Hangout

Kultural dan Struktural Kasus Bully di Binus Serpong


Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim melihat ada dua persoalan fundamental yang menyebabkan terjadinya bullying atau perundungan di SMA Binus International School Serpong.

Pertama, peristiwa bullying yang diduga melibatkan putra seorang selebriti Vincent Rompies kental dengan permasalahan kultural. Di mana, aksi kekerasan yang dilakukan di sekolah tersebut sudah menjadi sebuah tradisi.

“Nah bahwa kekerasan itu kemudian direproduksi oleh korban yang kemudian dia bisa juga menjadi pelaku,” kata Satriwan kepada Inilah.com, Rabu (21/2/2024).

Satriwan menambahkan, biasanya kekerasan di sekolah terjadi ketika anak atau kelompok yang menjadi pelaku, sebelumnya pernah menjadi korban dari perilaku perundungan dari seniornya.

“Ketika dia sudah merasa kuat secara senioritas, termasuk dengan kelompoknya, sudah kuat kemudian senioritasnya semakin tinggi misalnya jenjang bangku sekolahnya semakin tinggi gitu kan ada rasa percaya diri untuk menjadi pelaku gitu karena ada unsur balas dendam ada unsur untuk menunjukkan eksistensi mereka sebagainya,” sambung dia.

Selain itu, Salim melihat berbagai kasus bullying yang pernah terjadi di lingkungan sekolah juga melibatkan figur-figur alumni atau intervensi dari kakak kelas.

Lewat hal semacam itu, kata dia, celah untuk mewariskan perilaku kekerasan atau perundungan tentu terbuka lebar.

“Maka dari itu akses anak-anak ini ke alumni, ke kelas, atau ke senior, itu mesti dibimbing atau didampingi. Dalam artian jika ada kegiatan-kegiatan sekolah baik yang formal maupun non formal kegiatan murid maksud saya itu tentu harus didampingi oleh guru tidak bisa dilepaskan begitu saja,” ungkapnya.

Sementara, aspek fundamental kedua yang menyebabkan terjadinya bullying di sekolah tak lepas dari persoalan struktural.

Salim berpendapat bahwa implementasi dari Permendikbudristek nomor 46 tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan belum sepenuhnya dijalankan di sekolah internasional tersebut.

“Kalau sudah dilaksanakan tentunya sekolah memiliki tim pencegahan dan penanganan kekerasan mestinya alias TPPK. Bahkan saya rasa belum terinformasikan secara memadai ya kepada guru-guru, kemudian sekolah murid, orang tua, maupun nyayasan Ini tentu sangat kita sayangkan,” kata dia.

Lantas dengan kondisi demikian, Salim mendorong agar pihak berwenang untuk mengusut tuntas kasus tersebut dan memeriksa apakah sekolah yang bersangkutan sudah mengimplementasikan regulasi tersebut.

Satriwan juga meminta agar dilakukannya investigasi dari pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), Dinas Pendidikan setempat, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan tim independen.

Back to top button