Kanal

Koalisi Anies-Muhaimin: Efek Domino yang Pura-pura Dinafikan

“Bila kita meyakini posisi SBY di PD begitu menentukan, pikirkan ulang bagaimana koalisi Demokrat dengan KIM maupun Ganjar bisa terjalin baik, sementara masa lalu SBY dengan Prabowo dan Megawati tak bisa dibilang harmonis? Dari sisi–katakanlah kita membeo AHY– cara pandang, visi dan etika politik, memangnya PD punya kesamaan dengan kedua partai penentu di masing-masing koalisi, Gerindra dan PDIP, selain sama-sama berdasarkan Pancasila? Bagaimana AHY bisa yakin masih dapat berbicara tentang “perubahan”, sementara kedua koalisi itu adalah penyokong rejim saat ini yang terang-terangan tak menyukai perubahan yang sejatinya hukum alam itu?”

Datang dengan tulisan tangan dan kalimat sopan, hati siapa pun yang menerima surat tersebut pasti langsung berbunga-bunga. Apalagi isinya menegaskan berita gembira, laiknya pinangan seorang pria yang telah lama dinanti-nanti sang gadis yang siap jadi pasangan hidupnya. Tampaknya begitu pula Agus Harimurti Yudhoyono yang menerima surat pribadi Anies Baswedan, yang konon diterimanya 25 Agustus 2023 lalu. 

“Mas AHY Yth, 

Semoga dalam keadaan sehat, tetap produktif, dan selalu dalam keberkahan-Nya. 

Melalui pesan singkat ini,  kami bermaksud menyampaikan harapan, agar Mas AHY berkenan untuk menjadi pasangan dalam mengikuti Pilpres 2024. 

Teriring salam hormat.” Ada tanda tangan Anies mengakhiri surat tersebut. 

Lalu, saat tak sampai sepekan kemudian Anies malah menggandeng Muhaimin, karuan publik kontan melihat keluarga besar Partai Demokrat (PD) terbakar ‘murka’. Dimulai dari pernyataan pers Sekjen partai, Teuku Riefky Harsya, yang segera dimamahbiak pers, Kamis (31/8/2023) lalu. Pada hari itu Partai Demokrat menuding capres Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP), Anies Baswedan, telah berkhianat karena menyetujui keputusan Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, yang memasangkannya dengan Ketum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhaimin Iskandar, sebagai cawapres. Anies dianggap berkhianat karena tak hanya telah memberikan harapan palsu melalui surat itu, tetapi juga sudah sekian lama menggadang-gadang AHY sebagai bakal cawapresnya. Dalam versi Riefky, harapan itu bermula bahkan sejak 23 Januari 2023, saat keduanya bertemu di Jalan Lembang, disaksikan langsung oleh empat orang dari delapan anggota Tim 8, tim pemenangan capres Anies. 

Kesan murka PD itu dibikin “afdhal” ketika mantan Presiden SBY yang sudah laiknya resi turun gunung dari “padepokannya”, menyusul bergabung dalam kisruh tersebut sehari kemudian. Meski yang banyak dibicarakan SBY adalah soal moral, kesetaraan dan keadilan, toh yang dicerna publik lebih pada kesan betapa protektifnya beliau terhadap AHY, sang putra. Sementara kita tahu, sebulan lalu usia AHY sudah 45 tahun. 

Apalagi manakala PD dengan cepat mengambil sikap—yang tentu harus disikapi publik sebagai pembelaan mereka akan marwah dan martabat partai–, yakni menyatakan “ciao!” dan menganggap Anies serta KPP sebagai “masa lalu”. Semua sikap itu, alih-alih menerbitkan simpati, justru di mata publik lebih terlihat sebagai “mutung”-nya PD. Alhasil, tak sedikit di media sosial berkeliaran komentar yang mempertanyakan kedewasaan sikap politik PD. 

post-cover
Tangkapan layar surat Anies Baswedan untuk Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono. (Tangkapan layar/Inilah.com)

PD : Move on atau CLBK?

Setelah itu, dengan cepat hingga mengesankan terburu-buru, PD seolah ingin menegaskan kepada publik bahwa bagi mereka kehilangan Anies dan KPP tidak jadi masalah. Seakan Cikeas—tempat yang mau tak mau menjadi ikon PD—ingin memberondong warga dengan kesan bahwa PD—dalam istilah Jawa yang pernah dinyatakan Pak Harto menjelang lengser, Mei 1998–“ora pathèken”, meski tak berjalan seiring Anies dalam menghadapi Pilpres mendatang. Tak jadi masalah, tak apa-apa. 

“Sudah jelas kami move on, tidak ada istilah Cinta Lama Bersemi Kembali (CLBK). Sudah cukup. Kami tidak mau di-ghosting lagi,”kata Juru Bicara Partai Demokrat, Herzaky Mahendra Putra. Artinya, mustahil Demokrat akan kembali ke dalam koalisi yang mendukung bakal capres Anies Baswedan.

Hal yang sama ditegaskan Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Ia menegaskan partainya telah membuka lembaran baru atau mengambil sikap move on setelah hengkang dari KPP. “Hari ini, kami keluarga Partai Demokrat dengan berbesar hati, dengan kerendahan hati, menyatakan move on dan siap menyongsong peluang-peluang baik di depan,” kata AHY dalam konferensi pers di DPP Partai Demokrat, Jakarta Pusat, Senin (4/9/2023). AHY memastikan Partai Demokrat akan bergabung dengan koalisi lainnnya. Syaratnya, menurut dia, koalisi tersebut memiliki kesamaan cara pandang, visi dan etika politik.

Persoalannya, bila tidak membangun koalisi baru yang tentu sudah bukan main susahnya, dengan koalisi mana PD akan bergabung? Baik kepada Koalisi Indonesia Maju-nya Prabowo maupun koalisi PDIP bersama tiga partai lain yang mendukung Ganjar, PD nyaris tak punya chemistry yang baik. Bila kita meyakini posisi SBY di PD begitu menentukan, pikirkan ulang bagaimana koalisi Demokrat dengan KIM maupun Ganjar bisa terjalin baik, sementara masa lalu SBY dengan Prabowo dan Megawati tak bisa dibilang harmonis?

Dari sisi–katakanlah kita membeo AHY– cara pandang, visi dan etika politik, memangnya PD punya kesamaan dengan kedua partai penentu di masing-masing koalisi, Gerindra dan PDIP, selain sama-sama berdasarkan Pancasila? Bagaimana AHY bisa yakin masih dapat berbicara tentang “perubahan”, sementara kedua koalisi itu adalah penyokong rejim saat ini yang terang-terangan tak menyukai perubahan yang sejatinya hukum alam itu?  

Apalagi saat ini, ketika hanya ada waktu sekitar sebulan sebelum pasangan resmi dilaporkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU), otomatis posisi tawar Partai Demokrat pun kian rendah di hadapan koalisi-koalisi yang ada.  

Tentu tak bermaksud mengajar “itiak baranang”, namun PD sepertinya benar-benar melupakan petuah Napoleon Bonaparte soal “Tidak ada yang mudah, namun tiada yang tak mungkin”, yang tercantum di “Buku Saku Pramuka” edisi Penggalang, pegangan anak-anak kelas 5-6 SD di tahun 1980-an itu. Bukankah tetap besar hati berada di KPP, sambil mencari peluang terbaik yang masih mungkin, sangat potensial tanpa harus merasa ‘kehilangan marwah’? Dengan rangkaian sikapnya, berhari-hari PD malah menguatkan kesan “muthung” yang terlanjur melekat di benak publik, sejak bergabungnya PKB dan pemberian tempat istimewa di KPP kepada Muhaimin itu. 

Alhasil, keluar dengan tergesa dari KPP sejatinya membuat posisi Demokrat lebih terpojok.  Secara implisit hal itu diakui  Ketua DPP Partai Demokrat, Herman Khaeron. Ia menegaskan, Demokrat lebih mungkin untuk menyatakan sikap dukungan kepada koalisi yang sudah ada, serta mengakui kecilnya kemungkinan untuk membuat poros koalisi baru. “Ke semuanya Demokrat cocok, kecuali kemarin nggak cocok,”kata Herman. Soal apakah akan ke koalisi Prabowo atau Ganjar, ia belum bisa menentukan. Tentu saja susah mengambil sikap, karena kedua koalisi yang ada memang bukan yang terbaik bagi Demokrat yang hampir 10 tahun ini memiliki sikap berseberangan dalam kebijakan politik. 

Dampak pada KIM dan Koalisi Ganjar 

Bukan hanya PD yang terkena tsunami politik dengan masuknya Imin dan PKB ke KPP.  Koalisi Indonesia Maju—nama yang dipakai koalisi Prabowo setelah masuknya PAN dan Golkar—dan koalisi PDIP-PPP-Perindo-Hanura yang mendukung Ganjar pun ketiban dampak yang sami mawon.  

post-cover
Total jumlah suara nasional pada pemilu 2019. (Foto:KPU)

Pada Senin (4/9/2023) lalu PDIP dengan sigap segera mengumpulkan partai-partai anggota koalisi mereka di Kantor DPP PDIP. Menurut Ketua DPP PPP, Achmad Baidowi, pertemuan parpol koalisi tersebut membahas semua dinamika politik nasional, termasuk langkah PKB yang berkoalisi dengan Partai NasDem dan PKS,  serta deklarasikan pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar. “Kita juga mengagendakan untuk membahas kriteria bakal calon wakil presiden,”kata Baidowi.

Koalisi PDIP layak beresonansi dalam artian ikut bergetar sebagai dampak masuknya PKB-Imin ke KPP tersebut. Bagaimanapun, dengan bergabungnya PKB—partai pemenang Pemilu kedua di Jawa Timur dengan perbedaan suara yang sangat tipis dengan PDIP, peluang pasangan Anies-Imin mengeruk suara pemilih di provinsi itu menjadi lebih lebar terbuka. Namun demikian, PDIP masih optimistis mereka akan mengulang kemenangan di Jawa Timur dan Jawa Tengah. 

“Pada Pileg 2019, di Jatim PDI Perjuangan merupakan partai pemenang. Ini akan kami pertahankan di 2024, baik untuk Pileg maupun Pilpres,”kata Ketua DPP PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pareira, saat dihubungi Inilah.com, Jumat (8/9/2023). Optimisme partainya itu, kata Andreas, didukung latar belakang calon presiden  Ganjar Pranowo, gubernur Jawa Tengah dua periode, yang menurut dia memiliki rekam jejak yang mumpuni untuk mengulang kembali kemenangannya. “Kami yakin Ganjar Pranowo akan memperoleh kemenangan dengan suara yang signifikan.”

PDIP, kata Andreas, juga melirik Jawa Barat, provinsi dengan jumlah penduduk paling banyak di Indonesia. Dengan 49.405.810 penduduk sebagaimana data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022, Jabar memang menggiurkan. Karena itu, menurut dia PDIP Tengah mencari figur yang tepat dari provinsi itu untuk dapat memenangkan Pilpres. “Namanya masih rahasia,”ujar Andreas. 

Sementara, dalam pandangan Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) dan pengajar komunikasi politik di Universitas Gadjah Mada (UGM), Nyarwi Ahmad, Ganjar memiliki masalah di sisi popularitas. “Popularitasnya masih tergolong rendah ya. Masih ada sekitar 15 persen yang belum mengenalnya,”kata Nyarwi. “Berarti butuh pengenalan yang lebih intens, baik secara langsung, di media massa maupun media sosial.”

Yang paling jelas, kata Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Ari Nurcahyo, dampak deklarasi pasangan Anies-Imin adalah membuat poros koalisi lain harus segera bergerak menentukan pasangan bakal cawapresnya. Baik bakal capres dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) maupun bakal capres dari PDI Perjuangan-Ganjar Pranowo. “Ketika satu sudah jadi, itu akan mempercepat yang lain. Nah, momentumnya akhirnya baik untuk rakyat karena publik mengharapkan capres dan cawapres diumumkan secepat mungkin supaya bisa segera dikenali,”kata Ari kepada Inilah.com. 

Ia menyebut segera dibentuknya Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar, atau pertemuan Prabowo Subianto dengan Yenny Wahid, segera setelah momentum yang digelar Anies-Imin, sebagai bukti. 

Menurut peneliti Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Saidiman Ahmad, pemilihan Muhaimin yang merupakan warga NU oleh KPP akan membuat warga laris sebagai cawapres potensial.  

“PDIP bisa memilih di antara nama-nama yang beredar. Tokoh seperti Ridwan Kamil atau Mahfud MD, mungkin potensial,” kata Saidiman kepada Inilah.com. “Kalau mau ‘ambil’ Jabar, Ridwan Kamil bisa dipilih. Kalau mau merebut (warga) NU, pilihlah Mahfud. Ada tradisi di PDIP untuk mengambil tokoh NU sebagai cawapres,” kata dia, mengompori. 

Kepada internal Koalisi Indonesia Maju, tsunami akibat masuknya Imin itu terasa. Di hari-hari awal bergabungnya Imin ke KPP, Ketua DPP PAN, Saleh Partaonan Daulay, misalnya, segera meminta PKB segera memberikan klarifikasi mengenai isu tersebut. Ia sendiri melihat PKB, khususnya Imin, terkesan tidak nyaman segera setelah bergabungnya Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Golkar ke KIM. Apalagi masuknya kedua parpol itu segera mengubah nama Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) menjadi Koalisi Indonesia Maju (KIM). Konon, tanpa melibatkan PKB. 

“Ini adalah manuver PKB untuk mencari tempat bagi Cak Imin sebagai cawapres. Di banyak kesempatan, hal ini disampaikan para pengurus PKB secara terbuka,” kata Saleh dalam keterangan resmi yang disebar PAN ke berbagai media massa, Jumat (1/9/2023). 

post-cover
Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar. (Foto:Inilah.com/Agus)

Bahkan konon Prabowo Subianto sendiri terkejut dengan kabar manuver PKB tersebut. “Selama ini hubungan kami dengan PKB enjoy, bagus, yahud, asoy,” kata Sekjen Gerindra, Ahmad Muzani. 

Mungkin kedua elit Gerindra itu lupa, sudah berapa lama Imin dibiarkan mengambang tak berkeputusan di koalisi itu. 

Dalam pengamatan Saidiman, hengkangnya PKB membuat Prabowo untuk sementara kehilangan kesempatan buat memperluas dukungan ke basis massa NU atau PKB, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Namun, ia memahami kegalauan PKB dan Imin dengan lamban memberikan partai wong NU itu kepastian. “Bisa dipahami kalau elit PKB kecewa pada Prabowo. Selain mengambangkan nama Muhaimin begitu lama, Prabowo malah terus menjajaki kemungkinan bakal cawapres lain melalui Golkar dan PAN,”kata Saidiman. Puncak rusaknya hubungan Prabowo dengan PKB terjadi ketika Prabowo mengganti nama koalisi tanpa persetujuan PKB. “Wajar kalau elite PKB merasa posisi politik mereka (di KIM) kurang dihargai.”

Pemikiran Saidiman itu diamini Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah. Menurut Dedi, KIM mengalami kehilangan yang cukup berarti, terlebih basis suara PKB dan Muhaimin ada di Jawa Timur, yang merupakan salah satu kunci di Jawa. “Sementara di Jateng dan Jawa Barat, KIM juga belum menemukan posisi yang aman,”kata Dedi.

Dampak kerugian itu bisa kian besar jika kemudian hari Ganjar mengambil Ridwan Kamil sebagai pasangan. “Prabowo akan kian kesulitan menjaga basis suara yang semestinya sudah ia dapat dari PKB.”

Sementara berkenaan dengan lambannya Prabowo memilih Imin, menurut Dedi itu bukan karena ia tidak mau. “Bisa saja ia menunggu arahan kebih lanjut Jokowi, karena sejauh ini Prabowo terjebak dengan pengaruh Jokowi. Terlalu berharap dan mengultuskan Jokowi yang justru bisa merusak strategi yang semestinya lebih gencar dan baik,”kata dia.

Dedi bahkan melihat saat ini Prabowo tidak lagi miliki cawapres dambaan, dan lebih terkesan tunduk patuh ikut arahan Jokowi. “Bukan tidak mungkin saat ini pilihan Prabowo kian rumit dan terbatas, antara Erick Thohir yang diusung PAN, atau bahkan Gibran yang disokong Jokowi.”

Sebenarnya, Dedi melihat baik Erick maupun Gibran relatif tidak akan banyak membantu Prabowo. Erick bukanlah tokoh politik yang kuat dengan basis massa riil. Sementara Gibran hanyalah replikasi Jokowi, yang Jokowi sendiri diprediksi kian redup dan bersiap ditinggalkan. “Situasi ini bisa berisiko besar membawa Prabowo kembali terancam anti-klimaks dan akhirnya hanya mengusung tokoh sisa,”kata Dedi. 

Peluang AMIN

Di sisi lain, pasangan baru Anies-Imin segera disambut meriah banyak kalangan. Pasangan itu mendapatkan dukungan banyak pihak, termasuk dari ulama khos NU, KH. Muhammad Thoifur Mawardi, asal Purworejo, Jawa Tengah. Ia disebut-sebut memberikan restu bagi keduanya maju sebagai capres dan cawapres pada Pemilu 2024. Setidaknya, itu yang dikemukakan Muhaimin di laman YouTube. Ia mengatakan, saat berhaji kemarin, dirinya dipanggil Kiai Thoifur. 

“Beliau tiba-tiba bilang, “Muhaimin, saya sudah beristikharah. Jodohmu Anies. Camkan saja”,”kata Muhaimin. Sebelumnya, Imin juga pernah mengatakan dirinya sempat dipanggil KH Kholil As'ad, putra pendiri NU, Kyai As'ad Syamsul Arifin dari Situbondo, Jawa Timur, pada 2021.  “Muhaimin, kamu harus berpasangan dengan Anies Baswedan,”kata Imin menirukan pernyataan KH Kholil As’ad waktu itu. 

Ternyata Anies juga punya cerita serupa. Anies mengungkapkan, saat dirinya mengejar pesawat untuk kembali ke Jakarta, di Bandara Juanda, Surabaya, tiba-tiba KH Abdullah Munif, dari Pondok Pesantren Anwarul Maliki Sukorejo, Pasuruan, menghampirinya. “Pak Anies, saya minta waktu bicara. Ada pesan dari KH Thoifur, agar Pak Anies berpasangan dengan Muhaimin,” kata Gus Munif, seperti diceritakan ulang Anies. Saat itu, menurut Anies, ia membalas,”Tolong sampaikan kepada KH Thoifur, mohon doanya.”

Masih dari Jawa Timur, seorang guru besar Institut Teknologi 10 November  (ITS) Surabaya), Prof Agus Purwanto, menyambut bersatunya Anies-Imin itu sebagai hal yang sangat positif. Baginya, itu representasi bersatunya Muhammadiyah (Islam modern), dengan NU yang tradisional. “Beberapa kali saya sampaikan, jika Muhammadiyah dan NU bersatu selesailah urusan Indonesia. Indonesia akan segera melesat menjadi negara maju,”kata Prof Agus saat mengomentari deklarasi pasangan tersebut di situs bersejarah, Hotel Yamato (kini Hotel Majapahit), 2 September lalu. Saat itu, Prof Agus juga menilai keluarnya Partai Demokrat dari Koalisi Perubahan, dipandang dari sisi ushul fiqh, tidaklah tepat. “Bila tak mendapatkan semuanya, jangan tinggalkan seluruhnya,” kata dia. 

post-cover
Bakal calon presiden Anies Baswedan, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Ketum PKB Muhaimin Iskandar. (Foto:Antara)

Antusiasme yang membuncah akan pasangan itu datang dari pengamat politik cum aktivis, Syahganda Nainggolan. Tak hanya menyebut keduanya sebagai pasangan capres dan cawapres ideal, Syahganda optimistis pasangan itu akan menang hanya dengan satu putaran. “Kalau dengan Cak Imin, satu kali putaran bisa menang, nggak perlu dua putaran,” kata Syahganda dalam tayangan sebuah televisi, Selasa (5/9/2023).  

Sesuai dengan perannya, peneliti senior Trust Indonesia Research and Consulting, Ahmad Fadhli, tampak lebih dingin menilai pasangan yang sering disebut “AMIN” itu. Ia optimistis masuknya Imin akan memperkuat Anies di area yang merupakan titik lemahnya, Jawa Tengah dan Jawa Timur. “Karena kita sama-sama tahu bahwa PKB dan Cak Imin ini punya basis massa yang jelas di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah,”kata Ahmad. Ia membuka data, dari survey lembaganya beberapa waktu lalu, anggota NU yang memilih PKB itu tercatat 16,5 persen, yang sebaran terbesarnya ada di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Dengan data Trust lainnya yang menegaskan bahwa pemilih NU yang memilih Anies Baswedan itu hanya 22,5 persen, masuknya Imin potensial berdampak pada meningkatnya tren elektoral Anies di kedua provinsi.

Namun tentu saja mustahil semua pihak akan antusias bertepuk tangan buat pasangan tersebut. Juga dari kalangan warga NU. Dosen Pascasarjana UNHASY Tebuireng, Jombang, KH Musta'in Syafi'ie, misalnya, menyebut  tidak ada yang spesial dari duet Anies dan Imin terebut. Menurut Musta’in, Imin sendiri bukanlah sosok yang mampu merepresentasikan Islam moderat saat ini. “Rasanya kok biasa-biasa saja. Lagian sosok beliau bukan representasi seorang religious,”kata Musta’in. Apalagi, kata dia, orang NU pun tidak mutlak akan memilih PKB. 

Mustaín bahkan mengingatkan publik pada peristiwa kudeta Imin terhadap paman sekaligus pendiri PKB, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Ia menyebut ketua umum PKB itu tak mampu menjadi anak saleh karena tindakannya yang telah merebut PKB dari tangan Gus Dur itu. “Itu dosa berani kepada orang tua, dan agak mengganjal di tengah-tengah kita (para kiai yang saleh),”kata dia. Menurut Musta’in, jika Anies ingin menambal suaranya di Jawa Timur lewat NU,”Kalau figurnya Mas Muhaimin, saya kira berat.” 

Sementara terkait pernyataan PBNU agar setiap calon presiden dan wakilnya tidak membawa-bawa nama NU, mantan Ketua PWNU Jawa Timur, KH Abdussalam Shohib, menganggapnya wajar dan bukan penggembosan calon tertentu. Muhaimin,misalnya, karena pernyataan itu seolah mengiringi langkahnya bergabung dengan Anies. Menurut Abdussalam, hal itu memang aturan yang lama yang telah ditetapkan di NU untuk tidak memberikan dukungan politik praktis dengan membawa-bawa nama organisasi NU. 

“Menurut saya, teman-teman di struktur NU pun banyak yang mendukung Gus Imin. Cuma yang di struktural, mereka tidak (bisa) membawa organisasi untuk ikut dukung-mendukung. Tapi mereka secara pribadi, sebagai pengasuh pesantren, aktivis NU dan tokoh masyarakat, itu bisa dikatakan banyak mendukung Gus Muhaimin,”kata Abdussalam. 

Dari dalam struktur NU sendiri, Ketua PBNU Bidang Keagamaan, KH Ahmad Fahrurrozi (Gus Fahrur), mempertanyakan skeptisisme sebagian orang akan ke-NU-an Imin. Baginya, suka atau tidak, Imin memang merupakan representatif warga NU. “Tentu. Dia kan memang lahir dan dibesarkan di pesantren keluarga tokoh NU. (Dia) masih keponakan Gus Dur,”kata Gus Fahrur yang mengasuh Pondok Pesantren An Nur 1, Bululawang, Malang, Jatim, itu

Oh ya, berkenaan dengan rumors bahwa bersatunya Imin menjadi sekondan Anies pun tak lepas dari cawe-cawe Jokowi, benarkah? Paling tidak, tokoh yang berkait langsung dengan peristiwa ini, Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh, membantahnya keras. Menurut Surya, keputusan untuk menjodohkan Anies dengan Imin dilakukannya secara spontan. “Kedua pasangan ini bagaikan pasangan botol dengan tutupnya,”kata Surya di NasDem Tower, Kamis (31/8/2023) malam. Pun tak ada di situ arahan Presiden Jokowi. 

(Dsy/Diana/ Vonita/ Harris Muda/reyhaanah/Clara Anna/Mihardi/Rizki).

Back to top button