Kanal

Memperkuat Politik Kenegaraan

Pertama-tama saya ingin membedakan antara politik kekuasaan, politik pemerintahan, dan politik kenegaraan. Yang pertama adalah yang hari-hari ini sering kita saksikan perdebatannya di televisi dan media sosial. Partai-partai politik bertarung untuk menyorongkan kandidat masing-masing, kadang disertai ide dan program, kadang dihiasi ‘gimmick’ untuk memancing perhatian publik. Tujuan utamanya adalah berkuasa di Republik ini. Menjelang pemilu, nuansa kompetisinya menguat, bahkan saling menegasikan satu sama lain. Logika yang dipakai adalah ‘us vs them’, kami lawan mereka, karena kami yang baik dan mereka tidak.

Dalam praktek politik kekuasaan, barangkali terlalu naif mengandaikan ‘persatuan’ atau ‘kolaborasi’ di antara aktor-aktornya. Karena ‘koalisi’ sekalipun biasanya hanya didasarkan kepada negosiasi kepentingan antar partai, siapa dapat apa, siapa nomor satu dan siapa nomor dua. Kalau pun ada yang mengklaim dipersatukan oleh kesamaan ideologi atau fatsun politik, biasanya itu hanya jualan untuk mendapat simpati pemilih. Sejatinya agregasi kekuasaan cuma melahirkan konsensus, kesepakatan-kesepakatan, di antara mereka yang menginginkan kekuasaan itu.

Yang kedua adalah politik pemerintahan. Yakni relasi antar pemegang otoritas dalam pemerintahan, sebagaimana diatur oleh konstitusi. Kepala pemerintahan adalah presiden, dibantu sejumlah menteri di kabinet, juga pimpinan lembaga-lembaga tinggi negara. Secara vertikal, dia turun ke level kepala daerah dengan para pembantunya. Politik pemerintahan adalah soal posisi dan jabatan, pembagian tugas pemerintahan, sistem relasi dan sistem kuasanya, siapa bertanggung jawab kepada siapa sesuai amanat undang-undang.

Tumpang tindih kuasa

Tentang dua hal ini, ‘politik kekuasaan’ dan ‘politik pemerintahan’, memang seringkali terasa ambigu. Karena kepala pemerintahan dihasilkan oleh proses politik kekuasaan, maka para pembantunya berasal dari aktor-aktor politik kekuasaan pula. Di negara yang menganut sistem multipartai seperti Indonesia, hal ini menjadi persoalan tersendiri. Pejabat pemerintahan seringkali adalah ‘political appointee’ dari partai politik.

Bagi pejabat pemerintahan yang berasal dari partai politik itu, urusan pemerintah kadang ‘overlapping’ dengan urusan partai politik. Kebijakan yang seharusnya dibuat taat kepada konstitusi semata, harus di-’engineering’ untuk sekaligus juga menguntungkan partai politik–mengikuti aturan partai. Di sinilah biasanya bibit-bibit praktek korupsi terjadi. Seperti terakhir kita lihat secara terang benderang, menteri-menteri dari partai koalisi pemerintahan terjebak kasus korupsi. Edhy Prabowo dari Gerindra, Juliari Batubara dari PDIP, Imam Nahrawi dari PKB, Idrus Marham dari Golkar, dan terakhir Johnny G. Plate dari Nasdem.

Demikianlah, saat ini kita melihat kerancuan-kerancuan ini. Tumpang tindih kepentingan antara politik kekuasaan dan politik pemerintahan. Banyaknya pimpinan partai politik di kabinet pemerintahan kadang membuat publik merasa bingung apakah langkah dan kebijakannya sebagai aktor pemerintah atau sebagai aktor politik kekuasaan (partai)? Meminjam istilah Bung Hatta, ada problem ‘integritas pribadi’ di kalangan para pemangku kepentingan yang berasal dari aktor-aktor politik itu.

Menjelang pemilu, situasinya makin rancu lagi. Publik kian dibuat bingung oleh langkah menteri-menteri pembantu presiden. Bahkan mungkin oleh presiden sendiri. Pasalnya sederhana, karena kadang-kadang sulit membedakan mana langkah politik kekuasaan dan mana peran mereka sebagai aktor pemerintah. Apalagi banyak menteri yang membantu Presiden Jokowi adalah Ketua Umum partai politik. Ada Menko Perekonomian Airlangga Hartarto (Ketum Golkar), Menhan Prabowo Subianto (Ketum Gerindra), dan Mendag Zulkifli Hasan (Ketum PAN). Mereka adalah aktor politik pemerintahan sekaligus aktor politik kekuasaan.

Di tataran ideal politik, kita mengandaikan ada aktor politik kekuasaan yang saat diberi mandat menjadi pejabat pemerintahan bisa dengan sadar membedakan peran dan fungsinya. Kapan harus berganti jaket dan baju, sebagai menteri atau sebagai ketua partai, sebagai presiden yang kepala pemerintahan atau sebagai bagian dari politik kekuasaan?

Namun, dalam ‘realpolitik’, memang sulit secara sempurna berpindah-pindah peran itu. Keduanya berjalan secara paralel dan simultan. Jokowi yang memimpin dan membina kelompok relawan adalah Jokowi yang sama yang Presiden Indonesia. Prabowo yang pembantu Jokowi di kabinet adalah Prabowo yang sama yang sedang didorong partainya menjadi calon presiden 2024 mendatang. Rumit memang.

Di sinilah semestinya etika politik bekerja. Zulkifli Hasan dan Airlangga Hartarto bisa menjadi contoh bagaimana mereka menempatkan perannya sebagai ‘pembantu presiden’. Sikap mereka yang ‘menunggu’ Presiden Jokowi, meski banyak mendapat kritik, sebenarnya adalah sikap yang tepat. Sebagai menteri yang membantu presiden, mereka harus taat pada konstitusi dan hanya mengikuti ‘arahan’ presiden–bukan yang lain.

Sebagai ketua umum partai politik, sebenarnya mereka bisa bermanuver mengumumkan capres segera, tetapi mereka menunggu waktu sampai tahapan pemilu dimulai nanti–barangkali. Apalagi Jokowi pun, sebagai aktor politik kekuasaan, belum mengumumkan siapa yang ia dukung secara resmi. Semua ada tahapannya sebagaimana telah disepakati dalam undang-undang. Sekurang-kurangnya sikap KIB sampai hari ini masih ‘clear’. Tidak ‘grusa-grusu’ seperti keinginan Jokowi yang menjadi fatsunnya.

Jalan politik negara

Dalam bukunya berjudul ‘Il Principe’, filsuf Italia Niccolò Machiavelli memberikan nasihat menarik untuk para politisi di dunia nyata (realpolitik). Katanya, sekurang-kurangnya jadilah rubah (fox). Hewan yang lincah dan cerdik memainkan karakter-karakter, kadang terkesan licik, tetapi tidak memangsa. Jangan menjadi serigala (wolf), yang sudah licik, memangsa pula. Kata Machiavelli, batasan inilah yang membedakan politik busuk dengan politik cerdik. Di Indonesia, apakah kita lebih sering menemui praktek politik seperti rubah atau seperti serigala? Kalau kita melihat partai yang senang ancam-mengancam, injak-menginjak, pamer kekuasaan untuk menunjukkan siapa yang paling kuat, kita bisa menilai sendiri karakternya.

Agar tidak menjadi serigala, ada baiknya kita memahami jenis politik ketiga, politik kenegaraan. Yakni upaya mengelola kekuasaan untuk kepentingan negara, kepentingan rakyat, digerakkan oleh moralitas tertinggi atau kata Aristoteles, ‘the highest virtue’. Para pendiri bangsa ini adalah contoh mereka yang berpolitik dengan ‘engine’ moralitas dan falsafah bernegara. Tidak ada kepentingan pribadi dan golongan, tidak dalam rangka memperoleh jabatan tertentu dalam pemerintahan, aktor politik negara bergerak dengan kehendak dan mandat rakyat.

Kita berharap para aktor politik hari ini juga berpikir dan bertindak sebagai negarawan. Bukan sekadar sebagai ‘pemilik partai’ atau ‘petugas partai’, bukan pula semata selaku ‘yang sedang memerintah’. Pikiran dan tindakan negara adalah jalan politik yang tertinggi. Di sana hanya ada kehendak rakyat, cita-cita rakyat, kepentingan rakyat. Aktor politik negara adalah mereka yang mengikuti suara dan hati nurani rakyat. Apapun pertaruhannya. Politik negara seharusnya berada di atas politik pemerintahan, apalagi politik kekuasaan.

Sejarah sudah mengajarkan kepada kita gagalnya melihat sekat-sekat politik kekuasaan, pemerintahan, dan kenegaraan ini membawa kita kepada kekacauan. Semua transisi kekuasaan yang membawa ‘chaos’ diawali oleh kerancuan-kerancuan semacam ini. Soekarno dengan PNI dan PKI, Soeharto dengan Golkar, dan seterusnya. Hari-hari ini kita mulai melihat gejalanya menjelang Pilpres 2024.

Kegaduhan dan kerancuan politik terjadi karena para pihak tidak bisa membedakan perannya masing-masing. PDIP cenderung melihat Jokowi hanya sebagai ‘petugas partai’-nya, padahal Jokowi adalah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Ada marwah pemerintah dan negara pada dirinya. Bukan semata aktor politik kekuasaan. Kita berharap yang lain juga memperlakukan dan diperlakukan secara proporsional, kapan sebagai aktor politik kekuasaan, kapan sebagai aktor politik pemerintahan, dan kapan harus ditempatkan sebagai aktor politik negara.

Sebagai tokoh politik yang berhasil dan berpengaruh, Jokowi punya relawan yang militan. ‘Pejah gesang nderek Pak Jokowi’, kata mereka. Sebagai kepala pemerintahan, ia pemimpin kabinet Indonesia Maju. Sebagai aktor negara, Jokowi adalah Kepala Negara, Presiden Republik Indonesia. Jokowi adalah contoh yang sempurna sebagai aktor yang menjalankan tiga peran politik sekaligus. Tidak mudah, memang. Kita perlu memahami dilema-dilema yang dihadapinya. Semoga beliau juga bisa melihat dilema-dilema yang dihadapi para pembantunya di kabinet, yang sekaligus rekan-rekan koalisinya.

Yang harus kita hindari adalah jika ada pihak yang mencampuradukkan semua peran itu sekaligus. Seolah berkuasa di segala lini dan bisa menentukan segalanya. Karena kekuasaan sebenarnya cenderung pada penyelewengan, dan kekuasaan yang absolut akan membawa kepada penyelewengan yang absolut pula. Seperti kata Lord Acton, “Power tends to corrupt, absolute power corrupts absolutely.”

Semoga Tuhan senantiasa membimbing bangsa yang kita cintai ini, termasuk para pemimpinnya.

Tabik!

FAHD PAHDEPIE, CEO Inilahcom

Back to top button