Kanal

Pemimpin Muda, Instan dan Aji Mumpung

oleh : Sirra Prayuna, Waketum Fron Kebangsaan.

Hari ini, bangsa Indonesia suka atau tidak suka telah dipertontonkan oleh sebuah teaterikal pemuda yang jauh dari spirit sumpah pemuda 1928. Bagaimana tidak, anak muda rela di lumpuhkan kesadaran logika akal sehatnya oleh sebuah alasan kekuasaan yang jauh dari spirit dan nilai nilai sumpah pemuda dan demokrasi. Bukankah pemuda Indonesia selalu mengumandankan : INI DADAKU, BUKAN DADA AYAHKU.

Filosofinya telah luluh lantah ditelan jaman yang serba pragmatis dan instan. Apakah anak muda yang harus dipersalahkan. Saya tak ingin menyalahkannya, karena tak bijak rasanya mereka yang harus di persalahkan, justru saya bertanya apakah kelahiran pemimpin instan adalah hasil sebuah dialektika antara yang mendidik dengan yang didik.      

Pendidikan yang baik adalah bagaimana mengarahkan pikiran untuk membangun kesadaran akal budi pekerti dan memiliki keperibadian yang tangguh agar mereka kelak dapat menjadi tauladan, pemuda yang tangguh, kokoh, siap meghadapi tantangan, menghargai sebuah proses hidup penuh asam garam, berkharakter, berjati diri dan sanggup berdiri diatas kaki sendiri.

Pemuda Indonesia akan menjadi pewaris bangsa yang akan mengelola beratnya tantangan jaman.

Ditengah gempuran arus globalisasi, pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta dinamika global yang semakin rumit di kancah percaturan politik dunia tentunya akan menjadi pekerjaan besar menanti kaum muda, anak milenial dan Generasi z kedepan.

Negara Indonesia membutukan pemimpin visioner yang tangguh dan memiliki kharakter dan kemampuan akal sehat untuk mengelola problematika kehidupan bernegara bangsa, sehingga kapal besar yang ditumpangi 270 juta lebih rakyat Indonesia tidak ikut tenggelam oleh arus besar karena salah dalam tata kelola.

Betapa naifnya jika kapal besar Indonesia dikelola oleh anak muda yang miskin pengalaman, tak memiliki pemikiran visioner dan lahir sebagai calon pemimpin secara instan dan pragmatis dalam privilege kekuasaan dan hukum.

Ternyata sipemuda itu tak sadar, dia telah membunuh filosofinya sendiri oleh sebab tarik menarik kepentingan politik elektoral. Sipendidik-pun tersenyum sumringah dan merasa bangga melihat kepatuhan anak didiknya yang telah dipersiapkan sebagai putra mahkota. Tak perduli bagamana sang putra mahkota nantinya harus bergulat dengan problematika kebangsaan yang serba rumit. Karena di alam pikir si pendidik, tanganya masih sanggup menjangkau sang putra mahkota.

Yang menggelikan lagi, anak muda itu telah merasa sukses mengelola wilayah kota dengan populasi penduduk relatif kecil dan APBD secuil. Ya mengkamuflase pikiran sehatnya dengan mengklaim keberhasilan dirinya.

Mungkin dia lupa atau pura pura lupa bahwa keberhasilanya tak tumbuh secara alami seperti daerah lainya yang pemimpinnya berjibaku mencari pundi pundi untuk membangun  daerahnya, sementara pemimpin pemuda itu begitu mudah menjangkau lingkaran kekuasaan untuk menopang pembangunan kotanya.

Tak perlu berkeringat dan dorongan daya juang yang tinggi, tak perlu susah-susah meloby dan tak perlu pula menggunakan cara cara kotor untuk memperoleh berjibunnya sejumlah anggaran.

Justru sebaliknya, para punggawa istana akan dengan senang hati datang menawarkan berbagai kemudahan anggaran, sarana, fasilitas dan tawaran pembangunan kepada sang pemimpin muda. Bagi para punggawa, itu sebuah prestasi dan akan mendapat penilaian tersendiri dari sang penguasa.

Para punggawa akan semakin dekat kepada sang penguasa Istana dan mendapat kedudukan terhormat, syukur- syukur menjadi pembisik istana. Relasi kekuasaan aji mumpung tergambar jelas dalam membangun persepsi keberhasilan sang pemimpin muda itu. Akhirnya Spirit Sumpah pemuda bagi sang pemuda yang sedang menapak karir kepemimpinan untuk Indonesia raya gugur dengan sendirinya. Selamat hari sumpah pemuda1928.

Back to top button