Market

Program Food Estase Topang Pasokan Pangan: Gagal dan Rusak Lingkungan


Lumbung pangan atau food estate merupakan bagian dari kebijakan pemerintah untuk meningkatkan ketahanan pangan. Masalah ini bisa saja muncul dalam debat cawapres yang diadakan KPU, Minggu (21/1/2024) petang nanti.

Kebijakan lumbung pangan telah direncanakan pemerintah karena telah dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional atau RPJMN Tahun anggaran 2020-2024. Apalagi isu ini sempat menghangat di akhir tahun lalu setelah munculnya tiga pasangan calon dalam pilpres 2024.

Program ini tersebar di beberapa lokasi seperti Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur dan Papua. Untuk lokasi yang berada di Kalimantan Tengah berada di Kabupaten Kapuas dan Kabuapten Gunungmas dan dikembangkan Kementerian Pertahanan.

Namun proyek Food Estate yang berada di Kalimantan Tengah dengan jenis tanaman singkong ternyata telah menimbulkan kerusakan lingkungan dan tidak melewati kajian mendalam sehingga berakhir gagal.

Penilaian tersebut diungkapkan Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan, Tengah Bayu Herinata. Menurutnya, proyek di lahan seluas 600 hektar berada di lahan yang pernah diterapkan proyek sawah sejuta hektar di area gambut beberapa waktu lalu.

“Kami sejak awal menolak proyek ini karena tidak sesuai dengan yang dinarasikan oleh pemerintah terkait dengan pemenuhan pangan dan ketahanan pangan,” kata Bayu kepada inilah.com, Agustus tahun lalu.

Proyek Food Estate telah menimbulkan kerusakan karena berada di hutan alam. Sehingga meningkatkan emisi karbon bahkan bila musim hujan menimbulkan bencana banjir. Namun bila musim kemarau tidak ada strategi menyimpan air sehingga mengalami kekeringan.

Dari aspek sosial juga merugikan karena tidak menyerap tenaga kerja setempat. “Dari aspek sosial, masyarakat minim sekali terlibat dalam proyek ini. Sehingga rawan terjadi konflik di wilayah-wilayah Food Estate soal penguasan tanah,” katanya.

Karena tidak ada perencanaan dan kajian dari awal maka proyek ini mengalami kegagalan. Di area yang di tanami padi justru sering terendam air sehingga panennya tidak maksimal. Sedangkan pada lahan yang ditanami singkong juga tidak maksimal karena panen singkon ukurannya di bawah standar.

“Jadi dari hasil pemantauan di lapangan, penentuan jenis komoditi tidak berdasarkan kajian mendalam, komprehensif yang sesuai dengan kebutuhan pangan yang ada di sana (Gunungmas),” jelasnya.

Bahkan anggota Komisi IV DPR RI, Bidang Pertanian, Sutrisno pernah meminta agar meninjau program Food Estate di Indonesia dikaji ulang. Dengan total anggaran yang digelontorkan sepanjang tahun 2021-2023 mencapai Rp1,595 triliun, ia mempertanyakan kontribusi program food estate masyarakat.

“Pola pengembangan pertanian (Food Estate) itu sangat padat tenaga kerja. Manakala mengandalkan aplikasinya kepada rakyat mengelola, kayaknya agak sulit bisa dicapai. Apalagi (Food Estate berada) nan jauh di sana. Transmigrasi pun tidak dijalankan lagi. Tenaga kerja darimana?,” kata anggota Fraksi PDI Perjuangan ini mempertanyakan.

Back to top button