Kanal

Surat Terbuka Anggota Tim Anies Baswedan untuk Presiden Terpilih Prabowo Subianto (2)


Dengan mengingatkan, saya hanya berharap Bapak tidak akan seterperanjat Gaius Julius Caesar tatkala belati Senator Marcus Junius Brutus menikam lambungnya.  “Kai sy, Teknon? Kamu juga, Nak?”teriak Caesar dalam sakit dan pedihnya kecewa. Konon, itu yang ditulis sejarawan Suetonius. Satrawan terkemuka Inggris abad 16, William Shakespeare, dalam dramanya, “Julius Caesar” menulis dialog terakhir Caesar itu dengan kalimat,”Et tu, Brute? (Kamu juga, Brutus?).”  Bila kita seperti laiknya orang Prancis memegang “Le histoire se repete—sejarah itu berulang kembali”, tak elok kemungkinan itu tidak kita pikirkan pula.

 

Oleh  : Widdi Aswindi

Deputy Materi dan Substansi Tim Nasional Anies-Muhaimin dalam Pilpres 2024

Tentu saja, sang pakar pun menyatakan, boleh jadi itu hanya kesan yang mengecoh sekian banyak orang, termasuk dirinya. Ia juga menyadari, sejatinya kondisi fisik Bapak tidaklah perlu dirisaukan. “Sebab bukankah (seiring berjalannya proses resmi Pilpres), Prabowo sudah menjalani pemeriksaan di rumah sakit?”kata dia. Dan Bapak lolos. Maka ketika Bapak terpilih, bukankah itu artinya rakyat tak mempersoalkan semua itu? Artinya, mereka juga memaklumi sisi-sisi kelemahan Bapak.

Di tengah semua tantangan internal tersebut Bapak juga harus bertemu muka dengan sekian banyak persoalan yang menantang, sekaligus mengajak berjudi di antara sukses dan gawal. Ada turbulensi politik di tingkat elit yang harus Bapak urai dan selesaikan. Ada persoalan perubahan geopolitik internasional yang melibatkan dua negara raksasa yang tengah sama-sama menegaskan kekuatan mereka di dunia, dan bersaing untuk mendapatkan dukungan Indonesia. Ada perlambatan ekonomi dunia yang potensial membawa nilai tukar rupiah terhadap dolar kian bikin nelangsa kehidupan rakyat kita. Belum lagi alam pun seperti menegaskan diri tak lagi bisa bersikap ramah kepada warga bumi yang memang lebih banyak merusak daripada memelihara. El Nino, La Nina, serta kondisi perubahan iklim yang terasa kian nyata, diprediksi para ahli akan terus mencoba menyerimpung kinerja pemerintahan Bapak, terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyat dan produksi pertanian. Ancaman kekeringan, kemarau panjang, atau sebaliknya hujan berkelebihan yang merusak lahan pertanian, sudah sering prediksinya kita dengar. Sementara, di dalam negeri, baru saja kita menyaksikan sekian banyak gunung memuntahkan isi perut mereka, seolah muak dengan segala tingkah laku kita. 

Turbulensi politik dalam negeri tersebut datang dari banyaknya masalah tersisa dari kontestasi Pilpres lalu yang potensial menimbulkan tak sekadar kegaduhan, melainkan pula tarik-menarik kekuatan politik. Elit-elit, dengan segala kepentingan mereka, akan senantiasa menikung, mengurangi, bahkan pada sisi yang terkesan sangat tega, memperlambat pencapaian usaha dan kinerja pemerintahan Bapak ke depan. Pedihnya urusan Pilpres, yang antara lain membentuk jurang yang lebar dan dalam antara kekuatan (mantan) Presiden Jokowi dan kekuatan Ibu Megawati dan jajaran PDIP, masih potensial untuk membuka beragam persoalan yang mengganggu jalan pemerintahan Bapak ke depan. 

Sementara, pada saat menyadari berkurangnya daya politik setelah lepasnya posisi kepresidenan, bukan tidak mungkin Jokowi—yang masih sangat berkepentingan dengan nasib diri, keluarga dan legacy dari kekuasaannya di masa depan—masih tetap akan berusaha “cawe-cawe”. Sangat terbuka peluang bahwa dia akan berusaha terus menghidupkan posisinya sebagai mantan presiden atau politisi yang berpengalaman dan mumpuni. Mungkin saja usaha untuk terus berusaha “dianggap” sebagai tokoh politisi besar itu akan diwujudkannya dengan membangun sebuah lembaga atau yayasan tertentu. Semacam Lee Kuan Yew Institute atau lembaga-lembaga sejenis yang dibangun para mantan pemimpin negara.  Mungkin pula hanya dengan berusaha hadir di berbagai wilayah Indonesia secara konsisten, sambil terus menyapa dan menyadarkan publik akan keberadaannya. Bila saja Bapak dan skuad kabinet ke depan mencatatkan kinerja yang mengecewakan rakyat, terutama bila kondisi ekonomi Indonesia kian jeblok dibanding saat ini, mungkin orang diharapkan akan berpikir tentang “perubahan”—dengan tanda petik yang tegas—. Saat itu, dengan bantuan lembaga atau kekerapannya menyapa publik Indonesia langsung ke berbagai daerah, mungkin saja orang akan dengan gampang mengingat kembali Jokowi. 

Dalam kondisi turbulensi politik elit seperti itu, tidak tertutup kemungkinan munculnya figur-figur laiknya Brutus. Melalui surat ini, saya berharap Bapak tidak akan kaget manakala hal degil seperti itu mungkin saja terjadi. Ini barangkali pengingat yang terlalu ekstrem akan hal itu. 

Dengan mengingatkan, saya hanya berharap Bapak tidak akan seterperanjat Gaius Julius Caesar tatkala belati Senator Marcus Junius Brutus menikam lambungnya.  “Kai sy, Teknon? Kamu juga, Nak?”teriak Caesar dalam sakit dan pedihnya kecewa. Konon, itu yang ditulis sejarawan Suetonius. Satrawan terkemuka Inggris abad 16, William Shakespeare, dalam dramanya, “Julius Caesar” menulis dialog terakhir Caesar itu dengan kalimat,”Et tu, Brute? (Kamu juga, Brutus?).” 

Tidak bijak bila peluang itu kita hapuskan dari kemungkinan. Toh, menjelang Reformasi 1998 pun kita lihat satu demi satu elit Orde Baru, para politisi yang dibesarkan Soeharto sejak masih tertatih-tatih, terus menikmati karier politik dan mengecap keberlimpahan ekonomi seolah tak ada yang salah dalam proses demokrasi, segera berebut meninggalkan Soeharto. Bila kita seperti laiknya orang Prancis memegang “Le histoire se repete—sejarah itu berulang kembali”, tak elok kemungkinan itu tidak kita pikirkan pula.

Tugas Bapak akan kian berat manakala perekonomian dunia dan kawasan pun ke depan masih tebal bersaput kabut. Inflasi, misalnya, bagai kuda ranggi yang sukar dikendali. Pada awal 2023, beras harganya rata-rata masih Rp10.550 per kilogram. Di pengujung 2023, harganya naik hampir 20 persen ke angka Rp12.500 per kilogram. April lalu Badan Pangan Nasional (Bapanas) malah mengerek harga eceran tertinggi (HET) beras medium, dari sebelumnya Rp13.900 ke Rp14.900. 

Pertengahan Mei lalu, Bank Mandiri melansir data Mandiri Spending Index (MSI) yang menegaskan pengeluaran masyarakat saat ini lebih terarah pada kebutuhan makan dan minum. Pada Januari 2023, porsi penghasilan untuk membeli kebutuhan primer itu masih 13,9 persen. Pada Mei 2024, porsinya naik hingga 26 persen, atau  dua kali lipat! 

Jika semua masalah tersebut adalah badai, saya yakin Bapak pun akan menghadapi dan mengatasi badai-badai itu dengan tegak dan keyakinan tanpa retak. Bapak jauh lebih mampu, sabar dan ulet dibanding pemburu badai sekaliber Josh Morgerman sekalipun. Seperti Morgerman memasuki tornado untuk mengukur kelembaban, kecepatan angin, dan suhu, Bapak pun harus memasuki, menari meningkahi badai-badai itu demi mencari jalan terbaik bagi kemaslahatan rakyat. 

Dengan sekian banyak potensi persoalan, bukankah yang terbaik sejatinya adalah mencari akar-akar masalah? Ibarat ilalang, akar-akar itulah yang harus dibabat secara radikal—alias mencabut hingga radiks, akarnya—agar tak lagi tumbuh potensi masalah. 

Apa yang potensial menjadi masalah di Indonesia. Kita tahu, elitlah yang selalu jadi problem terbesar bangsa ini, bahkan sejak di awal kemerdekaan. Elit yang merasa tersisih tak dapat apa-apalah. Itu  yang selama ini selalu merongrong. Jika ada kalangan tulus di rakyat kebanyakan, yang karena kritis dikesankan merongrong kestabilan, mereka justru yang kemudian dikorbankan. Oleh elit-elit yang tersingkirkan itu. [bersambung]

 

 

 

Back to top button