News

Gotak Gatik Gatuk Komposisi Parlemen, ‘Politik Nasi Goreng’ Berulang?


Koalisi partai politik pendukung pemerintah yang terlalu gemuk berdampak pada pengabaian aspirasi konstituen. Misalnya saja penyusunan undang-undang secara ugal-ugalan, absennya pengawasan DPR, dan lemahnya penyerapan aspirasi dalam fungsi penganggaran

 

Persaingan dalam pemilihan presiden sudah mengendur setelah real count sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) memperlihatkan pasangan Prabowo-Gibran unggul hampir 60%. Namun persaingan menguasai badan legislatif kini jadi sorotan. Hal ini mengingat, ambisi Prabowo memerintah bakal terganggu komposisi legislatif mendatang. 

Sekitar 9.900 kandidat bersaing memperebutkan 580 kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan sekitar 205 juta pemilih terdaftar di seluruh Indonesia. KPU menyatakan bahwa hasil resmi diperkirakan keluar paling lambat 20 Maret.

Hasil real count sementara Pileg DPR berdasarkan data KPU pukul 19.45 WIB, Selasa (5/3/2024), PDI-P yang mengusung Mantan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo unggul dengan 16,39% suara. Sementara Partai Golkar, dan Partai Gerindra yang dipimpin Prabowo berada di posisi kedua dan ketiga, masing-masing 15,05% dan 13,3%. Perolehan suara tersebut diperoleh dari perhitungan yang masuk sebesar 65,91% di 542.555 TPS dari total 823.236 TPS.

Hasil sementara Pileg ini jelas mengganggu euforia kemenangan Prabowo-Gibran. Ini karena, pemerintahan Prabowo akan mengalami masalah jika parlemen dikuasai kubu PDIP. “Jika Prabowo menjadi presiden, tetapi PDI-P menguasai parlemen, pemerintah tidak akan bisa memerintah secara efektif,” kata Wasisto Raharjo, analis politik di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengutip Channel News Asia (CNA).

Patutkah Prabowo-Gibran khawatir dengan hasil Pileg ini? Kita lihat saja gotak gatik gatuk posisi parlemen. Partai-partai dalam Koalisi Indonesia Maju yang mendukung Prabowo-Gibran di antaranya Gerindra, Golkar, PAN, dan Partai Demokrat kemungkinan akan tetap berada dalam satu kubu di DPR. Hasil hitung sementara, total suara-suara kubu ini mencakup 42,71%. Artinya Gerindra dan koalisinya perlu meyakinkan partai-partai lain untuk bergabung agar bisa menjadi blok yang solid. 

Kalau tidak, PDIP akan gencar meminta partai-partai lainnya yang tidak berada di kubu Gerindra. Misalnya Partai Nasdem, PKB, PPP dan PKS. Akibatnya bisa ditebak, berpotensi menjadi kekuatan dan blok mayoritas di parlemen. Berdasarkan hasil sementara, jika mereka bergabung membentuk koalisi, akan memperoleh 48,86% suara. 

Kalau partai-partai ini solid, tahan banting dan memiliki dignity, bisa dibayangkan bagaimana kuatnya posisi oposisi di parlemen. Tentu akan menjadi penyeimbang yang baik bagi demokrasi namun akan membuat pemerintah pusing tujuh keliling dan sulit untuk survive.

Mungkinkah PDIP Bergabung dengan Prabowo?

Selain skenario kubu Prabowo akan berhadapan dengan kubu partai yang mengusung pasangan 01 Amien Baswedan-Muhaimin Iskandar dan 02 Ganjar Pranowo-Mahfud MD, ada kemungkinan lahir opsi lain. Gerindra yang mendukung Prabowo mungkin akan membujuk PDI-P bergabung dengan koalisinya. 

post-cover
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri saat bertemu Ketua Umum Partai Gerindra, Prabowo Subianto, Rabu (24/7/2019) yang dikenal sebagai ‘politik nasi goreng’. (Foto: Dok PDIP)

Skenario ini bisa saja terjadi. Mungkin publik masih ingat peristiwa pada pemilu 2019 lalu. Ketika itu Prabowo sebagai capres mendatangi Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Peristiwa ini menghebohkan jagat perpolitikan nasional mengingat PDIP saat itu mengusung Joko Widodo (Jokowi) berhadapan dengan Prabowo dari Gerindra dan koalisinya.

Peristiwa itu dikenal dengan ‘politik nasi goreng’ mengingat Prabowo disuguhi nasi goreng buatan Megawati. Prabowo memuji nasi goreng yang dihidangkan sementara Megawati mengungkapkan nasi goreng sangat ampuh menyatukan perbedaan prinsip dan sikap politik.

“Namun peluang Prabowo-Gibran mengajak PDIP bergabung masih jauh. Karena, sebelumnya sudah ada penegasan berulang dari para elite partai tersebut untuk siap menjadi posisi,” kata Kacung Marijan, pengamat politik Universitas Airlangga dalam perbincangan dengan Pro 3 RRI, Senin (19/2/2024). 

Artinya ‘politik nasi goreng’ kemungkinan sulit terjadi lagi. Bahkan kini PDIP ikut mensponsori hak angket DPR tentang kecurangan pemilu bersama beberapa partai.

Oposisi di Parlemen Bakal Lebih Kuat?

Dalam tatanan demokrasi, kehadiran oposisi sangat penting. Oposisi berguna menjaga keseimbangan politik dalam negara. Namun menilik sejarahnya, oposisi yang kuat selalu kandas.

Di era orde lama, kala Presiden Soekarno berkuasa (1945-1967), Partai Masyumi dipimpin M Natsir memposisikan diri sebagai oposisi. Hal ini terjadi lantaran pemerintah dipimpin tokoh-tokoh sosialis seperti Sultan Syahrir dan Amir Syarifuddin. Sedangkan Soekarno punya haluan politik sosialis-kiri. Namun, pada demokrasi terpimpin (1959-1966) peran partai oposisi Masyumi dan Partai Murba buatan Tan Malaka meredup karena dimandulkan. 

Sementara di masa orde baru, oposisi juga dilemahkan. Pemerintah tidak mau menerima pandangan yang berbeda. Soeharto sukses melanggengkan kepemimpinannya melalui Golkar. Sedangkan pada masa Abdurrahman Wahid (Gus Dur), oposisi juga tak terlalu bermakna, mengingat seluruh potensi kekuatan politik nasional terserap ke pemerintahan.

Koalisi partai politik pendukung pemerintah yang terlalu gemuk berdampak pada pengabaian aspirasi konstituen. Misalnya saja penyusunan undang-undang secara ugal-ugalan, absennya penggunaan hak pengawasan DPR, dan lemahnya penyerapan aspirasi dalam pelaksanaan fungsi penganggaran. 

Lihat saja dalam lima tahun terakhir parlemen dinilai mengalami penurunan peran dalam menjaga demokratisasi kebijakan. Oposisi yang lemah juga akan memunculkan peluang kepemimpinan otoriter. 

Prabowo diperkirakan akan meniru Jokowi yang mengakomodir semua pihak untuk meraih dukungan mayoritas di DPR. Tak heran menjelang masa jabatan keduanya, Pemerintahan Jokowi berhasil meraih dukungan 80% lebih dari parlemen.

Prabowo bisa mengeluarkan jurus paling jitu dengan merayu pentolan partai masuk kabinet guna melancarkan usahanya mendapat dukungan lebih banyak dari DPR. Siapa yang tidak tergiur dengan posisi menteri dan akan lebih menguntungkan bagi partai ketimbang beroposisi. 

“Tidak ada partai yang didirikan untuk menjadi oposisi. Tidak ada partai yang mau jadi oposisi, oposisi bagi partai adalah kecelakaan jadi karena itu banyak pragmatis,” kata Jusuf Kalla, Wakil Presiden RI Ke-10 dan 12 saat berbicara dalam sebuah diskusi di Kampus Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (7/3/2024). 

Karena itu pula, kemungkinan akan banyak partai setelah Pemilu berpikir pragmatis untuk keuntungan mereka dan kemudian memilih bergabung menjadi koalisi bersama pemerintah.

Apalagi pada November, Indonesia akan menggelar pemilihan kepala daerah. Sehingga peristiwa ini menjadi pertimbangan penting bagi partai melakukan koalisi menguntungkan dan memudahkan jika kadernya berpotensi maju dalam pemilihan gubernur maupun bupati/wali kota. 

Mesti diingat, dalam politik apapun bisa terjadi. ‘Tak ada kawan atau lawan yang abadi dalam politik yang ada adalah kepentingan’, menjadi dogma yang tak terbantahkan hingga kini. Bukan tidak mungkin ‘politik nasi goreng’ kembali muncul, atau ada ‘politik nasi uduk’, ‘politik makan bakso’ akan mewarnai perpolitikan di Tanah Air nanti. Kita tunggu saja siapa yang bakal menjadi jawara di parlemen. 

Back to top button