Market

Indonesia Dibohongi China Lewat Proyek Kereta Cepat dan Smelter Nikel

Ekonom dari UPN Veteran, Achmad Nur Hidayat mengingatkan pemerintah agar menghitung ulang kerja sama ekonomi dengan China. Apakah betul-betul menguntungkan, atau malah buntung. Karena sumber daya alam (SDA) Indonesia yang dipertaruhkan.

“Kekayaan SDA yang dimiliki Indonesia tentunya menjadi daya tarik bagi dunia internasional untuk bisa bekerjasama dengan Indonesia dan menikmati hasil pemanfaatan SDA tersebut,” kata Matbur, sapaan akrabnya, Jakarta, Rabu (2/8/2023).

Namun, kata dia, di balik potensi manfaat yang besar, kesepakatan antara Indonesia dengan China, menimbulkan potensi kerugian ekonomi yang harus diwaspadai dengan seksama.

“Satu dari potensi kerugian yang harus diwaspadai adalah seperti yang terjadi pada proyek kereta api cepat. Di mana, ada ketidaksesuaian kesepakatan awal yang tadinya tidak melibatkan APBN, kenyataannya melibatkan APBN dan berujung kepada China menuntut jaminan Penanaman Modal Nasional (PMN), melalui APBN,” ungkapnya.

Selain itu, lanjut Matnur, transfer pengetahuan dan teknologi yang menjadi salah satu pertimbangan kerja sama dengan China, realisasinya nol besar. “Ini terbukti dari keterlibatan berlebihan dari Tenaga Kerja Asing (TKA) asal China yang terus ada, hingga proyeknya selesai dibangun. Ini bukti nyata bahwa Indonesia tidak sepenuhnya mendapatkan manfaat, sebagaimana yang diharapkan dalam hal penyerapan tenaga kerja,” tutur Matnur.

Tambang nikel serampangan yang dibungkus program hilirisasi, kata Matnur, menjadi contoh lain dari potensi Indonesia ‘buntung’. Meski Indonesia terlibat dalam ekspor nikel ke China, porsi keuntungan yang diterima Indonesia sangat sedikit. “Ya, sebagian besar yang menikmati manfaatnya adalah China. Sementara penggalian nikel yang sangat masif dikuras setiap harinya membuat cadangan nikel semakin menipis,” kata Matnur.

Ke depan, kata CEO Narasi Institute ini, pemerintah Indonesia harus berhati-hati dengan ketergantungannya kepada ekonomi China. Semakin rapatnya kerja sama dengan China, berarti Indonesia semakin terpaku pada perekonomian negara tersebut.

“Akibatnya, ketika terjadi perubahan kebijakan atau krisis ekonomi di China, Indonesia berisiko mengalami gangguan dalam stabilitas ekonomi dan pembangunan jangka panjang. Masalah transparansi dan hutang yang berlebihan dari proyek infrastruktur yang didanai oleh China juga menjadi perhatian serius,” imbuhnya.

Back to top button