News

Manuver Indonesia Dekati AS di Tengah Sengketa Laut Cina Selatan

Seperti negara-negara besar Asia Tenggara lainnya, Indonesia sedang meningkatkan hubungan militernya dengan Amerika Serikat (AS) di tengah besarnya tekanan China di Laut Cina Selatan yang sedang disengketakan.

Pada Desember 2021, Beijing menuntut Jakarta untuk menghentikan kegiatan pengeboran minyak dan gas di utara Kepulauan Natuna yang terletak di bagian paling selatan Laut Cina Selatan. Pemerintah Indonesia menyebut wilayah tersebut sebagai Laut Natuna Utara.

Menurut Prakarsa Transparansi Maritim Asia (AMTI) yang berbasis di AS, pada Juli dan Agustus 2021, kapal penjaga pantai China berpatroli di lokasi pengeboran yang dilakukan pihak Indonesia di dekat pulau-pulau tersebut. Sebuah kapal survei China bahkan melakukan survei dasar laut di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia.

China menyebut sekitar 90 persen dari laut seluas 3,5 juta kilometer persegi itu sebagai teritorinya. Beijing menggunakan historis catatan penggunaan sebagai dasar pengklaiman tersebut. Empat negara Asia Tenggara lainnya dan Taiwan menentang semua atau sebagian dari klaim China. Mereka semua menghargai kegiatan yang dilakukan di wilayah itu, baik untuk minyak, gas alam, jalur pelayaran, dan perikanan.

Indonesia AS

Super Garuda Shield

Pada April 2022, TNI Angkatan Darat mengumumkan bahwa pasukan Indonesia dan militer AS memperluas latihan tahunan bilateral Garuda Shield yang diikuti oleh 14 negara, termasuk Australia, Kanada, Jepang, Malaysia, Singapura, dan Inggris.

Situs berita GBP Aerospace & Defense melaporkan bahwa latihan militer gabungan Super Garuda Shield yang berlangsung pada 1-14 Agustus 2022 itu menjadi latihan yang terbesar yang pernah dilakukan di Tanah Air.

Para analis mengatakan karena ancaman China di Laut Cina Selatan, Indonesia makin mempertimbangkan AS dan sekutu Barat lainnya sebagai pendukung militer.

“Hal itu menyebabkan Indonesia melihat ke AS dan negara-negara lain, tetapi untuk AS khususnya, sebagai semacam penyeimbang,” kata Carl Thayer, profesor emeritus politik di University of New South Wales, Australia.

Pada 2014, di awal masa jabatannya, Presiden Joko Widodo pernah mengatakan bahwa Indonesia akan menjadi ‘titik tumpu maritim global’ –kekuatan antara Samudra Hindia dan Pasifik– melalui perubahan kebijakan dalam dan luar negeri yang mencakup penguatan keamanan maritim dan perlindungan batas-batas maritimnya.

Sejak itu, Badan Keamanan Laut (Bakamla) telah mengusir dan menyita kapal-kapal nelayan dari negara lain, termasuk China. Pada 2018, China membangun sebuah pangkalan militer dengan lebih dari 1.000 personel di Kepulauan Natuna.

China telah menjadi ‘pengganggu’ bagi Indonesia sejak 1990-an, kata Thayer, dan Jokowi telah memobilisasi ‘puluhan ribu’ aset udara dan angkatan laut di Laut Natuna Utara.

“Saya pikir Indonesia dan China makin serius dalam mengatasi tumpang tindih ZEE mereka, dan oleh karena itu, Anda akan melihat konfrontasi semacam ini lebih sering terjadi pada saat ini,” kata Oh Ei Sun, seorang rekan senior di sebuah lembaga think tank, Institut Urusan Internasional Singapura.

Indonesia As
Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan Komandan Jenderal Angkatan Darat AS untuk Pasifik Jenderal Charles Flynn saat pembukaan latihan militer gabungan Super Garuda Shield 2022. [foto: US Department of Defense]

Indonesia Kesulitan Mengekang Intrusi China

Sejauh ini, TNI ‘tidak mampu mengekang intrusi China’ ke ZEE Indonesia di Laut China Selatan, tulis Felix Chang, rekan senior di Institut Penelitian Kebijakan Luar Negeri, dalam analisisnya pada September 2021.

Dari 28 Maret hingga 8 April 2022, AS dan Filipina mengadakan salah satu latihan militer gabungan tahunan terbesar mereka. Taiwan, saingan China selama delapan dekade terakhir, turut bergabung dengan Latihan Lingkar Pasifik yang diselenggarakan militer AS tahun ini sebagai pengamat.

Para ahli telah mengatakan bahwa negara-negara Asia Tenggara yang mengeklaim atas laut yang disengketakan, secara pribadi menyetujui Angkatan Laut AS mengirim kapal perang ke jalur air itu sebagai peringatan untuk Beijing.

Dalam laporan terpisah, organisasi non-pemerintah International Crisis Group mengatakan Filipina dan Vietnam telah mencoba selama dekade terakhir untuk menyeimbangkan kebijakan luar negeri mereka antara Washington dan Beijing. Washington mewakili keamanan, sementara Beijing adalah tetangga dan sumber perdagangan dan investasi.

China dan AS adalah musuh Perang Dingin, dan mereka adalah negara adidaya yang saling bersaing saat ini.

Oh Ei Sun mengatakan China mungkin sedikit khawatir tentang pandangan Indonesia terhadap AS. Indonesia dinilai ‘tidak cukup menyelaraskan diri dengan AS’ dan tidak mengutuk Rusia atas aksi invasinya di Ukraina seperti yang dilakukan banyak negara, katanya.

Pejabat Beijing pun tidak mengomentari latihan Garuda Shield yang diperluas pada 2022 itu.

Indonesia menganggap China sebagai tujuan ekspor utamanya, dengan nilai US$16,8 miliar per tahun, dan sumber investasi asing terbesar, sebesar US$1,4 miliar dalam tiga bulan terakhir pada 2019.

Umat Muslim Indonesia mungkin keberatan dengan peran AS yang lebih kuat. Washington mencoba untuk memecah sel-sel Muslim radikal di Indonesia, kata Departemen Kehakiman AS. Upaya tersebut dimulai setelah serangan teroris 11 September 2001, meskipun saat ini isu tersebut kurang mendapat perhatian.

AS mendekati Indonesia untuk merajut hubungan militer yang lebih kuat daripada sebaliknya.

Selama China tidak melakukan apa-apa atau tidak mengeluarkan pernyataan yang mengungkapkan bahwa mereka kuat atau mereka ingin memamerkan kekuatan mereka, hal itu tidak masalah bagi Indonesia.

Indonesia As
Kapal induk China Liaoning disertai armada mengadakan latihan di sebuah wilayah di Laut Cina Selatan dalam foto tidak bertanggal yang diambil pada Desember 2016. [foto: Reuters]

Back to top button