Kanal

Modus Kecurangan Makin Kompleks, Demokrasi pun Kian Semu

Pemilu 2024 tak lebih dari tiga bulan lagi. Di media massa dan media sosial sudah terlihat adu isu dan opini antarkontestan. Namun yang paling menarik dalam setiap momentum pemilu adalah tentang isu kecurangan. Modus-modusnya pun semakin hari semakin kompleks. Semuanya demi meraih kekuasaan dan mengabaikan prinsip demokrasi.

Kecurangan dan kejahatan pemilu memiliki fase panjang sama panjangnya bahkan mungkin lebih panjang dari proses pemilihan umum itu sendiri. Dari yang sangat subtantif hingga yang remeh temeh. Dari mulai kecurangan melalui peraturan perundang-undangan hingga urusan uang recehan dan sekantong plastik sembako untuk merayu para pemilih.

Misalnya bagaimana peraturan didesain untuk menguntungkan calon tertentu yang dilakukan oleh para pembuat kebijakan. Termasuk menentukan para pejabat yang memegang kewenangan dalam setiap proses pemilihan umum yang benar-benar dapat dipercaya untuk menjalankan misi salah satu calon. Bahkan mengubah undang-undang pemilu untuk melancarkan keinginan sang juragannya. 

Bagaimana sebenarnya kecurangan pemilu dapat terjadi dan dengan modus seperti apa kecurangan dapat dipraktikan, hal tersebut yang harus dibongkar demi terhindarnya pemilu dari kemerosotan kualitas demokrasi. Membuka dan membongkar modus kecurangan pemilu adalah salah satu ikhtiar yang paling penting bagi masa depan bangsa dan negara.

Kecurangan akan Tetap Ada

Kecurigaan terhadap praktik kecurangan tetaplah menjadi perhatian utama setiap pelaksanaan pemilu hingga saat ini. Berkaca pada Pemilu terakhir yakni di 2019 laporan pelanggaran pemilu cukup besar yakni 3.924 temuan yang ditangani Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Dari jumlah tersebut, 1.126 merupakan pelanggaran administratif dan 2.798 kasus tindak pidana pemilu. 

Ada lima teratas vonis pengadilan atas kasus tindak pidana Pemilu 2019. Meliputi jual beli suara atau politik uang (69 orang), memberikan suara lebih dari satu kali (65 orang), penggelembungan suara (43 orang), mengaku sebagai orang lain pada saat pencoblosan (35 orang), dan mengubah rekapitulasi hasil penghitungan suara (28 orang). Banyak analis kepemiluan meyakini angka tersebut merupakan fenomena gunung es yang dalam realitasnya jauh lebih besar dari apa yang mampu diungkap pihak berwenang. 

Fenomena ini diperkirakan bakal berlanjut pada 2024 nanti. Sinyal-sinyal kecurangan sudah terungkap. Namun modus-modusnya akan berbeda dan berkembang semakin kompleks. “Modusnya akan berbeda. Politik ini kan sangat liar dan tidak dapat diukur,” kata Boni Hargens Pengamat Politik, Jumat (13/9/2013).

Ketua Bawaslu Rahmat Bagja sudah memprediksi kecurangan dan pelanggaran pada tahun 2024 akan tetap ada dan tidak mungkin hilang. Bahkan, Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD mengatakan bahwa Pemilu dari waktu ke waktu tidak bisa lepas dari proses kecurangan. 

Kalau zaman sebelum reformasi kecurangan bersifat vertikal terjadi antara pemerintah dan penyelenggara yakni Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPU) demi memastikan pemenangnya adalah Partai Golkar. Sementara kali ini kecurangan terjadi baik secara vertikal maupun horizontal. Baik antara pemerintah dari pusat hingga ke daerah maupun antarpeserta pemilu.

Modus di Tingkat Elit Bikin Pemilu Sulit

Bagaimana modusnya? Modus kecurangan dalam setiap pemilu bisa dimulai dari sejak sebelum proses pemilu itu sendiri. Dari mulai penunjukkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, para penegak hukum termasuk Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengadili sengketa pemilu, penempatan para kepala daerah hingga Plt kepala daerah, bahkan konsolidasi di kabinet dan intelijen. 

Publik mungkin tidak dapat melihat secara terang benderang apa yang terjadi karena ini permainan di tingkat elit. Masyarakat hanya melihat misalnya ada pergantian pejabat, menteri atau penempatan Plt kepala daerah yang ditunjuk oleh pemerintah pusat. Penunjukkan Plt kepala daerah di tingkat II oleh Plt kepala daerah tingkat I. Artinya pejabat pusat atau komando tetap satu di tangan presiden hingga ke tingkat daerah.

Salah satu isu yang menjadi sorotan di level elit akhir-akhir ini adalah indikasi campur tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam Pilpres. Kecurigaan publik muncuk sejak lama seiring dengan pernyataan Presiden yang akan cawe-cawe dalam pilpres. Tak heran banyak pihak menuding presiden seperti mempersiapkan rencana dari mulai koalisi partai hingga penentuan capres-cawapres. Padahal jelas-jelas aturan dengan tegas menyebutkan keharusan netralitas bagi pelayan rakyat dari mulai presiden sampai ke tingkat bawah bahkan hingga ke pengurus RT/RW.

Kecurigaan cawe-cawe itu seolah-olah terkonfirmasi setelah putra Presiden Jokowi yakni Gibran Rakabuming Raka menjadi Cawapres mendampingi Capres Prabowo Subianto. Pencalonan Gibran juga tak lepas dari kontroversi karena keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dipimpin Anwar Usman, sekaligus paman Gibran, mengubah ketentuan soal pencapresan sehingga bisa lolos dalam kontestasi Pilpres.

post-cover
Ilustrasi runtuhnya Mahkamah Keluarga. (Foto: Inilah

Publik khawatir kehadiran Presiden Jokowi dan putranya yang ikut kontestasi membuat Pemilu kali ini menjadi jauh dari netralitas. Ini mengingat Jokowi masih memiliki kekuasaan struktural dengan menempatkan orang-orang pilihan di hampir semua institusi sipil dan militer termasuk di level kabinet. Kekuasaan struktural ini, yang memenangkan Jokowi pada Pilpres 2014 dan 2019, masih terkoordinasi dengan baik. Bahkan sudah menempatkan Pelaksana Tugas (Plt) hingga ratusan kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota jelang Pilpres 2024.

Potensi kecurangan dan konflik kepentingan makin terbuka karena banyak anggota kabinet alias para menteri yang berasal dari beberapa partai. Mereka masih menjabat sekaligus menduduki posisi pengurus partai atau menjadi penasehat tim pemenangan pasangan Pilpres. Bahkan dua menteri Kabinet Jokowi ikut kontestasi Pilpres yakni Capres Prabowo Subianto yang masih memegang kendali sebagai Menteri Pertahanan serta Cawapres Mahfud MD, belum melepaskan jabatannya sebagai Menkopolhukam.

Belum reda isu lolosnya Gibran menjadi Cawapres, muncul banyak laporan dari berbagai daerah tentang aparat yang berpihak. Dari mulai pencopotan baliho pasangan Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar di banyak daerah hingga tuduhan pemasangan baliho Prabowo Subiyanto-Gibran Rakabuming Raka serta baliho Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang disebut-sebut melibatkan polisi. Untuk kasus terakhir ini baik Tim Kapanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, PSI maupun Polri membantahnya.

Namun temuan di berbagai daerah ini seperti membenarkan pernyataan juru bicara Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar-Mahfud, Aiman Witjaksono. Aiman, Jumat (10/11/2023) menyatakan bahwa ada oknum anggota polisi yang diminta komandannya untuk membantu memenangkan Prabowo-Gibran. “Ini firmed, ini tidak hanya satu, ada banyak yang kemudian memberikan informasi kepada saya,” kata Aiman. 

Aiman juga mengungkapkan bahwa dirinya mendapat informasi Polres seluruh Indonesia meminta penyelenggara dan pengawas Pemilu, yakni KPU dan Bawaslu untuk mengintegrasikan CCTV mereka dalam kualitas visual high definition (HD) lengkap dengan audionya dengan Polres setempat. Menurut Aiman, ketika gerak-gerik aktivitas penyelenggara dan pengawas Pemilu semua terdokumentasi dengan baik, maka bukan tidak mungkin ada arahan untuk memenangkan Prabowo-Gibran dari oknum Polri.

Pengerahan Massa Para Kades

Peristiwa terbaru yang bisa dicurigai sebagai modus kecurangan adalah dikumpulkannya ribuan kepala desa pada acara Silaturahmi Nasional Desa Bersatu 2023 berasal dari delapan organisasi perangkat desa di stadion Indonesia Arena, Gelora Bung Karno, Jakarta, pada Minggu (19/11/2023). Acara ini hanya dihadiri Cawapres Gibran sehingga sarat dugaan kecurangan pemilu dengan ketidaknetralan perangkat desa.

Dalam undangan tertulis yang tersebar di media sosial X, forum ini menyatakan akan mendeklarasikan dukungan terhadap Prabowo-Gibran dan konsolidasi nasional berebut suara desa 2024. Akan tetapi, forum itu kemudian mengganti nama menjadi silaturahmi nasional. 

Bawaslu tengah mendalami kasus ini dan menengarai ada pelanggaran dalam acara ini. “Ada larangan dan sanksi keterlibatan kepala desa beserta perangkatnya dalam kampanye pemilu sesuai UU Pemilu dan UU Desa,” kata Ketua Bawaslu Rahmat Bagja.

Memobilitasi para kepala desa seperti ini mengingatkan apa yang sudah dilakukan Orde Baru di era Pak Harto. Rezim Orba memanfaatkan para birokratnya untuk memobilisasi dukungan terhadap Golkar. Caranya dengan menekan para kepala desa untuk mengumpulkan suara bagi Golkar. 

“Terutama di pedesaan Jawa, di mana pejabat-pejabat desa cenderung mengontrol sebagian besar sumber-sumber nilai dan (sebagian karena alasan itu) secara tradisional dipatuhi untuk urusan-urusan di atas desa, strategi ini sangat berhasil,” tulis William Liddle dalam bukunya Pemilu-Pemilu Orde Baru (1992, hlm. 92).

Kasus yang muncul saat ini adalah riak-riak yang tampak di permukaan. Masih banyak kemungkinan modus kecurangan lain yang akan muncul seiring berjalannya tahapan-tahapan dalam pemilu. Misalnya, kemungkinan mengubah angka hasil rekapitulasi dan jumlah suara yang dihitung tidak sesuai dengan jumlah pada formulir model C1. Formulir model C1 merupakan sertifikat hasil penghitungan suara, yang dibagi buat presiden serta wakil presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten/Kota.

Modus yang lain, kolom perolehan suara serta kolom yang lain pada formulir model tersebut tidak diisi sehingga bisa dimasukkan angka baru. Ada pula modus pemilih yang mencoblos lebih dari satu kali, dan pemilih diberi peluang memilih walaupun tidak memenuhi syarat. Masih banyak celah dan peluang-peluang kecurangan dalam Pemilu hingga di Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Sinyalemen kecurangan dalam urusan data ini sudah sedikit terungkap. Ada temuan LSM Perkumpulan Warga Negara untuk Pemilu Jurdil yang mengklaim menemukan 52 juta data tak wajar dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS) yang sedang disusun oleh KPU. Keruwetan daftar pemilih akan membuka ruang potensi kecurangan.

Serangan Fajar, Amplop dan Bagi-bagi Sembako

Selain potensi dan indikasi kecurangan pemilu di tingkat elit hingga ke tingkatan struktural pemerintahan paling bawah di daerah, yang harus menjadi kepedulian bersama adalah kecurangan di tingkat akar rumput. Ini fenomena yang terjadi pada setiap pemilu baik pada pemilihan presiden, anggota legislatif hingga kepala daerah.

Modus-modus seperti money politic, bagi-bagi bahan pokok, amplop atau serangan fajar sebelum pencoblosan sudah akrab dengan para pemilih. Bahkan seringkali dianggap lazim. Sudah banyak pihak yang tertangkap tangan namun mungkin karena hukumannya yang tidak membuat jera, aksi seperti ini masih terus terjadi dari masa ke masa. Politik uang bukan hanya rentan menyasar pemilih, melainkan juga penyelenggara pemilu yang dianggap sejumlah oknum bisa berperan mengubah atau memengaruhi perolehan suara peserta pemilu.

post-cover
Petugas memasang banner raksasa Kampanye Tolak Politik Uang, Hajar Serangan Fajar di Gedung ACLC KPK, Jalan H.R Rasuna Said, Jakarta, Jumat (14/7/2023). (Foto: Inilah.com/Agus Priatna)

Parahnya lagi, pemberian ‘hadiah’ berupa uang, barang atau bahan pokok ini seringkali dibalut dengan program pemerintah. Seperti bantuan sosial (Bansos) atau program bantuan lain yang menyasar masyarakat secara langsung. Sementara aktivitas pembagian uang kini bisa berubah tidak dalam bentuk uang cash tetapi bisa uang elektronik seperti transfer, uang elektronik berbentuk kartu yang dapat dengan mudah dibagikan, hingga janji-janji hadiah jika terpilih. 

Propaganda Hasbara

Apakah para pelaku kecurangan itu tahu bahwa apa yang dilakukannya itu melanggar hukum? Ini pertanyaan menarik. Mungkin bagi pemilih di pelosok kampung, pemberian bantuan bahan pokok termasuk uang sekalipun seringkali tidak diiringi ketidaktahuan bahwa hal itu melanggar aturan bahkan bisa dikenakan sanksi hukum. Mereka menganggapnya sebagai hadiah atau sedekah tanpa memperhatikan konsekuensinya. 

Lalu bagaimana dengan para pejabat, para penyelenggara negara, capres/cawapres, caleg ataupun calon kepala daerah? Sepertinya mereka sudah tidak takut dengan sanksi meskipun mengetahui bahwa kecurangan jelas-jelas dilarang oleh undang-undang. Seakan gelap mata, melabrak hukum dan etika demi hasrat berkuasa.

Melihat modus-modusnya, para pelaku curang ini sangat pintar berdalih, memutarbalikkan fakta, serta bermain-main dengan aturan hukum. Kalaupun mereka kemudian tersudut, tim dan pendukungnya, termasuk konsultannya akan turun tangan melakukan propaganda melakukan pembelaan diri.

Para pelaku kecurangan ini bisa dengan mudah melakukan propaganda mirip-mirip strategi Hasbara. Strategi propaganda ini sedang trend dilakukan Israel untuk membuat informasi menjadi bias bahkan memutarbalikkan fakta. Di era modern, propaganda ini sering kali berbentuk video, infografis, postingan viral di media sosial, serta hashtag yang dirilis dan dipromosikan untuk membenarkan tindakannya seperti yang dilakukan Israel saat ini.

Indikasi dan potensi kecurangan pada Pemilu kali ini mirip-mirip dengan yang terjadi di era Orde Baru. Kontrol pemerintah dan aparat sipil serta penegak hukum dalam penyelenggara pemilu makin kuat saja. Selain itu terlihat perlakuan diskriminatif terhadap Capres/Cawapres serta partai tertentu. Padahal para pelayan dan abdi negara itu dari mulai presiden hingga ke tingkat desa sesuai amanat undang-undang harus menjungjung tinggi netralitas, kejujuran dan keadilan.

Yang terjadi malah kecurigaan dan indikasi upaya untuk melakukan kecurangan makin gencar terdengar seiring makin gencarnya pula pemerintah menyuarakan narasi netralitas dalam Pemilu. Sesuatu yang ironi.

Semua elemen masyarakat yang peduli dengan hajatan besar pesta demokrasi lima tahunan itu, menginginkan Pemilu 2024 berjalan aman dan bermartabat. Penyelenggaraan pemilu berkualitas, ditandai dengan lahirnya kontestasi yang sehat tanpa persaingan politik hitam yang hanya mementingkan kelompok tertentu.

Artinya pesta politik rakyat lima tahunan ini jika dinodai dengan kecurangan dari mulai money politic, ancam mengancam, hasut menghasut, kecurangan sistemik terstruktur dan sejenisnya tentu bukan menguatkan demokrasi malah menjadikan demokrasi semu. Kalau menangnya saja dengan cara tidak terhormat, tidak mulia, tanpa etika dan tidak beradab, masih layakkah yang terpilih nanti disebut pemimpin?

Back to top button