Market

Keran Ekspor Sudah Dibuka, Lonceng Kematian Petani Sawit Masih Mengancam

Sungguh miris nasib para petani kelapa sawit di Indomesia. Setelah dibukanya kembali keran ekspor minyak sawit mentah (CPO), malah petani belum bisa lepas dari penderitaan. Nasib jutaan petani sawit di daerah-daerah semakin merana mengingat harga tandan buah segar (TBS) sawit yang terus anjlok.

Seperti diketahui, harga TBS sawit saat ini masih mengalami penurunan, bahkan tertinggi sejak pelarangan ekspor yaitu mencapai 69,98 persen dari harga penetapan Dinas Perkebunan. Data posko di 22 provinsi Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) rata-rata harga TBS dari Aceh sampai Papua per 25 Juni 2022 berada di angka Rp800 per kg.

Untuk kelompok pekebun yang bermitra tidak jauh beda, saat ini berada pada angka Rp1.100 per kg atau 51 persen di bawah harga penetapan Dinas Perkebunan. Provinsi Bengkulu merupakan yang paling parah terdampak, yaitu Rp650 per kg untuk TBS petani swadaya mandiri, atau 18,75 persen di bawah rata-rata harga TBS di 22 provinsi.

Apabila merujuk harga domestik yang mengacu pada lelang PT Kharisma Pemasaran Bersama (KPB) ditambah kewajiban domestic market obligation (DMO) 16,7 persen, maka harga CPO seharusnya berada di Rp10.780 per kg.

Jika harga domestik sebesar itu maka logikanya harga keekonomian TBS petani (dengan rendemen 20 persen) semestinya sudah berada di atas Rp2.000 per kg tergantung daerahnya atau rata-rata Rp2.156 per kg. Tetapi ternyata harga di lapangan berada di bawah Rp1.500, bahkan di banyak daerah sudah terjun bebas di kisaran Rp400 hingga Rp1.000 per kg TBS.

Artinya melihat harga ini, harga sawit yang menjadi produksi petani terpangkas hingga 80 persen. Sementara perusahaan sawit besar, tidak merasakan dampak serupa jika mereka memiliki pabrik kelapa sawit (PKS) atau memiliki usaha yang terintegrasi dari kebun sawit hingga PKS-pabrik minyak goreng, atau ekspor.

“Ini sudah gawat-darurat, sudah siaga penuh, kita berpacu dengan waktu, lonceng kematian petani sawit Indonesia sudah di depan mata,” ujar Gulat Manurung, Ketua Umum Apkasindo, Senin (27/6/2022).

Ada ratusan pabrik kelapa sawit yang saat ini buka tutup operasional. Dari 1.118 unit pabrik sawit diperkirakan 58 pabrik tutup total beroperasi, sedangkan 114 unit pabrik sawit buka tutup.

Dampak Larangan Ekspor CPO

Dalam kebijakan terkait CPO dan turunannya ini, termasuk minyak goreng, pemerintah telah melakukan tutup buka keran ekspor CPO. Pertimbangannya tentu saja untuk mendapatkan harga minyak goreng sesuai Harga Eceran Tertinggi (HET) yakni Rp14.000 per liter atau Rp15.500 per kilogram. Sekaligus kebijakan itu mempertimbangkan adanya 17 juta orang tenaga di industri sawit baik petani, pekerja, dan juga tenaga pendukung lainnya.

Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) merilis, harga TBS saat ini akibat efek domino penutupan pintu ekspor CPO dan turunannya pada 28 April-22 Mei 2022, turun ke bawah Rp1.000 per kg. Per 26 Juni 2022, harga TBS di 10 provinsi wilayah anggota SPKS berkisar Rp500 hingga Rp1.070 per kg.

“Harga TBS petani sawit swadaya seluruh Indonesia dalam sepekan terakhir turun Rp100 hingga Rp200 per kg setiap hari,” kata Sabaruddin, Ketua Bidang organisasi dan Anggota SPKS.

Petani mengalami kerugian sekitar Rp1.500.000 hingga Rp2.000.000 per hektare per bulan. Sementara untuk kerugian petani sawit seluruh Indonesia dari bulan April-Juni ini sudah ada sekitar Rp50 triliun. Seharusnya, menurut SPKS, dengan harga CPO saat ini harga TBS petani sawit di tingkat petani sawit sudah di atas rata-rata Rp2.500 per kg.

Parahnya lagi, beberapa petani sawit kesulitan menjual TSB karena perusahaan membatasi pembelian, bahkan tutup. Dengan alasan tangki penuh karena kesulitan ekspor.

Kebijakan untuk menormalkan harga minyak goreng dinilai juga telah merugikan petani sawit seluruh Indonesia. Para petani ini minta pemerintah sekarang mempercepat dan mempermudah ekspor CPO agar harga TBS bisa cepat normal. Juga perlu dimaksimalkan pengawasan di pabrik-pabrik kelapa sawit yang beralasan tangkinya penuh supaya petani tidak menjadi korban.

Ekspor Belum Maksimal

Setelah dibukanya keran ekspor, Kementerian Perdagangan mencatat realisasi ekspor minyak sawit mentah atau CPO pada saat ini baru 1,2 juta ton dari total kuota ekspor sebesar 3,4 juta ton.

“Ada beberapa kendala terkait realisasi ekspor ini sehingga masih baru terealisasi kurang lebih 50 persen. Kenapa masih lambat karena ada alasan-alasan eksternal,” ujar Oke Nurwan, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Selasa (28/6/2022), tanpa merinci lebih lanjut penyebabnya.

Saat ini sudah ada 505 persetujuan ekspor (PE) yang diterbitkan dari total 958 PE yang akan diberikan. Ada dua skema ekspor CPO, pertama skema domestic market obligation (DMO) lewat SIMIRAH yang DMO-nya sudah tersalurkan 450.000 ton ke distributor minyak goreng.

SIMIRAH atau Sistem Informasi Minyak Goreng Curah merupakan sistem dan aplikasi yang dikembangkan oleh pemerintah untuk memetakan rantai distribusi dan harga minyak goreng.

Sementara itu, dalam skema kedua yakni flush out (FO), total ada 1,16 juta ton kuota ekspornya tetapi baru terealisasi 40 persen. Artinya, ada program transisi SIMIRAH 1 yang total kuota ekspornya 2,2 juta (skema DMO) dan flush out 1 juta. Adapun izin ekspor CPO secara total 3,4 juta untuk Juni tahun ini. Izin yang sudah terbit 1,8 juta ton tapi realisasinya 1,2 juta ton.

“Dari 958 persetujuan ekspor (PE), 505 PE sudah diterbitkan PE-nya. Mereka punya waktu cukup panjang 6 bulan. Sementara itu, dari 1,16 juta ton skema FO (flush out) mereka harus menyelesaikan ekspornya 31 Juli 2022,” kata Oke.

Janji Kompensasi

Untuk membantu petani, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan meminta pengusaha ataupun produsen minyak goreng agar membeli TBS petani rakyat paling tidak Rp1.600 per kg.

“Sebagai kompensasi, akan diberikan kuota ekspor CPO kepada produsen sawit yang mendukung program migor kemasan sederhana ini,” ujar menteri yang akrab disapa Zulhas ini saat menerima audiensi asosiasi produsen minyak goreng.

Dengan dibukanya keran ekspor CPO ini, menurut dia, kebutuhan produsen akan CPO akan meningkat dan tentunya juga akan berdampak pada kebutuhan produsen akan TBS dari petani sawit.

“Kalau stok CPO di produsen tersalurkan baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun untuk ekspor, maka TBS petani akan lebih terserap. Harga juga akan membaik,” ujar Zulhas.

Melihat pengalaman sebelumnya, sepertinya edisi nasib petani sawit ini belum akan selesai dalam waktu dekat. Masih akan berlanjut dengan episode-episode berikutnya. Yang mesti diingat, sawit sebagai komoditas strategis sudah seharusnya mendapatkan perhatian guna membantu meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan kepada petani.

Selama ini, jaminan dan perlindungan petani dalam gejolak harga sangat minim. Jaminan stabilitas harga TBS menjadi keharusan dengan penetapan harga yang adil dan tidak membebankan petani.

Pemerintah sebaiknya memberikan bumper dengan subsidi bagi petani kecil dalam menghadapi fluktuasi harga akibat gejolak pasar. Sementara perusahaan besar yang selama ini telah memberikan komitmen sosial dan lingkungannya perlu juga memberikan komitmen pembelian TBS dengan harga yang lebih baik.

Ini tentu sebuah tantangan berat bagi pemerintah. Tapi tidak ada yang berat jika dilakukan dengan komitmen dan tekad bersama-sama semua pihak untuk menciptakan industri sawit yang sehat dan petani yang sejahtera. [ikh]

Back to top button