Kanal

Potret Bias Pemberitaan Menambah Rumit Konflik Palestina-Israel

Seperti kata Malcolm X, seorang tokoh Muslim yang terkenal dan juga aktivis hak asasi manusia: “Jika Anda tidak berhati-hati, surat kabar akan membuat Anda membenci orang-orang yang tertindas dan mencintai orang-orang yang melakukan penindasan.” 

“Media adalah entitas paling kuat di muka bumi. Mereka mempunyai kekuasaan untuk membuat orang yang tidak bersalah menjadi bersalah dan membuat orang yang bersalah menjadi tidak bersalah, dan itulah kekuasaan. Karena mereka mengendalikan pikiran massa,” kata Malcolm X.

Kutipan ini dengan sempurna merangkum cara media membentuk narasi dengan mengorbankan pemberitaan mengenai realitas populasi yang teraniaya.

Perlawanan dari kelompok Hamas ke Israel dinarasikan berbagai media di dalam maupun luar negeri sangat bias.

Berbagai media mainstream dunia selama beberapa dekade banyak memberitakan konflik Palestina – Israel.

Namun liputan media dalam hasil peliputannya mendapat sorotan karena biasnya.

Peristiwa serangan Hamas akhir pekan lalu pun tak luput dari bias informasi dari media arus utama dunia.

Artinya media mendistorsi fakta, memperkeruh keadaan dan memperumit solusi.

Pemberitaan media mengenai konflik Palestina – Israel kembali marak di tengah meningkatnya ketegangan antara keduanya seiring serangan mendadak dari pejuang Hamas.

Pertanyaan yang patut kita ajukan adalah apakah pemberitaan tersebut cukup mewakili kedua belah pihak atau hanya memilih untuk mempromosikan satu narasi saja?

Lihat saja kasus terbaru ketika wawancara BBC dengan Dubes Palestina.

Narasumber dari Palestina menyoroti standar ganda dalam peliputan media Barat, termasuk BBC, mengenai konflik Israel-Palestina dalam sebuah wawancara yang sengit.

Duta Besar Palestina untuk Inggris, Husam Zomlot, menegaskan kepada presenter BBC News, Lewis Vaughan Jones, bahwa kecenderungan untuk fokus pada penderitaan Israel sementara mengabaikan kekerasan berkepanjangan terhadap rakyat Palestina menciptakan narasi yang tidak seimbang.

Seakan, menyudutkan Palestina, padahal situasi yang dialami Israel saat ini adalah apa yang orang Palestina alami campir setiap hari selama 50 terakhir.

“Apa yang orang Israel alami, yang kita katakan tragis, selama 48 jam terakhir, adalah apa yang orang Palestina alami setiap hari selama 50 tahun terakhir,” tegas Zomlot seperti mengutip dari Middle East Eye, Minggu (15/10/2023).

Bias pemberitaan ini juga terjadi di Indonesia. Beberapa media utama sempat terpeleset karena lebih banyak mentranslate atau melahap begitu saja sajian media asing utama.

Kompas dalam sebuah akun medsosnya sempat menyebut teroris untuk Hamas yang tentu sama membuat netizen protes dan tidak terima kemudian meralatnya.

Demikian Liputan6 juga pernah keseleo dengan istilah sensitif itu.

Imbauan dari Dewan Pers

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu ikut menyoroti masalah ini. Dalam imbauannya yang Inilah.com terima, Minggu (15/10/2023), setidaknya ada lima poin yang harus dicermati agar pemberitaan Palestina dan Israel tidak menyudutkan Palestina. 

Bahkan, menggunakan atribute terorisme dalam pemberitaan Palestina terhadap Israel.

Hal itu terjadi antara lain karena konten-konten berita yang diunggah atau disiarkan itu tercerabut dari konteks peristiwa dan akar permasalahannya. 

Kondisi seperti itu terjadi lantaran pemberitaan di media pers itu pada umumnya bukan berasal dari hasil liputan langsung atau lapangan.

Sehubungan dengan pemberitaan mengenai konflik wilayah pendudukan Israel di Palestina itu, Dewan Pers mengingatkan kepada para pemangku kepentingan pers, terutama wartawan, pengelola, dan pemilik media bahwa:

1. Masalah di Timur Tengah, khususnya Palestina memiliki sensitivitas dan mendapatkan perhatian luas dari pemerintah dan masyarakat Indonesia, baik karena latar belakang historis maupun sosio-psikologis.

Karena itu, di tengah simpang siurnya informasi dan hoaks yang beredar di media jejaring sosial, pemberitaan di media pers sangat dibutuhkan guna mengimbanginya. Untuk itu, pemberitaan media pers harus dapat menjadi rujukan bagi publik untuk menemukan kebenaran.

Pers harus tetap berpegang teguh pada prinsip-prinsip jurnalistik dan Kode Etik Jurnalistik, termasuk kewajiban menguji informasi (verifikasi, konfirmasi, klarifikasi) dan  mengedepankan kepentingan publik. Penggunaan sumber informasi dari media sosial dan media-media asing tanpa melalui verifikasi harus dihindari.

2. Sikap dan langkah seperti itu juga diharapkan dapat menjadi bagian dari kontribusi pers Indonesia dalam menegakkan prinsip yang ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945 “Bahwa sesungguhnya Kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.”

Pers Indonesia sebagai bagian dari komponen bangsa juga punya kewajiban moral mengusung misi yang diamanahkan para pendiri bangsa ini agar “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

3. Pahami dan hormati suasana kebatinan masyarakat dan sikap  resmi pemerintah Indonesia yang mendukung perjuangan bangsa Palestina untuk merdeka dan memiliki negara sendiri yang berdaulat.

Tumbuhkan empati, bukan antipati yang berpotensi membelah masyarakat, bangsa, dan negara Republik Indonesia.

Hindari penyematan atribusi yang terkesan sebagai pelabelan negatif atau stigmatisasi terhadap kelompok tertentu, terutama di kalangan kelompok masyarakat Palestina. Misalnya label kelompok teroris, itu tidak tepat.

Dalam pemberitaan terkait aksi terorisme, Dewan Pers telah mengeluarkan Peraturan Dewan Pers Nomor 01/Peraturan-DP/IV/2015 tentang Pedoman Peliputan Terorisme. 

Pedoman tersebut merupakan hasil rumusan bersama organisasi-organisasi pers konstituen Dewan Pers yang kemudian disahkan oleh Rapat Pleno Dewan Pers sebagai Peraturan Dewan Pers.

4. Perlu berhati-hati dan cermat dalam mengunggah atau menyiarkan berita yang bersumber dari media asing guna menghindari pencampuradukan fakta dan opini yang menghakimi sebagaimana amanat Kode Etik Jurnalistik Pasal 3. 

Hindari sikap ketergesa-gesaan demi lebih mengejar aspek kecepatan ketimbang akurasi.

Sikap ini sangat perlu diterapkan agar pers Indonesia tidak termakan propaganda Israel dan media-media afiliasi/pendukungnya yang cenderung mencampuradukkan fakta dan opini, termasuk hoaks, yang menghakimi.

5. Dewan Pers mengimbau penayangan berita mengenai Palestina lebih ditujukan untuk memenuhi fungsi pers sebagai pemberi informasi, edukasi, dan lembaga kontrol sosial ketimbang kepentingan bisnis dan menaikkan rating semata.

Pemilihan Kata yang Tidak Tepat

Gaya dan pilihan kata memiliki dampak yang jauh lebih besar daripada yang kita bayangkan.

Menggunakan kata-kata seperti “mati” bagi warga Palestina dan “dibunuh” bagi warga Israel secara tidak sengaja meremehkan korban warga Palestina. 

Gaya pemberitaan ini memang terkesan bias karena pada dasarnya memihak suatu pihak melalui seluk-beluk bahasanya.

Selain itu, kalimat pasif ketika berbicara tentang orang-orang Palestina yang “dibunuh” sementara menggunakan kalimat aktif untuk pihak Israel semakin menggambarkan bias tersebut.

Liputan seperti ini pada akhirnya gagal untuk meminta pertanggungjawaban pihak-pihak yang bertanggung jawab atas kekerasan yang mereka lakukan, sehingga tidak memberikan keadilan bagi orang-orang yang dianiaya. 

Laporan Tamara Kharroub, Deputi Executive & Senior Fellow yang berjudul Covering Gaza: Is the Mainstream Media Discourse Changing on Palestine/Israel di arabcenterdc, menyebutkan secara gamblang terkait dengan liputan media Amerika adalah penggunaan sumber yang bias.

Dalam beberapa laporan media tentang protes Gaza selama seminggu terakhir, pernyataan dan juru bicara militer serta pejabat Israel telah dikonsultasikan secara tidak proporsional untuk menjelaskan kejadian tersebut.

Jarang sekali kita melihat para pemimpin, analis, atau saksi Palestina diwawancarai dan sangat sedikit yang disebutkan; dan jika ada, mereka diberi waktu dan ruang halaman yang jauh lebih sedikit.

Memang benar, menganggap pokok pembicaraan penguasa pendudukan sebagai fakta, tanpa mempertanyakan atau memverifikasi informasi, adalah jurnalisme yang ceroboh dan tidak lengkap.

“Objektivitas” jurnalistik tidak boleh hanya menjadi sebuah konsep abstrak.

Karena, para profesional media mempunyai tugas dan tanggung jawab suci untuk menyampaikan kebenaran kepada publik yang dengan bebas menerima derasnya informasi.

Back to top button