Kanal

Jepang Kembali ke Militerisasi Sejak Perang Dunia Kedua

Jepang dalam beberapa tahun terakhir meningkatkan anggaran pertahanannya dan kecenderungan untuk kembali ke jalur militerisasi. China pun meradang dan menilai aksi Jepang itu sangat berbahaya.

Kementerian Pertahanan China, Kamis (16/3/2023) meminta Jepang untuk menghentikan melakukan hal-hal yang merusak perdamaian dan stabilitas regional, kata juru bicara Kementerian Pertahanan China, Tan Kefei, dalam jumpa persnya.

Jepang, yang menghentikan perang pada 1947 setelah peristiwa Bom Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, tahun lalu meluncurkan ekspansi militer lima tahun senilai US$315 miliar. Besarnya anggaran ini untuk mencegah Beijing menggunakan kekuatan di Laut China Timur di tengah meningkatnya kekhawatiran bahwa serangan Rusia di Ukraina dapat membuat China berani menyerang Taiwan.

Bulan lalu, Jepang juga mengatakan pihaknya mencurigai balon pengintai China telah memasuki wilayahnya setidaknya tiga kali sejak 2019. “Kami mendesak pihak Jepang untuk sungguh-sungguh belajar dari pelajaran sejarah, berhati-hati dalam perkataan dan perbuatan dalam masalah keamanan militer,” kata Tan kepada wartawan, mengutip Reuters.

Pada saat yang sama, China merencanakan peningkatan belanja pertahanannya sebesar 7,2 persen tahun ini, melampaui peningkatan tahun lalu dan lebih cepat dari target pertumbuhan ekonomi moderat pemerintah.

Tetangga China, termasuk Jepang, serta Amerika Serikat, prihatin dengan niat strategis Beijing dan pengembangan militernya, terutama karena ketegangan meningkat dalam beberapa tahun terakhir terkait Taiwan. Beijing mengatakan pengeluaran militernya untuk tujuan pertahanan adalah persentase yang relatif rendah dari hasil ekonominya sementara para kritikus menyebutnya sebagai ancaman bagi perdamaian dunia.

“Yang perlu ditekankan adalah bahwa pengeluaran pertahanan China yang terbatas sepenuhnya untuk menjaga kedaulatan nasional, keamanan, dan kepentingan pembangunan, serta untuk menjaga perdamaian dan stabilitas dunia dan kawasan,” dalih Tan.

Naikkan anggaran pertahanan sangat besar

Jepang telah mengumumkan rekor anggaran 114,4 triliun yen (US$863 miliar) untuk tahun fiskal berikutnya mulai April 2023. Peningkatan ini terdorong pengeluaran militer dan biaya jaminan sosial yang lebih tinggi untuk populasi yang cepat menua.

Guna mendanai pembelanjaan pertahanan seperti fasilitas militer, kapal perang, dan kapal lainnya, pemerintah Jepang memutuskan untuk menggunakan obligasi konstruksi senilai 434,3 miliar yen, yang akan diterbitkan pada tahun fiskal 2023. Kebijakan pemerintah Jepang ini merupakan langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Alokasi anggaran seperti ini mendapat dorongan dari rencana kontroversial Perdana Menteri Jepang Kishida untuk menggandakan pengeluaran pertahanan Jepang menjadi 2 persen dari PDB pada tahun 2027. Ini akan menekan keuangan Jepang yang sudah compang-camping di bawah beban utang publik sebesar 2,5 kali ukuran ekonominya.

Belanja alat perang

Jepang akan menaikkan pengeluaran pertahanan lebih dari seperempat tahun ini termasuk US$1,6 miliar untuk membeli rudal jelajah Tomahawk buatan AS yang akan menjadi bagian dari pembangunan militer terbesarnya sejak Perang Dunia II.

Kenaikan 26,3 persen ke rekor 6,82 triliun yen pada tahun ini mulai 1 April akan memungkinkan Jepang membelanjakan lebih dari tiga kali lipat untuk amunisi yang diinginkan guna menghalangi saingan regional China dan Korea Utara karena serangan Rusia di Ukraina memacu ketegangan regional.

Anggaran, yang akan disetujui oleh anggota parlemen sebelum April, mengalokasikan 897 miliar yen untuk pengembangan senjata, lebih banyak dari gabungan empat tahun sebelumnya. Jepang akan menggunakan hampir setengahnya untuk mengembangkan rudal jarak jauh baru bersama dengan Raytheon Technologies, Tomahawk yang akan memberinya kemampuan menyerang target lebih dari 1.000 km jauhnya, termasuk di China.

Tokyo berencana untuk mulai mengerahkan senjata-senjata baru itu dalam waktu sekitar tiga tahun, kata seorang pejabat Kementerian Pertahanan dalam sebuah pengarahan.

Kebijakan Jepang, yang melepaskan haknya untuk berperang setelah kalah dalam Perang Dunia II, berencana menggandakan pengeluaran pertahanan menjadi 2 persen dari produk domestik bruto dalam lima tahun. Ini akan menjadikannya pembelanja militer terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan China, berdasarkan level saat ini.

Pengeluaran yang belum pernah terjadi sebelumnya itu mencerminkan kekhawatiran Jepang bahwa China dapat menyerang negara tetangga Taiwan. Jepang juga khawatir jika China melakukan hal itu akan mengancam pulau-pulau Jepang dan berpotensi mencekik jalur laut yang memasok minyak Timur Tengah.

Untuk membantu mempertahankan konflik yang berkepanjangan, Jepang mengatakan akan menggandakan pengeluaran untuk pemeliharaan dan suku cadang tahun depan. Ini juga akan meningkatkan pengeluaran untuk drone, kemampuan perang dunia maya, pertahanan rudal balistik, satelit pengintaian dan komunikasi, kapal perang, hingga pesawat angkut.

Untuk memperkuat kemampuan tempur udaranya, Jepang juga berencana membeli 16 pesawat tempur siluman Lockheed Martin Corp F-35 seharga 250 miliar yen. Setengah dari mereka akan menjadi varian Vertical Take Off and Landing (VTOL) B yang akan digunakan pada dua kapal induk yang dikonversi.

Jepang juga telah mengalokasikan 102 miliar yen tahun depan untuk proyek pengembangan jet tempur bersama dengan Inggris dan Italia yang diumumkan bulan ini, yang bertujuan untuk mengoperasikan pesawat canggih pada tahun 2035.

Keseriusan Jepang kembali ke militerisasi tentu akan menambah panas kawasan regional. Selain faktor China dan Taiwan, juga aksi Korea Utara yang terus memperpanas konflik di Kawasan akan menambah rumit konflik antarnegara di kawasan itu. Apalagi Amerika Serikat dengan NATO dan sekutunya tak pernah mau melepas pengaruh dan kepentingannya di kawasan ini.

Back to top button