Kanal

‘Orang Bilang Tanah Kita Tanah Surga’, Surganya Pangan Impor


Masyarakat sering tak menyadari bahwa hidangan di atas meja makan merupakan hasil impor. Mulai dari beras, garam, gula, kedelai, bawang putih, jagung, semuanya. Negeri yang disebut potongan surga ini malah dibombardir bahan kebutuhan pokok hasil impor.

Lagu ‘Kolam Susu’ dari Koes Plus masih enak didengar namun sangat miris ketika mencermati liriknya. Indonesia yang disebut dalam sepenggal lirik lagu itu sebagai ‘Orang bilang tanah kita tanah surga’ ternyata sudah berubah jadi tanah surganya pangan impor. Kedaulatan dan swasembada pangan makin menjauh dari harapan. 

Mungkin masyarakat masih ingat, pada 1984 Presiden Soeharto berhasil menjadikan Indonesia berswasembada beras. Kini semuanya tinggal kenangan. Pada 2023, Indonesia menjadi pengimpor beras terbesar ke-5 di dunia. Padahal, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebut kedaulatan pangan sebagai salah satu janji politiknya saat kampanye di 2014. 

Akhir-akhir ini terjadi antrian panjang pembelian beras murah di berbagai daerah mengingat harga di pasar meroket. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, rata-rata harga beras naik signifikan di seluruh rantai distribusi pada Februari 2024. Bahkan, sempat mencapai level tertinggi sepanjang sejarah, Rp18.000 per kilogram.

Untuk meredam gejolak harga, Bulog menggelontorkan cadangan beras pemerintah hasil impor dari Vietnam, Thailand, Pakistan dan Myanmar. Pemerintah pun terpaksa menambah impor beras. Tingginya harga beras ini disebabkan produksi yang menurun sebagai dampak El Nino. Fenomena tersebut menyebabkan musim hujan di Indonesia tidak merata. 

Presiden Jokowi beralasan kenaikan harga beras juga terjadi di banyak negara karena produksi yang berkurang. Di Indonesia, produksi beras berkurang karena perubahan iklim yang ekstrem. “Kenapa naik? Karena ada yang namanya perubahan iklim, ada yang namanya perubahan cuaca sehingga gagal panen, produksi berkurang sehingga harganya naik,” ungkap Jokowi di Tangerang Selatan, Banten, Senin (19/2/2024).

Swasembada Pangan Gagal

Bahan pokok yang diimpor pada kenyataannya tak hanya beras tapi juga komoditas lainnya. Ini mencerminkan gagalnya swasembada pangan. Swasembada beras, gula, jagung, kedelai, bawang putih, garam maupun daging hanya janji manis ‘omon-omon’ di setiap kampanye politik. Tak ada upaya serius mengatasinya, yang ada adalah impor makin ugal-ugalan karena defisit bahan pokok.

Menurut catatan BPS, impor komoditas pangan naik signifikan sepanjang 2023 di antaranya beras, gula, daging, dan jagung. Hingga November 2023, total volume impor beras 2,53 juta ton dengan nilai USD1,45 miliar dari Thailand dan Vietnam. Sementara impor gula 4,55 juta ton senilai USD2,54 miliar, berasal dari Thailand, Brazil dan Australia.

 

post-cover
Presiden Jokowi saat mengecek panen raya padi di Kecamatan Kecamatan Sukra, Kabupaten Indramayu, Provinsi Jawa Barat, Jumat (13/10/2023) pagi. (Foto: BPMI Setpres/Laily Rachev)

Kemudian, daging jenis lembu tercatat volume impor 214,27 ribu ton, senilai USD753,84 juta, berasal dari India, Australia dan AS. Serta, jagung dengan volume impor 892,08 ribu ton, atau USD276,07 juta, dari Argentina, Brasil dan AS.

Kegagalan swasembada pangan seringkali membebankan kesalahan pada dampak perubahan seperti El Nino. Padahal bencana iklim terparah El Nino pada 2015 dan La Nina pada 2016 tidak mempengaruhi swasembada. Ketika itu Indonesia tidak harus mengimpor beras karena ada program Upaya Khusus (Upsus) Padi, Jagung dan Kedelai yang berhasil.

Belajar Swasembada dari Orde Baru

Indonesia sempat mengalami kejayaan pangan di era orde baru. Presiden Soeharto yang mengawali masa pemerintahannya pada 1966, memprioritaskan kebijakan yang mengarah ke revolusi pangan. Ini dilakukan mengingat kemiskinan dan kelangkaan pangan menjadi pemicu krisis politik.

Sepanjang 1970-an hingga 1980-an dilakukan investasi besar-besaran infrastruktur pertanian. Sejumlah waduk, bendungan, dan irigasi dibangun. Institusi-institusi yang mendukung pertanian juga dikembangkan, mulai dari koperasi petani, Bulog yang menampung hasil panen, serta institusi yang menghasilkan inovasi pertanian. Salah satu yang cukup terkenal adalah padi unggul tahan wereng.

Pabrik pupuk dibangun di beberapa daerah, petani juga diberi kemudahan kredit bank sementara hasil panen dijamin dengan kebijakan harga dasar. Juga ada manajemen usaha tani, seperti Panca Usaha Tani, Bimas, Operasi Khusus, dan Intensifikasi Khusus untuk meningkatkan produksi pangan. Subsidi pangan diberikan dengan tepat sasaran.

Pemerintah juga menempatkan para penyuluh pertanian di tingkat desa dan kelompok petani serta pembentukan kelompok pendengar, pembaca, pemirsa (Kelompencapir). Di era ini, SDM pertanian juga digenjot dengan pembangunan SMK pertanian hingga perguruan tinggi. Soeharto juga mampu memobilisasi masyarakat, terutama petani untuk bersama-sama meningkatkan produksi pertanian. 

Indonesia yang dikenal sebagai negara agraris pengimpor beras terbesar pada 1966, mampu mencukupi kebutuhan pangannya melalui swasembada beras di 1984. Pada 1969 Indonesia memproduksi 12,2 juta ton beras, sementara di 1984, mencapai 25,8 juta ton. Alhasil, saat itu budidaya padi Indonesia merupakan yang terbaik di Asia. Banyak peninggalannya yang hingga kini masih bisa dinikmati. 

Kebijakan Tak Serius

post-cover
Presiden Soeharto dan Ibu Tien Soeharto saat menghadiri panen raya di lokasi transmigrasi Tanah Miring III, Manokwari, Irian Jaya pada 7 Mei 1994. (Antara)

Kini swasembada pangan hanya jargon kosong. Pemerintah seperti tak serius mengurusi persoalan pemenuhan isi perut ratusan juta warganya. Dari mulai kebijakan yang berubah-ubah, setiap presiden bahkan menteri gonta-ganti kebijakan, minimnya pendampingan petani, hingga tidak adanya proteksi harga gabah yang membuat petani sering merugi setiap panen.

Tak heran kesejahteraan petani sulit beranjak membaik. Bertani menjadi sangat tidak prospektif sehingga anak-anak muda lebih memilih menjadi buruh industri. Dalam situasi ini, jangan berharap petani milenial tumbuh subur di Indonesia.

Belum lagi soal alih fungsi lahan produktif untuk kepentingan industri, infrastruktur irigasi yang makin menyusut, hingga ketersediaan pupuk yang sulit dan mahal. Semua sangat kompleks berkelit kelindan dengan persoalan lainnya di negeri ini. 

Sudah sejak 1973 lagu ‘Kolam Susu’ ciptaan Yok Koeswoyo yang menceritakan kekayaan alam nusantara ini didendangkan. Semua juga meyakini Tanah Air ini memiliki kekayaan dan sumber daya alam yang melimpah. Namun kenyataannya kini, untuk memenuhi kebutuhan bahan pokoknya sendiri saja tidak mampu. ‘Tanah surga’ itu kini berubah menjadi surganya pangan impor.

 

Back to top button