Kanal

Siapa Kapolri Pilihan Anies-Muhaimin?

Ketiga kejadian memilukan itu saat ini, di masyarakat sering sudah dianggap final. Final dalam arti terlupakan maupun sudah inkracht putusannya. Tapi Anies malah mendesak negara mengusut tuntas atau pun melakukan investigasi ulang. Dengan pesan sedemikian rupa, Anies menerobos ke area paling rawan dalam dunia penegakan hukum: penghormatan HAM dan ketuntasan pengungkapan kasus. Anies menyesalkan penyelesaian kasus hukum yang lebih dikendalikan oleh kekuasaan. Bukan oleh hasrat luhur untuk mencapai keadilan.

Ketika Ganjar dan Prabowo merasa “ngilu” menyentuhnya, pada debat Capres di Komisi Pemilihan Umum (KPU) semalam, Anies Baswedan justru eksplisit menyebut tiga kasus hukum.
Pertama, penembakan terhadap anak-anak di tengah aksi demonstrasi pendukung Prabowo, pada 21-22 Mei 2019, di depan Gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Orangtua korban, alm Harun Al Rasid—yang saat meninggal berusia 15 tahun–bahkan duduk di kursi, tepat di belakang Anies.

Kedua, penembakan terhadap anggota laskar Front Pembela Islam (FPI), atau dikenal luas sebagai kasus km 50. Ketiga, tragedi sepakbola “Kanjuruhan”.
Ketiga kejadian memilukan itu saat ini, d masyarakat sering sudah dianggap final. Final dalam arti terlupakan maupun sudah inkracht putusannya. Tapi Anies malah mendesak negara mengusut tuntas atau pun melakukan investigasi ulang.

Dengan pesan sedemikian rupa, Anies menerobos ke area paling rawan dalam dunia penegakan hukum: penghormatan HAM dan ketuntasan pengungkapan kasus.
Pada peristiwa penembakan, kasus ini melayang-layang sebagai extrajudicial killing atau unlawful killing. Semakin serius karena yang menjadi korban adalah anak-anak. Anak-anak adalah kelompok usia yang PBB pun sampai mengeluarkan konvensi khusus untuk melindunginya. Namun boleh jadi juga karena mereka masih anak-anak, maka upaya pengungkapan kasusnya tidak terlihat. Seolah mereka adalah warga kelas dua.
Sementara, kasus km 50 dan kasus Kanjuruhan sudah selesai. Tapi sebatas selesai dari sisi kepastian hukum. Anies, sebagaimana pandangan banyak kalangan, menilai kemanfaatan hukum apalagi keadilan hukum masih jauh dari kenyataan. 

Dan ketika Anies juga mengangkat narasi tentang Indonesia sebagai negara kekuasaan, bukan negara hukum, maka “selesai”-nya kasus km 50 dan kasus Kanjuruhan dapat ditafsirkan sebagai penyelesaian kasus hukum yang lebih dikendalikan oleh kekuasaan. Bukan oleh hasrat luhur untuk mencapai keadilan.
Pertanyaannya, kelak jika Anies ingin menginvestigasi maupun melakukan investigasi ulang ketiga kasus tadi, adakah insan Tribrata yang sanggup melakukannya? Siapakah anggota Polri yang mampu menjadi Kapolri dan mengemban tugas tersebut?

Bayangkan Presiden Anies berkata ke Kapolri, “Saya berikan Anda waktu seratus hari. Lewat dari itu, Anda saya copot.”
Mari kita tinjau tiga situasi. Pertama, secara umum, di organisasi kepolisian terdapat Blue Curtain Code atau Kode Tirai Biru. Ini adalah subkultur menyimpang yang ditandai oleh kecenderungan personel kepolisian untuk menutup-nutupi kesalahan sesama kolega.

Kedua, sekiranya fakta tentang faksi-faksi di institusi Polri adalah benar adanya, maka potensi obstruction of justice dari internal Polri juga bisa menjadi batu sandungan bagi Kapolri mendatang.

Ketiga, dalam praktik di sekian banyak negara maju, ketika terjadi misconduct, lembaga kepolisian dihukum dengan keharusan membayar police misconduct compensation.
Alhasil, jika investigasi (ulang) atas kasus-kasus dimaksud menyimpulkan telah terjadi police misconduct, maka betapa besarnya ganti rugi yang harus dibayar oleh Polri.
Berangkat dari tiga situasi tersebut, tampaknya 'mencari Kapolri' akan menjadi agenda yang lebih berat bagi Presiden Anies ketimbang 'memberikan tugas kepada Kapolri'.

Berat bukan berarti mustahil

Tetapi, harus dipompa keyakinan bahwa jumlah polisi yang baik, jauh lebih banyak daripada polisi yang tidak baik alias oknum. Jadi, asumsikan, nanti pasti ada jenderal yang cakap dan bernyali kuat untuk melaksanakan perintah presiden terkait tiga kasus tadi.

DPR RI akan punya kontribusi besar jika juga punya komitmen yang sama pada ketiga kasus di atas. 
Satu lagi: lembaga-lembaga pada sistem peradilan pidana juga tidak perlu resisten. Ini momentum baik bagi revitalisasi profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas institusi penegakan hukum. [  ]

Reza Indragiri Amriel, Pembelajar, penyuka sejarah.

Back to top button