Market

Masuk Tahun Naga Kayu, Industri Sawit Nasional Hadapi Tantangan Berat


Tahun 2024 yang bershio naga kayu, industri sawit di tanah air dibayang-bayangi banyak masalah. Mulai perekonomian global yang semakin suram. Ditambah, perluan minor Uni Eropa terhadap produk sawit dari Indonesia.

Direktur Palmoil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung menyampaikan, tantangan yang dihadapi industri sawit nasional bakal semakin banyak dan berat. Sukses melewati masa pandemi COVID-19, industri sawit nasional harus menghadapi memburuknya perekonomian global, geoplotik serta UU Anti Deforestasi dari Uni Eropa atau  European Union Deforestation Regulation (EUDR).

“Perekonomian dunia sedang tidak baik-baik saja. Ini jelas berdampak kepada industri sawit nasional. Trennya memang menurun. Velum lagi soal geopolitik di dua lokasi Ukraina, dan Rusia. Ancaman masih tinggi, karena middle east ini membawa ancaman. Sebesar 30 persen kontainer banyak melalui laut merah. Kalau terganggu dampaknya luar biasa. Tantang lain, EU deforestasi,” kata Tungkot dalam acara Rumh Sawit Indonesia (RSI), Rabu (10/4/2024).

Meski berat, Tungkot menyebut adanya kabar baik sepanjang 2023. Di mana, industri sawit masih menunjukkan kekuatannya untuk bertahan di tengah beratnya tantangan global. Di mana, kontribusi industri sawit terhadap devisa negara masih signifikan.

Ya, Tungkot betul. Pada 2023, devisa ekspor sawit Indonesia diperkirakan mencapai US$31 miliar. Atau setara Rp465 triliun (kurs Rp15.000/US$), Serta penghematan devisa karena mengurangi ketergantungan impor minyak senilai US$10,5 miliar (Rp157,5 triliun). Artinya, industri sawit menyumbang kepada perekonomian Indonesia sekitar US$ 41 miliar sampai US$42 miliar.

“Ternyata industri sawit masih menunjukkan ketahanannya, bahkan masih bisa bertumbuh meskipun tidak terlalu besar, baik itu produksi maupun konsumsi. Begitu besar risiko pada 2023, tetapi masih bisa survive bertumbuh di tengah ancaman resesi ekonomi dunia,” tambahnya.

Sementara, Ketua Umum Rumah Sawit Indonesia (Ketum RSI), Kacuk Sumarto mengatakan, saat ini, tantangan yang dihadapi industri sawit adalah tingginya biaya produksi. Bahkan melebiihi biaya pupuk dan upah pekerja.

“Upah pada waktu itu (2010) itu di Sumatera Utara masih Rp 1,3 juta, sekarang sudah hampir Rp 4,5 juta. Pupuk waktu itu Rp 2.700, tahun lalu, bahkan Rp 8.500, Rp 9.000 sampai Rp 11.000. Padahal harga jual Rp 8.500 sampai Rp 11.000 per kg,” ujar dia.

Kacuk mengatakan, jika hal itu terus terjadi dia khawatir pendapatan akan sama dengan biaya produksi. “Ini jika tidak ada perubahan dan terobosan dalam waktu dekat maka pendapatan sama dengan biaya,” pungkasnya.

Back to top button