News

Filipina Gandeng AS Hadapi China di Sengketa LCS


Pakar hukum internasional dari Universitas De La Salle Manila, Profesor Renato Cruz De Castro mengungkapkan, mayoritas masyarakat Filipina memberi dukungan penuh pada pemerintah dalam menangani persengketaan klaim maritim dengan China di Laut China Selatan (LCS). Dia pun menjelaskan bagaimana Manila menggandeng AS sebagai sekutu guna menghadapi Beijing.

Mungkin anda suka

“Tentu saja, sebagian besar warga Filipina mendukung posisi kuat Pemerintah Filipina dalam menghadapi ekspansi maritim China di LCS,” kata Prof. De Castro saat berpartisipasi dalam diskusi publik bertajuk ‘What’s Going On with the Philippines, the United States, and China?’ yang digelar secara virtual oleh Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), Senin (19/2/2023).

Pada kesempatan itu, Prof. De Castro turut memaparkan tentang strategi pemerintahan Presiden Ferdinand Marcos Jr. dalam menghadapi China. Dia mengungkapkan, ketika Marcos Jr. dilantik pada 2022, dia menginginkan kebijakan seimbang terhadap China.

“Tentu saja, langkah pertama adalah melanjutkan hubungan ekonomi dengan China, dan langkah lainnya adalah memperkuat aliansi dengan AS. Hal ini tentu saja terhambat oleh retorika dan upaya mantan presiden Rodrigo Duterte untuk menjauhkan Filipina dari AS pada awal masa jabatannya pada 2016,” ucap Prof. De Castro.

Di bawah pemerintahan Duterte, Filipina diketahui berupaya menjalin hubungan lebih dekat dengan Beijing. Namun De Castro menilai, Duterte baru menyadari kebijakannya ‘keliru’ pada akhir masa jabatannya. Sebab, meski memiliki hubungan hangat, hal itu tak memperlunak China dalam mempertahankan klaimnya di LCS.

“Pada Februari 2020, setelah, tentu saja, dia (Duterte) membatalkan Visiting Forces Agreement dengan AS, terjadi insiden antara fregat Filipina dan korvet Cina yang mengarahkan sistem kendali senjatanya,” ujar Prof. De Castro.

Menurut Prof. De Castro, Presiden Marcos Jr. memetik pelajaran dari tindakan Duterte.

“Presiden Marcos Jr. pada dasarnya mengambil pelajaran dari pendahulunya bahwa memenuhi tuntutan China tidak akan berhasil. Jadi pendekatannya, tentu saja, adalah kebijakan yang seimbang, melibatkan China dalam hubungan ekonomi, dan menjaga aliansi erat dengan AS,” ucapnya.

Dia mengungkapkan, Marcos Jr pertama kali bertemu Presiden China Xi Jinping di Bangkok, Thailand, pada November 2022. Kala itu, Xi menyampaikan bahwa persengketaan klaim di LCS seharusnya tidak mempengaruhi hubungan antara Beijing dan Manila. Hal itu pun disampaikan ketika Marcos Jr. berkunjung ke Beijing.

Namun, Prof. De Castro menilai komentar Xi Jinping hanya sebuah retorika. Sebab di lapangan, kapal angkatan laut China dan Filipina masih kerap terlibat gesekan serta ketegangan.

Hal itu mendorong pemerintahan Marcos Jr. merapat ke Negeri Paman Sam.

“Masalahnya di sini bukanlah Filipina yang membuat pilihan. China-lah yang mendorong Filipina ke dalam pelukan AS,” kata Prof. De Castro.

Dia mengungkapkan, pada November tahun lalu, Filipina dan AS menggagas kerja sama maritim, termasuk patroli gabungan antara angkatan laut kedua negara.

“Yang sangat menarik adalah setiap kali kita melakukan kegiatan kerja sama maritim itu, ada tamu tak diundang berupa Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (China) yang menyaksikan apa yang terjadi saat kedua sekutu tersebut pada dasarnya sedang melakukan latihan militer,” ujarnya.

Pada 25 Desember 2023, People’s Daily, media corong Partai Komunis China, menulis bahwa Filipina, dengan dukungan AS, terus memprovokasi China dengan perilaku ‘sangat berbahaya’. Beijing menuduh Manila secara serius membahayakan perdamaian dan stabilitas regional.

China diketahui mengklaim sebagian besar LCS sebagai teritorialnya. Klaim itu ditentang sejumlah negara ASEAN yang wilayahnya turut mencakup perairan tersebut, seperti Filipina, Vietnam, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Wilayah Laut Natuna di utara Indonesia juga bersinggungan langsung dengan klaim China di LCS. 
 

Back to top button