Market

Kebijakan Pangan yang Abaikan Kearifan Lokal

Meskipun menjadi slogan Presiden Joko Widodo untuk meningkatkan kedaulatan pangan Indonesia, tetapi menjelang berakhirnya periode kedua, slogan tersebut belum terasa kemandirian pangan nasional.

Untuk kebutuhan pangan yang pokok masih tergantung negara lain. Ketika negara pengimpor terkena masalah, pasokan pangan nasional langsung terganggu. Seperti saat meletus perang Rusia dengan Ukraina, pasokan gandum langsung terganggu. Harga gandum dalam negeri merangkak naik.

Tahun 2022 impor gandum dari Ukraina hanya sebanyak 5.509 ton. Volume ini turun jauh dari volume 2021 ketika Ukraina menjadi negara asal impor gandum terbesar kedua Indonesia.

Sementara, impor gandum dari Argentina mencapai 1,47 juta ton. Kedua negara ini mencakup 64,1% dari total impor gandum Indonesia pada periode tersebut.

Selanjutnya, Indonesia mengimpor gandum dari Kanada sebesar 694 ribu ton. Lalu, Brasil memasok 594 ribu ton dan India sebesar 545 ribu ton.

Adapun di kuartal pertama tahun 2022 industri mi instan sempat dikejutkan dengan kenaikan harga gandum. Kenaikan harga terjadi karena konflik militer antara dua eksportir gandum besar dunia, yakni Rusia dan Ukraina.

Indonesia di posisi kedua negara pemakan mi instan terbanyak dunia setelah China dengan konsumsi sebesar 45,07 miliar bungkus pada 2022.

Saat itu presiden Jokowi mengingatkan harga mie berpotensi naik. “Kita impor gandum gede banget, ini hati-hati yang suka akan roti, makan mi. Bisa harganya naik,” kata Jokowi dalam keterangan persnya, Kamis (7/7/2022) saat itu.

Bukan perkara gandum saja yang tergantung dengan negara lain. Untuk makanan yang menjadi khas Indonesia saja sangat tergantung dengan impor, seperti kedelai untuk bahan baku tempe dan tahu.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, volume impor kedelai mencapai 2,32 juta ton pada 2022. Angka ini turun 6,45% (year-on-year/yoy) dari 2021 yang sebanyak 2,48 juta ton. Volume impor kedelai ini mencatatkan rekor terendah dalam enam tahun terakhir.

Tetapi tidak terlalu berangan-angan memenuhi kebutuhan komoditas yang selama diimpor, mencukupi kebutuhan besar saja tidak semudah membalikan telapak tangan. Pemerintah kedodoran memenuhi janji untuk ketahanan pangan dengan meningkatkan produksi beras.

Presiden Jokowi menuturkan bahwa pemerintah telah membangun sejumlah infrastruktur di bidang pertanian, mulai dari bendungan, embung, hingga jaringan irigasi guna mendukung peningkatan hasil produksi pertanian nasional. Selain pembangunan infrastruktur, pemerintah juga memanfaatkan varietas-varietas unggul padi, melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi sehingga Indonesia dapat mencapai swasembada beras dengan produksi beras yang surplus selama tiga tahun terakhir.

Bahkan, menurut data dari Badan Pusat Statistik, stok beras nasional pada bulan April 2022 menjadi yang tertinggi, yaitu 10,2 juta ton. “Inilah yang menyebabkan kenapa pada hari ini diberikan kepada kita sebuah sertifikat bahwa Indonesia dinilai memiliki sistem ketahanan pangan yang baik dan sudah swasembada pangan,” ungkap Presiden.

Dalam kesempatan tersebut, Presiden Jokowi menyampaikan apresiasi kepada para pelaku pertanian Tanah Air dan berbagai pihak terkait yang telah bekerja keras dan bersama-sama dengan pemerintah mewujudkan swasembada beras di Indonesia. Meski demikian, Presiden berharap para petani tidak hanya memproduksi komoditas pertanian yang dikonsumsi masyarakat, tetapi juga komoditas pertanian yang masuk pasar ekspor.

“Diversifikasi pangan hati-hati. Kita tidak hanya tergantung pada beras tetapi harus kita mulai untuk jenis-jenis bahan pangan yang lainnya,” tuturnya lagi.

Luas panen padi pada 2022 mencapai sekitar 10,45 juta hektar, mengalami kenaikan sebanyak 40,87 ribu hektar atau 0,39 persen dibandingkan luas panen padi di 2021 yang sebesar 10,41 juta hektar.

Produksi padi pada 2022 yaitu sebesar 54,75 juta ton GKG, mengalami kenaikan sebanyak 333,68 ribu ton atau 0,61 persen dibandingkan produksi padi di 2021 yang sebesar 54,42 juta ton GKG.

Produksi beras pada 2022 untuk konsumsi pangan penduduk mencapai 31,54 juta ton, mengalami kenaikan sebanyak 184,50 ribu ton atau 0,59 persen dibandingkan produksi beras di 2021 yang sebesar 31,36 juta ton.

DPR pun mencoba mengurai masalah sulitnya mencapai target ketahanan pangan. Komisi IV yang membidangi masalah pangan sudah mencoba mendudukan semua otoritas yang dapat mendukung program ketahanan pangan nasional. Tujuannya apa lagi kalau bukan untuk menjamin pasokan pangan masyarakat mulai dari hulu hingga hilir.

Hingga akhirnya bertemu Kementerian Pertanian, Perum Bulog, PT RNI, ID FOOD, dan PT Pupuk Indonesia untuk duduk bersama mengurai masalah ini.“Ini kan (pangan) masalah klasik, bahkan keadaannya malah semakin memburuk. Salah satu indikator yang ditunjukan, yaitu munculnya impor beras dan beberapa komoditas pangan lainnya ada kecenderungan (impor) meningkat. Ini secara kasat mata, (Kementan) tidak mampu memenuhi kebutuhan nasional,” ungkap Sudin, Ketua Komisi IV mengungkapkan keresahannya, awal tahun 2022 lalu.

Img 20230302 Wa0015 Copy 833x533 1 - inilah.com
Ilustrasi: Operasi Pasar Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) Beras di Kasongan, Kabupaten Katingan, (2/3/2023). (FotoL Antara).

Saat itu, Indonesia masih menghadapi pandemi Covid-19. Kondisi ini juga mempengaruhi sektor pertanian dalam meningkatkan ketahanan pangan. Produksi menurun dan pemerintah mengambil langkah untuk mengimpor beras lagi.

Faktor alam yang sudah tidak dapat diprediksi menjadi salah satu alasan sulitnya menerapkan kebijakan yang pas untuk meningkatkan produksi pangan. Dari proses tanam pemerintah sebenarnya sudah menyiapkan alokasi subsidi pupuk untuk mendukung kualitas tanaman. Penyiapan bibit atau benih beberapa komoditas seperti padi dan jagung serta komoditas lain, dalam tataran pelaksanaan belum menghasilkan secara maksimal.

Pada proses produksi, sangat terpengaruh dengan faktor cuaca maupun infrastruktur sektor pertanian yang belum pas. Padahal semangat Pemerintahan Jokowi terbilang menaruh perhatian untuk membangun embung, penampung air di daerah pertanian. Beberapa bendungan pun sudah banyak yang tergenangi air. Kenapa belum bisa mengatasi faktor musim yang selalu mempengaruhi produksi pangan?

“Petani di Indonesia serlalu dihadapkan pada tekanan-tekanan yang berasal dari alam yang sulit dihindari seperti serangan hama, serangan organisme penyakit tanaman dan perubahan iklim,” tutur pengamat pertanian dari IPB, Arief Daryanto yang menganalisa masalah ini yang menuangkan kajiannya di akun pribadinya.

“Setiap tahun, kebutuhan pangan nasional terus meningkat tapi produksi pangan kita tidak bisa memenuhi kebutuhan yang terus meningkat itu. Intinya high demand but less supply,” ujar Arief.

Jumlah lahan pertanian yang berkurang pun menjadi alasan. Akibat adanya peralihan fungsi lahan dari yang semula untuk pertanian menjadi untuk sektor bisnis lain dan hunian. “Lahan pertanian berkurang 100.000 hektar per tahun karena ada konversi untuk keperluan industri dan perumahan,” tambah dia.

Sektor pertanian yang sangat minim sentuhan teknologi masih banyak terjadi di Indonesia. Penerapan teknologi tepat guna masih dirasa berat karena faktor keterbatasan modal para petani. Kebijakan pemerintah untuk mengenalkan teknologi baru di sektor pertanian sering terhambat penerapannya di lapangan. seperti rekayasa genetik bibit pangan, membuat Indonesia kian sulit memenuhi kebutuhan pangan dalam negerinya.

“Karena kendala-kendala tersebut pemenuhan kebutuhan menjadi tidak mencukupi, impor adalah salah satu cara untuk memenuhi kebutuhan nasional,” imbuh Arief.

Berlarutnya konflik Rusia-Ukraina telah menyebabkan krisis di sektor pangan semakin buruk. Keterlibatan Rusia yang merupakan produsen bahan aktif pupuk telah menjadikan harga pupuk global tidak terkendali dan naik mencapai 80%.

Sementara, kebijakan subsidi pupuk di Indonesia masih minim evaluasi dan butuh perbaikan mendasar. Kompleksitas semakin bertambah dengan tidak jelasnya definisi terkait ketahanan pangan, kedaulatan pangan, keamanan pangan dan kemandirian pangan.

“Mau tidak mau, kapasitas adaptasi menghadapi perubahan iklim dalam kebijakan pangan nasional harus ditingkatkan,” ucap ahli politik lingkungan internasional dari Universitas Paramadina, Ica Wulansari.

Proyek Food Estate

Pada awal periode kedua Presiden Jokowi, digulirkanlah kebijakan Food Estate yang saat itu mendapat dukungan dari lembaga pemerintah. Bahkan partai pendukung pemerintah, semua mendukung kebijakan pangan melalui Food Estate.

Proyek ini sebenarnya untuk periode 2020-2024 tetapi dijalankan Perpres Nomor 108 Tahun 2022, food estate masuk proyek prioritas strategis. Bahkan, food estate masuk dalam golongan proyek strategis nasional (PSN) dalam Permenko Perekonomian Nomor 21 Tahun 2022. Proyek yang saat ini menjadi isu politik, ternyata hingga kini belum aturan turunan yang merinci daftar food estate di seluruh Indonesia. Terlebih, pembangunan food estate dilakukan oleh berbagai kementerian/lembaga (K/L).

Meski begitu, sudah ada tiga lokasi yang ditetapkan untuk menerapkan proyek Food Estate ini. Pertama di Sumatera Utara, kalimantan Tengah, NTT dan Papua dengan jenis tanaman yang berbeda.

Untuk Food Estate di Sumut, berada di atas lahan seluas kurang lebih 3.964 hektare. Sedangkan tahap kedua bakal dilakukan pada 2024-2029 dengan sisa tanah seluas 7.623 hektare. Proyek ini memoles lumbung pangan di Humbang Hasundutan, Pakpak Barat, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Utara.

Di Kalimantan Tengah, mengambil lahan hutan seluas 148 ribu hektare. Area itu termasuk wilayah irigasi untuk tanaman padi dan singkong. “Ada area non irigasi seluas 622 ribu hektare, yang ini akan dikembangkan untuk menanam singkong, jagung, dan lain-lain, serta peternakan,” terang Jokowi saat itu.

Kabupaten Keroom menjadi pilihan lokasi Food Estate di Papua yang dimulai tahun 2022. Area ini dinilai potensial lumbung pangan ini bisa mencapai 10 ribu hektare, dengan 7.000 hektare merupakan area penggunaan lain (APL) berupa hutan. Sedangkan sisanya adalah area eks plasma sawit di 7 kampung yang akan ditangani proses irigasinya. Jagung dinilai cocok untuk ditanam di Food Estate Papua.

Proyek Food Estate juga menyambangi wilayah NTT, tepatnya di Belu. Di sini food estate ini berfokus pada komoditas sorgum, seperti jagung, tomat, kacang hijau. Dalam perencanaan, proyek ini juga tak ketinggalan membangun jaringan irigasi dan pipa transmisi di kawasan food estate NTT lain, seperti Sumba Tengah hingga Sumba Timur.

Program Food Estate Indonesia Baik - inilah.com
Infografis Food Estate tahun 2020-2024. (sumber: KPPIP)

Sebelum menjadi isu politis, proyek Food Estate memang tidak sesuai harapan. Sangat disayangkan proyek ini dijalankan tidak dengan kearifan lokal. Pemilihan jenis tanaman tidak tepat sehingga tidak cocok dengan kontur tanah yang ada. Seperti singkong di Kalteng dan Jagung di Papua. Intinya kurang melibatkan petani untuk mewujudkan lumbung pangan atau Food Estate ini.

Banyak peralatan yang diberikan untuk lumbung pangan kurang layak untuk digunakan. Dia menilai alat-alat yang diberikan tidak sesuai dengan kondisi geografis lokasi masyarakat di sekitar lumbung pangan kebanyakan masih kurang mendapatkan sosialisasi soal tujuan pembangunan dan keuntungannya bagi mereka.

“Ini banyak juga peralatan di sana kurang proper, jadi harus dimodifikasi karena kontur tanah berbeda dari alat yang dikirim, mereka mesti meng-adjust alat di sana. Meski dipakai kan tapi banyak effort,” ujar Wakil Ketua Komisi IV DPR RI, Anggia Erma mengomentari pelaksanaan proyek ini.

Alih-alih memiliki kebijakan menuju ketahanan pangan yang terkonsep, pada pelaksanaanya sering tidak selaras dengan para petani setempat. Mungkin dari aspek keilmuan para petani tidak menguasai. Tetapi dari kearifan alam secara turun menurun mereka memahami sejak lama model dan strategi meningkatkan produktivitas pangan ke depan. Dengan tetap menjaga kelestarian alamn tentunya.

Proyek Food Estate telah menimbulkan kerusakan karena berada di hutan alam di Kalimantan Tengah. Sehingga meningkatkan emisi karbon bahkan bila musim hujan menimbulkan bencana banjir. Namun bila musim kemarau tidak ada strategi menyimpan air sehingga mengalami kekeringan.

Dari aspek sosial juga merugikan karena tidak menyerap tenaga kerja setempat. “Dari aspek sosial, masyarakat minim sekali terlibat dalam proyek ini. Sehingga rawan terjadi konflik di wilayah-wilayah Food Estate soal penguasan tanah,” katanya.

Karena tidak ada perencanaan dan kajian dari awal maka proyek ini mengalami kegagalan. Di area yang di tanami padi justru sering terendam air sehingga panennya tidak maksimal. Sedangkan pada lahan yang ditanami singkong juga tidak maksimal karena panen singkon ukurannya di bawah standar.

“Jadi dari hasil pemantauan di lapangan, penentuan jenis komoditi tidak berdasarkan kajian mendalam, komprehensif yang sesuai dengan kebutuhan pangan yang ada di sana (Gunungmas),” jelas Bayu Herinata, Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Tengah kepada inilah.com.

Back to top button