News

Kasus Kekerasan Seksual Makin Marak, Pemerintah Diminta Segera Terbitkan Aturan Turunan UU TPKS

Anggota Komisi III DPR RI Didik Mukrianto menyoroti kasus kekerasan seksual yang kerap terjadi saat ini. Pemerintah pun diingatkan untuk melakukan pemberantasan kasus kekerasan seksual, termasuk dengan segera menerbitkan aturan turunan UU No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), sehingga beleid ini dapat diimplementasikan dengan efektif.

“Kami tidak bisa menutup mata kasus kekerasan seksual di Indonesia saat ini semakin marak, dan ini harus menjadi keprihatinan bersama,” kata Didik Mukrianto dalam keterangan tertulisnya yang diterima di Jakarta pada Selasa (10/7/2023).

Ia juga menyayangkan masih adanya penanganan kasus kekerasan seksual yang berlarut-larut. Contohnya soal kasus dugaan pencabulan santri pria yang dilakukan oknum pimpinan pesantren di Kabupaten Polewali Mandar (Polman), Sulawesi Barat (Sulbar) di mana dalam kasus tersebut, penanganan kasus oleh kepolisian dianggap sejumlah kalangan berjalan lamban.

]“Jangan lupa, dalam UU TPKS penyidik kepolisian harus menerima pengaduan perkara kekerasan seksual. Polisi tidak boleh menolak kasus kekerasan seksual dengan alasan apapun. Jadi kasusnya harus segera diusut tuntas sekalipun melibatkan tokoh ternama. Tidak boleh tebang pilih,” ucapnya.

Didik juga menyoroti kurangnya sosialisasi Pemerintah sehingga banyak korban yang melaporkan kasus kekerasan seksual tanpa tuduhan pelanggaran terhadap UU TPKS. Seperti dalam kasus predator seksual di Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, di mana pelaku pria berusia 47 tahun telah melakukan pencabulan terhadap dua anak di bawah umur berusia 1,5 tahun dan 9 tahun.

Dalam kasus ini, perwakilan korban hanya melaporkan pelaku telah melanggar UU Perlindungan Anak. Korban merupakan anak tiri dan keponakan pelaku. Padahal Pasal 4 ayat (1) UU TPKS telah mengatur soal pencabulan terhadap anak.

“Harus ada perubahan paradigma dalam menerapkan UU TPKS. Tanpa perubahan paradigma berpikir dan kekuatan intensi sosial dalam memberi perlindungan kepada seluruh warga negara, kehadiran UU TPKS akan melemah karena ketidakmampuan sejumlah elemen dalam memaknai esensi perlindungan,” terang Didik.

Diingatkannya, UU TPKS dilahirkan untuk meningkatkan awareness masyarakat kepada korban kekerasan seksual dengan harapan bisa mengakhiri budaya kekerasan seksual yang muncul mulai dari lingkup rumah tangga. Selain itu, menurut Didik, juga demi mewujudkan kesetaraan gender serta zero tolerance terhadap kekerasan seksual.

“Jadi penanganan kasus kekerasan belum sepenuhnya bergantung pada regulasi ini. Bukan hanya karena belum ada aturan turunannya, tapi juga lantaran kurangnya sosialisasi sehingga masyarakat dan aparat penegak hukum seringkali salah persepsi terkait kehadiran UU TPKS,” urainya.

Didik mengatakan, sebenarnya sudah ada banyak kemauan politik (political will) Pemerintah dalam pemberantasan kasus kekerasan seksual di tanah air. Dalam hal ini, political will dari Pemerintah dapat dimaknai dengan sejauh mana komitmen dukungan untuk mencari solusi kebijakan terhadap masalah kekerasan seksual.

Political will-nya relatif banyak. Instrumen hukumnya juga sudah disempurnakan melalui lahirnya UU TPKS yang diperjuangkan bersama DPR. Tinggal Action will-nya (tindakan terhadap kekerasan seksual) yang harus diperkuat mulai preventifnya, penindakannya dan perlindungan hukumnya,” papar Didik.

Hingga saat ini aturan teknis UU TPKS belum juga diterbitkan Pemerintah meski sudah mendapat banyak desakan dari berbagai kalangan. Dari UU TPKS, Pemerintah menargetkan menerbitkan peraturan pelaksana, yang terdiri dari 3 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres).

“Walaupun sudah diterbitkan lebih dari satu tahun, tapi faktanya belum bisa efektif implementasinya. Salah satunya disebabkan karena aturan teknisnya belum terbit. Padahal UU TPKS bisa menjadi pedomanan penyelesaian kasus kekerasan seksual dengan lebih komprehensif karena berpihak pada korban,” ungkap Didik.

Back to top button