Kanal

Konflik Jokowi-Megawati: Abadi atau Rekonsiliasi?


Keduanya berada di rumah besar yang sama yakni PDIP, barang tentu konflik itu sebuah ironi.

Perseteruan alias konflik antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Megawati Soekarnoputri yang mencuat pada tahun 2023 tak dimungkiri bagaikan drama yang menarik perhatian banyak pihak, dari politikus hingga kalangan akar rumput. Pasalnya, konflik di antara keduanya memberikan warna dan dampak cukup signifikan terhadap dinamika perpolitikan di Tanah Air menuju Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.

Jokowi dan Megawati sejatinya berada di rumah besar yang sama yaitu PDIP. Oleh karena itu, konflik itu sebuah ironi. Mengingat relasi politik Megawati-Jokowi selama lebih dari satu dekade terakhir sudah menghadirkan sebuah simbiosis mutualisme atau hubungan saling menguntungkan di antara keduanya.

Tanpa Megawati dan PDIP, Jokowi mungkin tak akan muncul sebagai wali kota Solo, gubernur DKI Jakarta hingga presiden dua periode. Di sisi lain, PDIP dan Megawati juga sangat terbantu kehadiran sosok Jokowi. Sebab, seiring kesuksesan Jokowi di pilpres, PDIP memenangi Pemilu 2014 dan 2019. Sementara, sosok Megawati yang mengalami dua kali kekalahan di Pilpres 2004 dan 2009 kembali menunjukkan taringnya dalam memimpin sebuah partai besar.

Namun, arah politik yang berbeda terkait Pilpres 2024 diduga kuat menjadi pemicu keduanya tak lagi sejalan. Faktor terbesar akibat Jokowi lebih memilih mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden (capres) berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka.

Gibran sendiri merupakan putra sulung Jokowi. Dengan kata lain, melangkahnya Gibran menjadi cawapres Prabowo direstui Jokowi. Langkah mulus Gibran mendampingi Prabowo dinilai juga tak lepas dari  karpet merah yang diberikan Mahkahmah Konstitusi (MK) saat dipimpin Anwar Usman, adik ipar Jokowi sekaligus paman dari Gibran, yang mengabulkan gugatan uji materi terkait usia minimal capres-cawapres di Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Alhasil, Gibran bisa diusung sebagai cawapres lantaran punya pengalaman sebagai kepala daerah yaitu wali  kota Solo meski belum berusia 40 tahun.

Padahal, sebagai kader PDIP, Jokowi seharusnya tegak lurus mendukung pasangan capres-cawapres yang diusung partainya yaitu Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Terlebih, sebelum Gibran, anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep juga menempati kursi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Perseteruan antara Jokowi dan Megawati diakui oleh petinggi salah satu partai politik anggota koalisi pendukung capres-cawapres Prabowo-Gibran. Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Bulan Bintang (PBB) sekaligus Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, Afriansyah Noor tak menampik hubungan Jokowi-Megawati merenggang. Ia menyebut, ada beberapa pemicu,  antaranya menyangkut Gibran menjadi cawapres pendamping Prabowo.

“Menimbulkan konflik yang lumayan sedikit terasa oleh Ibu Mega dan PDIP. Kita lihat dari pernyataan-pernyataan PDIP dan ibu Mega sendiri,” kata Afriansyah kepada Inilah.com, Jumat (22/12/2023).

Meski begitu, pihak Jokowi sebelumnya sudah membantah adanya perseteruan dengan Megawati.  Hal ini terlontar dari Koordinator Staf Khusus Presiden, Ari Dwipayana pada Jumat (2/12/2023). Dia  menyebut hubungan Jokowi dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri tak bermasalah.

“Baik-baik saja,”  kata Ari.

Ari enggan menanggapi adanya pernyataan Megawati yang menyudutkan pemerintahan Presiden Jokowi.

Sebelum Ari mengemukakan bantahan tersebut, Jokowi lebih dulu menyebut dirinya tidak terlibat konflik dengan Megawati. Pernyataan mengenai hal itu diungkapkan Jokowi pada Oktober 2023.

“Baik-baik saja,” kata Jokowi.

post-cover

Bantahan adanya konflik Jokowi dan Megawati juga terlontar dari PDIP melalui sang Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto sejak Mei 2023 lalu. Hasto mengatakan, hubungan antara kedua tokoh itu sudah lama terjalin. Bahkan, Hasto berani menyebut Jokowi sudah menganggap Megawati Soekarnoputri seperti ibunya sendiri.

Hasto mengungkapkan, hubungan telah terjalin sejak Jokowi terpilih sebagai Wali Kota Solo selama dua periode. “Sehingga, di dalam hubungan yang sudah dimatangkan sejak beliau (Jokowi) menjadi wali kota, gubernur dan kemudian menjadi presiden dua periode. Itu hubungan yang sangat dalam,” ujar Hasto.

Politikus PDIP Aria Bima menyebut hubungan Jokowi-Megawati biasa-biasa saja. Ia mengibaratkan, relasi keduanya bagaikan ibu dan anak. Namun, dunia politik Tanah Air maupun publik kadung menangkap ada yang tidak beres antara Jokowi dan Megawati. Sebab, aksi saling serang dari kedua belah pihak menyeruak melalui pernyataan-pernyataan yang menyudutkan maupun membongkar apa yang selama ini tak diketahui publik.

Salah satunya pernyataan Wakil Ketua Tim Koordinasi Relawan Pemenangan Pilpres (TKRPP) PDIP Adian Napitulu pada Rabu (25/10/2023). Dia menyebut, tak sejalannya Jokowi dengan Megawati maupun PDIP bermula dari permintaan perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode. Namun, ujar Adian, permintaan Jokowi itu ditolak. Sebab, menurut dia, PDIP menjaga konstitusi.

Adian pun menyesalkan perubahan Jokowi yang begitu cepat terhadap PDIP. Padahal, partai banteng moncong putih itu sudah memberi segalanya untuk Jokowi dan keluarganya.

Pernyataan itu Adian barang tentu langsung ditepis kubu Jokowi. Salah satunya terlontar dari Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) partai Golkar, Muhammad Suryawijaya. Dia  memastikan, Presiden Jokowi tak pernah memberikan arahan untuk memperpanjang periode kepemimpinannya menjadi tiga periode. Surya menuturkan bahwa selama ini Presiden Jokowi selalu menyampaikan  tegak lurus pada konstitusi.

Akan tetapi, bak bola salju yang terus membesar, kekecewaan Megawati dan PDIP itu tampak juga mencuat dari langkah  capres-cawapres Ganjar Pranowo-Mahfud MD. Duet yang diusung oleh PDIP dan tiga partai politik lainnya itu mengambil sikap berlawanan dengan Jokowi yang notabene berada di kubu capres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Ganjar-Mahfud kerap secara terbuka menyerang kebijakan pemerintahan Presiden Jokowi.

Secara bersamaan, kubu Ganjar-Mahfud juga mengungkapkan adanya intimidasi terhadap orang-orang yang mendukung mereka, dugaan kecurangan Pemilu 2024 hingga pencopotan baliho Ganjar-Mahfud di daerah.
Kendati begitu, strategi menyerang kebijakan Presiden Jokowi justru memunculkan blunder atau merugikan lantaran membuat elektabilitas atau tingkat keterpilihan Ganjar-Mahfud merosot.

Peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA, Ardian Sopa mengatakan, penurunan elektabilitas Ganjar-Mahfud antara lain memang dipicu sikap Ganjar-Mahfud mengkritisi Presiden Jokowi, mulai dari isu dinasti hingga neo Orde Baru.

Sementara, Survei Litbang Kompas, menyatakan penurunan elektabilitas Ganjar-Mahfud antara lain tak bisa dilepaskan dari perpindahan dukungan bekas pemilih Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pilpres 2019. Padahal, pada Agustus 2023, mereka sebagian besar masih memilih Ganjar. Namun, kini pemilih Jokowi-Ma’ruf mayoritas memilih Prabowo.

Menyadari hal itu, kubu Ganjar-Mahfud pun mengubah strategi kampanye dengan berbalik cenderung lembut menyikapi kebijakan Presiden Jokowi. Narasi bahwa Ganjar-Mahfud merupakan paling mirip dengan Jokowi pun digulirkan.

Kendati demikian, perseteruan Jokowi-Megawati diduga kuat belum reda.

Faktor Prabowo

Dalam pandangan, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, perseteruan antara kedua tokoh itu sebenarnya tak terlepas dari kekeliruan Megawati membaca karakter Jokowi yang ambisius menyangkut kekuasaan. Oleh karena itu, ketika Megawati mencoba mengendalikan hasrat kekuasaan tersebut, Jokowi melawan.

Hal ini, kata Dedi, menjadi pertarungan mematikan bagi PDIP. Sebab, harus diakui mampu membawa gerbong elektoral tersendiri. “Itu bisa berimbas pada hilangnya sebagian kekuatan PDIP,” kata Dedi kepada Inilah.com.

Menurut Dedi, Jokowi sejak awal memang terlihat ingin dilibatkan dalam pengusungan capres PDIP. Indikasi ini disebut mengemuka setelah gagalnya manuver Jokowi mengupayakan perubahan batasan periode jabatan presiden maupun perpanjangan masa jabatan presiden.

Dedi menilai, internal PDIP berpotensi terpecah. Namun, perdamaian antara Jokowi-Megawati kemungkinan bakal terjadi usai Pilpres 2024. Terutama, ujar Dedi melanjutkan, apabila capres-cawapres Prabowo-Gibran yang didukung Jokowi memenangi Pilpres 2024.  “Tetapi, jika Prabowo kalah, maka keretakan relasi Jokowi-Megawati bisa saja terus berlanjut,” ujar Dedi.

Afriansyah Noor turut mengemukakan prediksi hampir senada. Ia mengaku tak bisa memprediksi apakah perseteruan antara Jokowi dan Megawati akan terus membesar atau reda. Akan tetapi, dia berpandangan, Jokowi dan Megawati akan kembali rukun apabila Prabowo-Gibran menjadi presiden. Sebab, Prabowo-Gibran disebut bakal menggandeng seluruh kekuatan politik untuk membangun negara jika sukses terpilih sebagai presiden-wakil presiden.

Terlebih, ujar Afriansyah menambahkan, Megawati dan PDIP pernah memiliki hubungan baik dengan Prabowo Subianto.”Ya ini namanya politik. Bisa bermusuhan sebentar, kembali berkawan untuk kepentingan yang lebih besar.” [Dha/Diana Rizky/Vonita Betalia)
 

Back to top button