Kanal

Menapis Calon Presiden

Oleh:  Indra Jaya Piliang*

Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengeluarkan Peraturan KPU Nomor 3/2022 tentang Tahapan dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Belajar dari PKPU tahun 2020 terkait Pilkada Serentak, bukan tidak mungkin PKPU ini bakal mengalami revisi atau perubahan berulang kali.

Belum lagi keberadaan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang baru dilantik tiga bulan lagi, seiring perpanjangan masa jabatan DKPP lima orang anggota dari unsur masyarakat, diluar unsur KPU dan Badan Pengawas Pemilihan Umum.

Wasit dan pengawas wasit saja belum terbentuk, dalam artian sampai ke tingkat badaerah, sementara publik sudah lama mengalami euforia terkait nama-nama calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres). Beragam lembaga survei memunculkan nama berdasarkan top of mind atau pun nama lain yang disodorkan.

Padahal, belajar dari pengalaman Pilkada DKI Jakarta 2017, bahkan seluruh lembaga survei pada akhir Desember 2016, empat bulan sebelum ‘D-Day’, menempatkan pasangan Anies Rasyid Baswedan dan Sandiaga Salahuddin Uno pada urutan buncit. Yang diperkirakan bakal beradu dalam putaran kedua adalah pasangan Agus Harimukti Yudhoyono-Sylviana Murni sebagai jawara, dan pasangan Basuki Tjahaja Purnawa-Djarot sebagai runner up.

Begitu juga Pilpres 2004, 2009, 2014 dan 2019 lalu, menunjukan bahwa pasangan capres dan cawapres baru ditetapkan partai-partai politik beberapa hari menjelang pendaftaran calon ditutup. Nama-nama “unggulan” versi surveyor bahkan kerapkali tak mendapatkan dukungan partai-partai politik. Sah-sah saja lembaga survei memunculkan nama, namun hak konstitusional pengusungan calon ada pada partai-partai politik. Indonesia belum mengenal capres-cawapres independen.

Pilgub DKI 2017 menunjukan bahwa ketangguhan tokoh bisa dengan cepat terdegradasi, ketika mesin politik sama sekali berubah menjadi sekadar Tim Hore.

Pun, euforia massa bisa dibentuk dalam beragam propaganda, arus, riak, dan gelombang, sehingga menyemutkan pemilih untuk berkerumun. Politik identitas kerap dijadikan sebagai pesakitan. Fakta yang berlangsung adalah Pilgub DKI Jakarta 2017 tidak bisa disebut sebagai pemilihan di tingkat lokal, melainkan pemilih dan sentimen politik nasional ikut melibatkan diri, walau bukan warga DKI Jakarta.

PKPU Nomor 3/2022 menjadwalkan pendaftaran capres dan cawapres pada 19 September 2023, hingga ditutup pada 25 November 2023. Masih 16 bulan lagi. Tentu saja, partai-partai politik sudah melakukan penjaringan, baik secara tertutup atau terbuka. Partai Golkar, misalnya, sudah sejak Musyawarah Nasional 2019 menatapkan Airlangga Hartarto sebagai capres. Sementara, Partai Nasdem pun sudah menggelar penjaringan. PDIP Perjuangan, sama sekali mengandalkan pilihan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri.

Berpatokan pada Pilpres 2004, 2009, 2014, dan 2019, pasangan capres dan cawapres ditetapkan oleh “Dewa-Dewi Politik” pada hari dan jam terakhir pencalonan. Prof Dr Mahfud MD, salah satu figur yang sempat digadang-gadangkan mendapingi Joko Widodo, namun terpental pada detik terakhir. Nuansa yang tidak akan berbeda, tentunya, dengan Pilpres 2024. Jika memang batas waktu terakhir dijadikan patokan, berarti masih 18 bulan lagi. Lumayan panjang, dua kali seorang calon ibu mengandung hingga melahirkan.

Di luar wakil presiden yang merupakan ban serep, banyak yang mulai lupa, apa tugas dan wewenang presiden. Dari segi konstitusi, presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan.

Sebagai kepala negara, keberadaan presiden menunjukan sebagai negara yang berdaulat, selain keberadaan wilayah dan penduduk yang menghuni suatu negara moderen. Presiden bukan saja wajah legal dan konstitusional, tetapi sekaligus lambang dari moral, spiritual, dan intelektual negara. Mau presidennya cacat fisik, tak bisa berbahasa asing, tetap saja kedudukan sebagai Kepala Negara melekat dalam keseluruhan aturan protokoler dan kepangkatan. Presiden adalah orang nomor satu, istri presiden disebut first lady.

Dalam kedudukan sebagai kepala pemerintahan, presiden menjalankan tugas dan kewenangan pemerintah pusat. Sebut saja politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter,  agama, hingga standarisasi nasional. Tentu saja, dalam menjalan tugas dan kewenangan itu, Presiden dibantu oleh kabinet yang tentu bukan berjumlah tujuh orang, sebagaimana jumlah “Datuk Pemangku” Kerajaan Majapahit.

Walau, penulis berulang kali menyampaikan agar jumlah anggota kabinet yang dikenal sebagai menteri atau pembantu presiden ini, tak lebih banyak dari 19 orang saja.

Otonomi diametral dan asimetris yang terjadi, sudah sampai ke level pemerintahan desa, kelurahan, kabupaten, kota, hingga provinsi. Masalahnya, pada tingkat provinsi, semakin sedikit gubernur yang memahami tugas dan fungsi sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Kepala seorang gubernur lebih banyak mendongak, bahkan berbeda dengan pusat, demi dukungan politik jangka pendek, menengah, dan panjang. Tak jarang seorang gubernur menyebut diri sebagai oposisi dari presiden, akibat belitan partycracy yang kian dalam dan berakar.

Seorang calon presiden dengan dua tugas itu, yakni kepala negara dan kepala pemerintahan, tentu akan sangat bermasalah jika didukung massa politik yang fanatik, militan, dan subjektif. Sebab, presiden lebih berfungsi sebagai koordinator, negosiator, sekaligus konduktor bagi seluruh gerak pemerintahan pada level desa, kelurahan, kabupaten, kota, dan provinsi.

Dari sini, menjadi kian penting untuk menambah dan mempertebal jumlah warga negara Indonesia yang berafiliasi atau minimal asosiatif dengan partai-partai politik. Rendahnya party id di Indonesia, sekitar 20 persen, lambat laun bisa membuat individualisme kian membudaya,  kesetiakawanan meluntur, dan sikap independensi membuntal.

Padahal, negara-negara dengan party id rendah, justru menyuburkan apa yang disebut sebagai oligarki yang berasal dari kaum borjuis, eksponen junta militer masa lalu, hingga keturunan dari klan-klan politik yang bergelimang dengan korupsi.

Dengan waktu yang masih banyak, kini giliran partai-partai politik guna menapis atau mengayak calon-calon presiden dan calon-calon wakil presiden. Bagaimanapun, presiden dan wakil presiden bukan semata-mata sosok yang diidolakan oleh rakyat ramai, melainkan yang mampu bekerja dengan sistem politik dan sistem pemerintahan yang sudah berjalan. Sosok yang mampu berhadapan dengan dunia yang berubah, sekaligus membangun kerjasama dengan parlemen, kepala daerah, hingga kepala desa. Sosok yang berpengalaman di dalam seluruh derap langkah penyelenggaraan negara.

Bagi nama-nama yang selama ini berada dalam kategori penyelenggara negara tingkat nasional, publik seyogianya memberi kesempatan yang lebih luas guna menampilkan diri. Sebut saja Airlangga Hartarto. Selama ini, Airlangga sangat menjaga penampilan di publik. Di luar posisi sebagai ketua umum Partai Golkar, Airlangga menjauhkan diri dari penampakan yang “tak lazim” yang bisa saja dituduh sebagai kampanye dini. Padahal, nama-nama lain yang menduduki puncak klasemen dalam survei, lumayan luas beredar di luar garis tugas. Kehadiran pendukung nama-nama lain juga masif, bahkan deklarasi berlangsung di banyak daerah.

Jika kehadiran dalam area publik ini tak dilakukan, bagaimana bisa Airlangga meningkatkan elektabilitas menurut lembaga survei? Artinya, kemunculan Airlangga Hartarto di luar tugas-tugas kenegaraan ini, juga bagian dari hukum supply and demand dalam dunia politik. Publik bisa melakukan penilaian, bukan saja kemampuan Airlangga di bidang ekonomi, tetapi dalam tugas-tugas kenegaraan yang terkait dengan urusan pemerintahan pusat tadi. Tanpa memberikan kesempatan kepada Airlangga untuk “keluar” dari tugas-tugas yang diemban selama ini, tentu tidak “adil” rasanya. [ ]

*Fungsionaris Partai Golkar Provinsi Jakarta

Back to top button