Ototekno

LFP vs Nikel: Mana yang Jadi Masa Depan Baterai Kendaraan Listrik?


Di tengah meningkatnya kesadaran lingkungan dan keberlanjutan, baterai Lithium Ferro-Phosphate (LFP) muncul sebagai alternatif yang menjanjikan dalam teknologi kendaraan listrik. Baterai ini, yang menggunakan bahan baku besi dan fosfat, menawarkan solusi ramah lingkungan dibandingkan dengan baterai yang mengandalkan nikel, seperti Lithium Nickel Manganese Cobalt Oxide (NMC) atau Lithium Nickel Cobalt Aluminium Oxide (NCA).

Menurut Pakar otomotif dan akademikus dari Institut Teknologi Bandung, Yannes Martinus Pasaribu, baterai LFP naik daun karena keunggulannya dalam biaya, keamanan, dan umur pemakaian. 

“Teknologi ini terlepas dari penambangan material yang sering dikaitkan dengan masalah etika dan lingkungan,” jelasnya dalam keterangannya, Selasa (23/1/2024).

Baterai NMC, yang populer karena kapasitas energi dan tegangan tingginya, mulai mendapat saingan serius dari LFP. Pabrikan otomotif asal Cina, BYD Auto Co Ltd, telah melakukan penggunaan LFP sejak 2010, memilih bijih besi dan fosfat yang lebih mudah ditemukan dan lebih stabil pada suhu tinggi.

Perdebatan mengenai LFP dan NMC juga mencuat dalam debat politik, seperti yang terjadi dalam sesi debat calon wakil presiden Indonesia akhir pekan lalu. Gibran Rakabuming Raka, salah satu calon, menyinggung penggunaan nikel dalam baterai Tesla, menyoroti posisi Indonesia sebagai negara yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia.

Namun, Tesla, milik Elon Musk yang dikenal sebagai pelopor dalam industri kendaraan listrik, telah beralih ke LFP khusus di negeri China yang diproduksi oleh Contemporary Amperex Technology Co Limited (CATL) sejak 2020. Perubahan ini diharapkan dapat menurunkan harga mobil Tesla, menjadikannya lebih terjangkau.

Di Indonesia, CATL berkolaborasi dengan PT Industri Baterai Indonesia dan LG Energy Solution Ltd, menandai investasi signifikan dalam ekosistem baterai kendaraan listrik di negara ini.

Pertamina Energi Outlook 2022 menunjukkan bahwa meskipun LFP memiliki densitas energi yang lebih rendah dibandingkan NMC, baterai ini lebih toleran terhadap kondisi pengisian yang berkepanjangan dan memiliki risiko ledakan yang lebih rendah. Hal ini menjadikan LFP pilihan yang lebih aman dan lebih ramah lingkungan.

Dari segi ekonomi, LFP menawarkan harga yang lebih kompetitif, membuatnya cocok untuk kendaraan listrik low cost. Di Indonesia, Wuling Air EV, yang masuk segmen Rp 100-200 juta, menjadi contoh penggunaan LFP yang efektif.

Perbedaan Baterai LFP dan NMC

post-cover

Mari kita telusuri lebih dalam perbedaan dan potensi kedua jenis baterai ini dalam konteks industri otomotif global dan khususnya di Indonesia.

Umur Baterai: LFP unggul dalam hal umur pemakaian. Baterai jenis ini mengalami degradasi lebih lambat dibandingkan NMC, yang berarti LFP dapat menyimpan dan melepaskan daya lebih banyak dalam jangka waktu yang lebih panjang. 

Keamanan: Aspek keamanan menjadi prioritas utama konsumen saat memilih Mobil Listrik (EV). LFP menawarkan kestabilan kimia yang lebih tinggi, bahkan pada suhu yang lebih tinggi, dibandingkan NMC. Ini membuat LFP kurang rentan terhadap risiko kebakaran dan lebih aman bagi pengguna.

Toleransi Suhu: LFP memiliki kemampuan operasi pada rentang suhu yang lebih luas, dari -4.4 hingga 70 derajat Celsius. Hal ini menjadikannya pilihan yang lebih cocok untuk kondisi iklim di Indonesia, yang cenderung bervariasi. Sementara NCA/NMC lebih baik untuk ketahanan suhu rendah.

Siklus Hidup: Baterai LFP memiliki siklus hidup yang lebih panjang, dengan kemampuan pengisian ulang lebih dari 3000 kali, dan bahkan bisa mencapai 6000 kali jika digunakan dengan tepat. Ini menunjukkan durabilitas yang lebih baik dibandingkan NMC yang rata-rata memiliki siklus hidup sekitar 800 kali.

Ramah Lingkungan: LFP lebih ramah lingkungan dibandingkan NMC. Cobalt dan Nikel, yang digunakan dalam NMC, adalah zat beracun yang berdampak negatif terhadap lingkungan. Sebaliknya, bahan baku LFP kurang toksik dan memiliki dampak lingkungan yang minimal.

Meski begitu dengan produksi nikel global yang mencapai 3,3 juta metrik ton hingga 2022, dan Indonesia sebagai kontributor utama, pertanyaan tentang masa depan nikel tetap relevan dan dibutuhkan khususnya untuk sektor energy storage yang membutuhkan banyak daya. Namun, dengan keunggulan LFP, produsen kendaraan mulai mencari alternatif yang lebih berkelanjutan.

Back to top button