja, kota kecil di kaki Gunung Ciremai yang berjarak sekitar 20-an km dari Kadipaten. Ekonomi orang tuanya tergolong mapan untuk ukuran kampung kami. Ibunya berjualan toge dan kecambah di Pasar Kadipaten. Toge, kita tahu apa itu. Sementara kecambah adalah sebangsa toge dengan bahan baku kedelai. Sementara ayahnya penjual kayu kelapa. Artinya, itu keluarga yang pegang uang tiap hari.

Dengan kondisi itu, Mang Duleh bisa bersekolah pulang pergi setiap hari, naik Angkutan Perdesaan atau tak jarang mobil Elf jurusan Cikijing-Bandung.

Saya masih ingat saat Mang Duleh pertama kali diterima jadi murid SPMA. Hampir sepekan lebih dia mengenakan seragam sekolahnya yang berbahan kain drill itu di setiap  maghrib, saat mengajar kami mengaji. Saking bangga, tentu. Entah berapa kali ia menunjuk sebuah badge kecil di pangkal lengan bajunya, bertuliskan ‘Eagle marmelos’.

“Yeuh, aing geus jadi warga Eagle marmelos,” katanya kepada kami dengan wajah bangga. “Nih, gua udah jadi warga Eagle marmelos.” Kami hanya merespons dengan bengong-bengong takjub. Namun kami mengerti, itu nama lain SPMA yang ia banggakan. Apa itu Eagle marmelos pun baru tahu bertahun kemudian manakala saya masuk SMA jurusan Biologi (A2). Itu nama latin dari buah Maja, buah yang seringkali dihubung-hubungkan dengan keberadaan kota kami, Majalengka.  

Tajug kami sederhana. Ukurannya pun hanya bisa menampung empat shaf jamaah laki-laki dalam shaf-shaf berisikan sekitar enam orang jamaah. Shaf perempuan paling banyak tiga. Tapi meski kecil, namanya yang bikin lain dibanding semua tajug di kampung-kampung seantero Kadipaten. Bila nama-nama masjid atau tajug lain paling ‘Al’ ditambah satu kata Arab: At Taqwa, Ar-Rahman, dst, tajug kami lebih dari itu. Namanya pun lebih asing dan gagah. Al Baqiyatus Shaalihat.

Sialnya, nama keren yang pastinya dicari dengan susah payah itu dalam keseharian terjerembab. Warga lebih sering menyebutnya Tajug Bakiak. Mungkin karena lidah Sunda yang susah mengucapkan namanya yang benar, di satu sisi. Mungkin pula karena memang di tajug kami orang sering kehilangan alas kaki. Bahkan bakiak marbot yang jelek pun, sempat hilang entah diembat siapa.

Baru belakangan saya tahu betapa indahnya nama tajug kami. Frasa Al Baqiyatush Shalihat itu terdapat dalam ayat ke-46 Surat Al-Kahfi, artinya amalan-amalan yang kekal lagi saleh. Kitab “Tafsir Jalalain” yang ditulis Imam Jalaluddin as-Suyuthi menyatakan bahwa Al-Bâqiyat ash-shâlihât itu adalah subhânallâh, wal hamdulillâh, wa lâ Ilâha illallâh, wa Allâhu akbar. Sebagian ulama menambahkan: wa lâ hawla walâ quwwata illâ billâh. Tega sekali kami saat itu yang menyebutnya Al- Bakiak.

Karena dari kecil saya nakal dan sering bolos, saya termasuk murid ngaji yang tak pernah-pernah khatam Alquran. Tapi mungkin karena saya anak seorang guru dan punya prestasi bagus di sekolah, saya tetap mendapatkan perlakuan yang baik dari guru-guru ngaji. Saya khatam Alquran pertama kalinya itu di penjara, di Cipinang. Di sana pula kemampuan ‘terbaik’ saya dalam membaca Alquran pun saya peroleh. Itu sebabnya, untuk saya pribadi, saya diam-diam mensyukuri anugerah Allah untuk sempat ‘masantren’ dan mendapat gelar LC (lulusan Cipinang) tersebut.

Barangkali karena benak kami saat itu masih bersih, hingga saat ini saya masih bisa mengingat banyak ‘pupujian’ atau nadom—pujian yang dinyanyikan setelah adzan sambil menunggu iqamat, yang masih lekat di benak.  Biasanya ‘pupujian’ itu penghormatan terhadap Nabi Muhammad Saw dan keluarganya, permohonan ampunan dan lain-lain. Biasanya, pupujian dalam bahasa Arab itu bergandeng dengan terjemahan yang membuatnya ‘lebih terasa dan terhayati’ karena kita mengerti.

Saya sudah hafal syair “I’tiraf” dari Abu Nuwwas itu jauh sebelum sadar judulnya dan sebelum ia dinyanyikan dengan syahdu oleh Haddad Alwi. Saat itu pun hanya mengerti artinya dari terjemahan lagu tersebut.

Ilaahi lastu lil firdausi ahla

Wa laa aqwa ‘alan naaril jahiimi

Fahab li taubatan waghfir dzunuubi

Fainnaka ghaafiru dzanbil ‘adhimi”

 

Aduh Gusti, abdi sanes ahli Sorga

Namung moal kiat nahan ka Naraka

Mugi Gusti kersa maparinan tobat

Ngahampura kana dosa sareng lepat.”   [dsy]

Back to top button