News

Nobar Bersama Para Buruh Migran yang Membangun Stadion-Stadion Piala Dunia Qatar

Sekitar 20 kilometer jauhnya dari Stadion Al Janoub yang mengagumkan di Qatar, ribuan buruh migran duduk menonton siaran pertandingan Piala Dunia 2022 melalui layar raksasa. Jarak itu seakan sedemikian jauh, padahal stadion tersebut dibangun menggunakan tangan-tangan mereka.

Saat itu adalah Jumat malam di pinggiran kota Doha, jauh dari pusat perbelanjaan dan restoran. Ribuan buruh migran datang bergelombang memadati stadion kriket Asian Town untuk menonton bareng alias nobar.

Di pintu masuk terdapat spanduk besar bertuliskan kalimat dalam bahasa Arab, Inggris, dan Hindi: “Terima kasih atas kontribusi Anda menjadikan ini Piala Dunia FIFA terbaik yang pernah ada.”

“Ini adalah zona suporter miskin,” seloroh John, buruh migran asal Ghana yang nampak mirip dengan ribuan pria yang duduk di sekelilingnya – mereka inilah yang membangun infrastruktur Piala Dunia Qatar.

“Saya mau tetap tinggal di sini selama 10 tahun, walaupun kontrak saya hanya berlaku dua tahun,” ucap John.

“Saya suka Qatar, meskipun terkadang saya tidak tahu apakah saya bisa mendekati polisi atau mungkin saya harus selalu lari dari mereka. Mereka menakutkan,” katanya sambil tertawa geli.

Tetapi, tidak semua orang merasakan hal positif seperti John.

“Kami bekerja sudah seperti budak,” kata Musa, buruh migran asal Uganda. “Temperaturnya panas, terkadang kami harus bekerja berjam-jam di luar kontrak kami. Di dalam kontrak disebutkan kami bekerja sehari delapan jam, tapi kenyataannya kami bekerja 13 sampai 15 jam.”

“Tapi saya tetap bertahan agar adik-adik saya di rumah bisa makan dan mendapatkan pendidikan,” lanjut Musa.

Buruh Migran Qatar
(foto: Getty Images)

Banyak organisasi pemerhati HAM yang terus mengkritik keras perlakuan Qatar terhadap buruh migran selama perhelatan Piala Dunia tahun ini.

Organisasi Buruh Internasional PBB (ILO) bahkan mengeklaim puluhan buruh migran tewas selama proses pembangunan infrastruktur Piala Dunia 2022.

Musa mengatakan kepada BBC, di Qatar ada dua rekannya meninggal saat bekerja bersamanya. Namun, BBC tidak dapat memverifikasi klaimnya.

“Satu pingsan karena kepanasan, dan akhirnya meninggal,” kata Musa.

Pihak berwenang Qatar tidak menjawab permintaan wawancara BBC terkait kematian pekerja migran ini.

Namun, seorang juru bicara pemerintah, baru-baru ini mengatakan kepada BBC bahwa tidak seperti negara-negara Teluk lainnya, Qatar menerapkan reformasi yang telah memperbaiki kondisi bagi pekerja asing.

Mereka menerapkan upah minimum serta melarang sistem kafala yang kontroversial. Sistem kafala adalah aturan jika seorang buruh migran berganti pekerjaannya tanpa izin dari majikan, maka mereka dapat dituntut, ditangkap dan dideportasi.

Dari puluhan pria yang kami wawancara, rata-rata mereka mengatakan bekerja enam hari seminggu, bekerja sehari lebih dari 12 jam, memperoleh upah minimum atau mendekatinya sekitar Rp4,3 juta per bulan.

Meninggalkan lingkungannya di pinggiran kota, dan pergi ke pusat Doha adalah kemewahan tersendiri yang tak mampu mereka beli.

“Saya merasa seperti di dalam sangkar,” kata John. “Saya bahkan belum berpikir untuk menonton pertandingan sepak bola secara langsung. Mungkin suatu saat saya akan lebih bebas. Tapi zona suporter ini untuk kami, dan saya berterima kasih pada Qatar untuk ini. Saya menyukainya,” kata John.

Buruh Migran Qatar
(foto: Getty Images)

Dari semua yang diwawancarai BBC, kebanyakan mereka berkata lebih frustasi dengan perusahaan tempat mereka bekerja, dibandingkan dengan pihak berwenang Qatar. Namun, tak satu pun mau mengungkapkan tempat atau nama perusahaan mereka bekerja. Mereka mengaku sudah diperingatkan oleh majikannya agar tidak berbicara kepada wartawan.

“Kami tak bisa bilang. Kami tak mau masalah, tapi kami sama sekali tidak nyaman,” kata seorang buruh

Human Rights Watch (HRW) baru-baru ini mengakui bahwa Qatar telah membuat sejumlah perbaikan regulasi, tapi “Buruh migran masih tetap sepenuhnya bergantung dengan majikan mereka, untuk memfasilitasi akomodasi masuk negara, izin tinggal, dan bekerja di negara tersebut.”

“Buruh migran yang tak berdokumen bukan karena kesalahan mereka, tapi karena majikannya gagal melaksanakan kewajibannya. Akan tetapi, para pekerja ini yang akan menerima konsekuensinya, bukan majikannya.”

Musa secara khusus berharap belas kasihan dari majikannya, dan tak bisa meninggalkan kontraknya.

“Kami memberikan banyak pada perusahaan, tapi kami menerima sedikit. Saya berharap bisa berganti pekerjaan,” kata Musa.

“Saya pikir sedikit yang akan berubah setelah Piala Dunia. Kondisinya bahkan bisa makin memburuk.”

Back to top button