Kanal

Surat Terbuka Anggota Tim Anies Baswedan untuk Presiden Terpilih Prabowo Subianto (1)


Menjadi Muslim, yang diawali dengan kesaksian dalam untai kalimat agung Syahadat, adalah langkah tak kenal henti dalam hitungan detik, menit, jam, hari, pekan, bulan dan bertahun-tahun, menuju sikap berserah diri yang paripurna (kaafah). Manakala sejak lama Bapak mempersiapkan diri untuk memimpin bangsa ini, saya yakin otomatis pula persiapan itu mencakup proses diri untuk menjadi pribadi adil yang mumpuni. 

Mungkin anda suka

 

Oleh  : Widdi Aswindi

Deputy Materi dan Substansi Tim Nasional Anies-Muhaimin dalam Pilpres 2024

 

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh, 

Pak Prabowo yang saya hormati,

Saya tidak hendak membuka surat ini dengan memperkenalkan diri, kecuali sekadar nama saya. Saya Widdi Aswindi. Mengapa saya merasa tidak perlu memperkenalkan diri kecuali nama? Karena selain tampilan, nama adalah hal paling sederhana namun harus diupayakan menjadi pembeda spesifik, yang mesti terdeferensiasi secara tegas dan terang antara saya dengan warga lainnya. Selebihnya, terutama dalam hak dan kewajiban, sebagai warga negara Indonesia, rakyat yang sebentar lagi Bapak pimpin, kami semua relatif sama. 

Saya hanya perlu mengenalkan nama, bukan posisi sosial atau pun jabatan saya, karena ada rasa percaya yang kuat dalam dada bahwa Bapak adalah seorang yang adil. Kalau pun sikap adil belum sepenuhnya menjadi karakter Bapak, saya yakin setidaknya Bapak sudah lama mempersiapkan diri untuk jadi seseorang dengan karakter keadilan pada diri. Karena dalam agama yang sama-sama kita anut, sikap adil (‘adalah), selain juga pandai (fathanah) dan dapat dipercaya (amanah), adalah syarat-syarat paling elementer seorang pemimpin. 

Tentu saja kadar sikap adil tersebut akan berproses, sebagaimana kita semua senantiasa bergerak dalam upaya tak kenal henti  untuk menjadi seorang Muslim sejati, yakni seorang yang memiliki keikhlasan paripurna untuk hanya dan sepenuhnya kepada Allah, Pencipta dan Pemelihara,  kita “berserah diri”. Menjadi Muslim, yang diawali dengan kesaksian dalam untai kalimat agung Syahadat, adalah langkah tak kenal henti dalam hitungan detik, menit, jam, hari, pekan, bulan dan bertahun-tahun, menuju sikap berserah diri yang paripurna (kaafah). Manakala sejak lama Bapak mempersiapkan diri untuk memimpin bangsa ini, saya yakin otomatis pula persiapan itu mencakup proses diri untuk menjadi pribadi adil yang mumpuni. 

Pak Prabowo yang saya hormati, 

Meskipun ada kata “Surat Terbuka”, apa yang akan saya sampaikan tidaklah mungkin sekeras, sekasar, dan semenuding apa yang sejarah tulis tentang surat terbuka sastrawan Emile Zola kepada presidennya, Presiden Prancis saat itu, Félix Francois Faure. Saya sama sekali tidak menggunakan judul agigatif seperti yang dipakai Zola, “J’accuse!” (Saya Menuduh!). Benar, sebagaimana “J’accuse” dimuat dan tersebar luas karena pemuatan di L’Aurore pada 13 Januari 1898, surat saya pun tersebar melalui media massa. Namun ada perbedaan besar di antara kami, sejauh waktu yang terentang antara Zola di akhir abad 19 itu dengan saat ini, dasawarsa ketiga abad 21.

Zola datang dengan tudingan dan kemarahan, mempertanyakan sikap diam presidennya. Surat saya datang dengan keyakinan dan harapan, juga nawaitu untuk bersama-sama meraih ketinggian martabat Indonesia, cita-cita yang saya lihat telah lama Anda pantek kuat dalam dada. 

Saya yakin, cita-cita Bapak yang tulus itu pula yang membuat rakyat memilih Bapak. Kemenangan Bapak, yang sekaligus merupakan kemenangan rakyat pula itu, bagi saya lebih sebuah kemenangan sentimental. Yang dominan pada pemilih tampaknya adalah “rasa”, bukan “rasio”. 

Dibanding kompetitor saat Pilpres, Bapak tak banyak menyoal visi-misi sebagai calon presiden di sekian kali Debat Capres. Jika Bapaklah yang kemudian mayoritas rakyat pilih, tidakkah pernah terlintas di benak Bapak, bahwa kemenangan Pilpres kemarin itu harus lebih dimaknai sebagai pemberian kesempatan oleh rakyat kepada Bapak, dibanding kemenangan rasionalitas visi-misi Bapak?  

Dan itulah rakyat Indonesia, negeri yang diisi ratusan juta warga yang terkenal sebagai pemilik sifat paling dermawan di dunia! Rakyat yang pepak kebaikan hati, yangtak akan membiarkan seorang yang penuh ketulusan dan cita-cita muliadisisihkan untuk kesekian kalinya.   

Kini, tak ada lagi opsi kecuali di pundak Bapak masa depan bangsa ini berada. Dan ‘masa depan’ itu bukanlah lima tahun, satu periode masa bakti Bapak. Seiring waktu, kita kian mengerti bahwa ‘masa depan’ itu bahkan immediate future yang hitungannya telah jadi sekian bulan hingga satu tahun ke muka. Sementara konsekuensinya hanya dua, yakni: sukses Bapak adalah sukses Indonesia. Gagal Prabowo Subianto artinya tak sekadar luputnya anak laki-laki pertama mendiang Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo, melainkan luncasnya Indonesia meraih satu etape cita-cita bangsa! 

Bapak, bahkan saudara-saudara kita yang tidak memilih Bapak pada Pilpres kemarin pun tahu, Bapak adalah salah seorang putra terbaik bangsa ini. Dibesarkan dalam tempaan perjuangan keluarga patriot sejati, lalu memasuki candradimuka Tidar untuk dibentuk menjadi pembela bangsa di garda depan sebagai ksatria TNI, dibesarkan, lalu memimpin dan membesarkan Kopassus sebagai kesatuan elit militer negeri ini, didaulat menjadi pimpinan kesatuan korps cadangan terkemuka, lalu sekian kali dipercaya rakyat untuk menjadi pilihan mereka, hingga akhirnya kini terpilih sebagai pimpinan eksekutif tertinggi. Apa lagi yang tak tuntas untuk menjadi penanda dan bukti?

Sayangnya, kita semua sadar akan “kelemahan” Bapak, katakanlah kita bersepakat untuk menyebutnya dengan terma seekstrem itu. Kelemahan itu adalah usia. Pada saat dilantik menjadi presiden pertama Republik Indonesia, Soekarno berusia 44 tahun. Presiden kedua, Soeharto, dilantik pada usia 45 tahun. Setelah itu, seolah terjadi lompatan usia, karena usia alm BJ Habibie pada waktu dilantik telah mencapai 62. Megawati memudakannya menjadi 54. Setelah itu berturut-turut SBY pada 55, dan Jokowi pada umur 53. Oktober nanti, saat Bapak berdiri dan bersumpah untuk mengabdi negeri sebagai pemimpin eksekutif tertinggi, Bapak telah menghayati hidup sepanjang 73 tahun. Bapaklah presiden RI paling senior saat dilantik. Di saat dunia yang juga tengah dijangkiti gerontokrasi (kepemimpinan para senior), boleh saja kita katakan bahwa hal itu telah menjadi normal dan biasa. 

Namun tentu saja, tidak pada tempatnya bila kita semua tidak mewaspadai kenyataan tersebut. Kita tahu pasti bahwa setelah 40-an, bergulirnya waktu juga membawa persoalannya sendiri pada jasmani dan rohani. Setelah 40-an, yang datang bukanlah kenyataan anomali seperti cerita pendek sastrawan terkemuka Amerika, F. Scott Fitzgerald, yakni “The Curious Case of Benjamin Button”. Usia tak membawa kita kepada kemudaan, apalagi imortalitas. Faktanya, usia mengajak kita kian dekat kepada kondisi rentan, ringkih, dan rapuh. 

Pada kampanye Pilpres 2024 kemarin, ada jejak digital pernyataan seorang pakar psikologi forensik. Isinya mengkhawatirkan kondisi executive functioning Bapak. Menurut sang pakar, executive functioning bersangkut paut dengan kecakapan dan kesanggupan manusia untuk mengolah informasi, memproduksi informasi, dan akhirnya menghasilkan keputusan yang solid pada level strategis. Sang pakar melihat ‘joget gemoy’ yang senantiasa Bapak lakukan, memberi kesan sebentuk kompensasi, sekaligus pengalihan perhatian audiens atas menurunnya kemampuan Bapak untuk berpikir strategis dan tuntas di level tertinggi pejabat negara. [bersambung]

Lihat Juga
Close
Back to top button