Kanal

Politik Uang, Praktik Usang di Tengah Keterbatasan Aturan

Praktik negatif ini tak menyasar rakyat kalangan menengah bawah, tetapi juga kalangan menengah atas melalui beragam modus.

Hiruk-pikuk kampanye Pemilu 2024 sudah bergulir. Setiap calon anggota legislatif (caleg) maupun pasangan calon presiden (capres)-calon wakil presiden (cawapres) yang akan bertarung dalam Pemilu 2024 bertekad semaksimal mungkin merebut suara rakyat. Cara-cara bersih hingga kotor pun tak jarang rela dilakukan oleh para calon demi menggapai kemenangan dalam pesta demokrasi lima tahunan ini.

Salah satu praktik kotor yang kerap membumbui mewarnai pemilu adalah money politic atau politik uang. Merujuk catatan Pusat Edukasi Antikorupsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), politik uang merupakan upaya memengaruhi pilihan pemilih atau penyelenggara pemilu dengan imbalan materi atau yang lainnya. Berdasarkan pemahaman ini, politik uang adalah salah satu bentuk suap.

Praktik negatif itu pada akhirnya menghadirkan pemimpin yang hanya peduli kepentingan pribadi dan golongan, bukan masyarakat yang memilihnya. Sebab, pemimpin semacam ini merasa berkewajiban mencari keuntungan dari jabatannya. Tujuannya antara lain untuk mengembalikan modal yang sudah digelontorkan dalam kampanye.

Menurut Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Amier Arief, politik uang memicu politik berbiaya mahal. Selain untuk jual beli suara, para kandidat juga harus membayar mahar politik kepada partai dengan nominal fantastis.

Namun, itu bukan dari uang pribadi. Akan tetapi, kontribusi berbagai pihak yang mengharapkan timbal balik jika akhirnya sang calon terpilih. Hal ini lazim disebut investasi untuk korupsi.

“Kajian kami, keberhasilan dalam pemilu atau pilkada 95,5 persen dipengaruhi kekuatan uang, sebagian besar juga untuk membiayai mahar politik. Kontestan harus mengeluarkan Rp5-15 miliar per orang untuk ini,” kata Amir.

Menariknya, praktik politik uang yang kerap terjadi juga memiliki istilah tersendiri yaitu “serangan fajar”. Istilah yang dicomot dari sejarah revolusi Indonesia ini wujudnya melalui bagi-bagi duit kepada pemilih di suatu daerah sebelum pencoblosan berlangsung.

Masih menurut catatan Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, politik uang yang di antaranya berwujud “serangan fajar” sejatinya sudah usang lantaran telah berlangsung sejak era pemerintahan Soeharto atau kerap disebut era Orde Baru. Mengacu survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 2019, masyarakat memandang pesta demokrasi itu sebagai ajang “bagi-bagi rezeki”.

Hasil survei mengungkapkan, 40 persen responden mengaku menerima duit dari peserta pemilu, tapi tidak mempertimbangkan memilih mereka. Sementara 37 persen menerima uang dan mempertimbangkan mencoblos calon yang memberinya uang.

Jika dikaitkan dengan kontestasi Pemilu 2024, politik uang diprediksi tetap tumbuh subur. Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita, wujud politik uang bisa dalam berbagai bentuk.

Berkaca dari Pemilu 2019, praktik curang tersebut biasanya digelontorkan melalui pembagian uang, voucer, dan uang digital sebagai imbalan memilih. Sedangkan pemberian barang biasanya dilakukan dengan modus pembagian alat ibadah, bahan bangunan, hadiah, hingga alat mesin rumput.

“Modus-modus tersebut akan menjadi remang-remang ketika KPU (Komisi Pemilihan Umum) melegitimasi bakti sosial ataupun bazar sebagai kegiatan kampanye lainnya. Ini sangat mengkhawatirkan di Pemilu 2024, apalagi durasi kampanye hanya 75 hari. Sangat riskan,” kata Nurlia kepada Inilah.com, Jumat (1/12/2023).

Soal siapa menjadi target politik uang, JPPR mencatat, rakyat kelas menengah ke bawah yang biasa dituju masyarakat. Namun, tidak menutup kemungkinan pula terjadi di kalangan menengah ke atas melalui modus-modus politik uang.

Nurlia pun mengingatkan, Undang-Undang  Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu  memiliki batasan terhadap tindakan-tindakan yang dikategorikan politik uang dan dapat dikenakan sanksi. Batasan ini antara lain menyangkut subjek hukum atau pelaku politik uang.

Nurlia menjabarkan, pada masa kampanye dan masa tenang, aturan pencegahan politik uang hanya menjerat setiap pelaksana, peserta dan atau tim kampanye. Sedangkan jika dilakukan pada hari pemungutan suara maka dapat menjerat setiap orang. Kemudian, Nurlia turut menyoroti tentang batasan waktu yang berkaitan dengan anggapan politik uang hanya pada masa kampanye, masa tenang, dan hari pemungutan.

Namun, kata dia menyebut, pelaku politik uang jangan merasa bisa bertindak bebas seiring keterbatasan aturan itu. Karena tindakan menjanjikan juga bagian dari proses politik uang meski pemenuhan janjinya dilakukan setelah hari pemungutan.

“Sementara terkait objeknya adalah uang dan atau materi lainnya kepada pemilih baik secara langsung maupun tidak langsung. Maka,  politik uang secara digital pun pada dasarnya dapat ditindak,” tutur Nurlia.

Meski begitu, terdapat kendala menyangkut proses pembuktiannya. Sebab, jika dikaitkan dengan praktik pemberiannya apakah secara langsung atau digital, hal itu hanya diketahui oleh pihak pelaku atau pemberi dan penerima.

Praktik yang sering terjadi, pihak yang  melakukan tindakan politik uang kepada masyarakat pada masa kampanye adalah mereka yang tidak terdaftar sebagai peserta, pelaksana, dan tim kampanye. Namun, mereka dianggap sebagai relawan dengan simbol sebutan korwe (koordinator RW)” dan korte (koordinator RT)”. “Jadi Peserta pemilu sangat tahu betul celahnya,”  kata Nurlia lagi.

Oleh karena itu, upaya melawan politik uang sejatinya tidak bisa hanya mengharapkan kepada penegakan sanksi semata. Akan tetapi, perlu juga melalui upaya meningkatkan kesadaran kritis pemilih terhadap praktik-praktik politik uang lantaran membahayakan demokrasi juga bangsa dan negara.

Sementara, KPU RI enggan merespons saat Inilah.com menanyakan soal politik uang yang diyakini masih akan tetap mewarnai Pemilu 2024.

Seirama Menyuakan Penolakan

Pihak kontestan sendiri secara normatif memang tak sepakat dengan politik uang.

Capres nomor uru1 1 Anies Baswedan saat berkampanye menitip pesan kepada masyarakat agar menolak praktik politik uang. Menurut dia, jual beli suara sejatinya hanya merugikan masyarakat.

(Pilpres) ini untuk lima tahun, (suara) jangan diperjualbelikan, nanti menyesal,” kata Anies ketika berbicara di hadapan warga di kawasan Tanah Merah, Jakarta Utara.

Begitu juga, capres-cawapres nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Pasangan capres-cawapres yang didukung Koalisi Indonesia Maju ini mengharapkan politik uang tak terjadi dalam Pemilu 2024. Hal itu seiring arahan sang capres Prabowo Subianto yang menyebut politik uang merupakan ancaman bagi demokrasi.

Wakil Komandan Tim Golf (Relawan) TKN Prabowo-Gibran- Immanuel Ebenezer mengaku, pihaknya bakal ikut berkontribusi untuk mencegah politik uang yang dinilai bagian dari kecurangan dalam pemilu.

“Kami akan mendokumentasikan semua kegiatan-kegiatan  yang terkait kecurangan,” ujar Noel, sapaan akrabnya.

Pernyataan seirama juga dilontarkan kubu Capres Ganjar Pranowo-Cawapres Mahfud MD. Pasangan capres-cawapres nomor urut 3 ini mengeklaim tidak merancang adanya dana-dana untuk ditebar kepada masyarakat dengan tujuan memilih Ganjar-Mahfud. Dana yang disiapkan antara lain untuk mendukung pergerakan teritorial, alat peraga kampanye (APK),  pembuatan konten-konten kreatif, dan iklan di media.

“(Sedangkan) porsi (dana) besar bisanya untuk menyiapkan saksi,” kata Ketua Deputi Politik 5.0 Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud, Andi Widjajanto. [Dha/Diana Rizky/Reyhaanah A/Vonita Betalia] 

Back to top button