Hangout

Penyetaraan Tembakau dengan Narkotika Ancam Keadilan dan Stabilitas Sosial

Penyetaraan produk tembakau dengan narkotika dan psikotropika dalam Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law dianggap dapat menghancurkan prinsip keadilan di Indonesia. Selain itu, keputusan tersebut berpotensi memicu kekacauan mengingat sejarah dan fakta yang ada dalam masyarakat.

Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi Golkar, M. Yahya Zaini, menolak dengan tegas penyetaraan produk tembakau dengan narkotika yang tercantum dalam pasal 154 RUU tersebut. “Ini adalah tindakan yang berlebihan dan tidak adil,” katanya dalam diskusi yang bertajuk “RUU Kesehatan & Masa Depan Produk Tembakau” baru baru ini.

Menurut Yahya, produk tembakau merupakan salah satu sumber pendapatan penting bagi negara. Pada tahun 2022 saja, negara menerima lebih dari Rp200 triliun melalui Cukai Hasil Tembakau (CHT), yang menyumbang lebih dari 10% dari total penerimaan pajak negara.

Namun, Yahya menyayangkan bahwa pemerintah selalu memberlakukan regulasi yang ketat terhadap Industri Hasil Tembakau (IHT). “Sikap pemerintah terhadap tembakau selalu ambigu. Ini tidak baik,” tegasnya.

Yahya menolak pasal 154 RUU Kesehatan Omnibus Law bukan hanya karena alasan ekonomi. Ia mengatakan bahwa tembakau dan narkotika memiliki dampak yang sangat berbeda dan legalitas yang bertentangan.

Lebih lanjut, menurut Yahya, penyetaraan tersebut dapat berdampak signifikan pada aspek sosial. “Jangan lupa, ada sekitar 2 juta orang yang terlibat dalam industri tembakau, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ini adalah sumber mata pencaharian,” tambahnya.

Oleh karena itu, Yahya, yang berasal dari Fraksi Golkar, bertekad untuk melindungi nasib masyarakat yang bekerja dalam industri tembakau. “Jika hal ini disahkan, akan ada peraturan yang lebih ketat dalam Peraturan Pemerintah (PP) sebagai turunannya. Ini sangat berbahaya. Kami akan berupaya melakukan pembicaraan agar masalah ini dihapuskan. Jika tetap ada, penyetaraannya tidak boleh dilakukan dengan narkotika dan psikotropika,” tandasnya.

Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, juga sepakat bahwa dampak sosial harus menjadi perhatian pemerintah. “Ini harus ditolak karena akan menjadi beban berat bagi kita semua,” katanya.

Trubus menekankan bahwa menanam tembakau dan mengonsumsi produk tembakau sudah menjadi bagian dari budaya dan kebiasaan masyarakat yang telah berlangsung secara turun temurun. Jika tiba-tiba disamakan dengan narkotika, hal itu dapat menimbulkan konflik di masyarakat.

Selain itu, produk tembakau juga dianggap sebagai warisan budaya bangsa yang harus dilindungi. “Jika disamakan dengan narkotika, yang paling terdampak adalah petani tembakau, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang hidupnya telah terkait erat dengan tembakau sejak zaman kolonial Belanda,” ungkap Trubus.

Pemerintah disarankan untuk lebih memprioritaskan perlindungan terhadap produk tembakau daripada menyetarakannya dengan narkotika. “Produk tembakau harus bisa terus berkembang. Perlindungan harus menjadi prioritas. Petani dan industri tembakau sudah mencapai simbiosis mutualisme. Itu yang harus dilindungi dan dibina, bukan dihancurkan,” tambahnya.

Trubus juga menekankan bahwa produk tembakau, sesuai dengan peraturan yang ada dan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), tidak dilarang. Hal ini sangat berbeda dengan narkotika dan psikotropika yang jelas-jelas dilarang.

Back to top button