Kanal

Fenomena Melajang dan Childfree di China Jadi Kekhawatiran Dunia

Di Indonesia ramai dibicarakan tentang childfree atau kaum muda yang tidak mau memiliki anak dan tidak mau menikah. Di China fenomena ini sudah menjadi masalah serius. Tak hanya menjadi kekhawatiran bagi China, tetapi juga secara global.

China mengalami penurunan pertumbuhan populasi untuk pertama kalinya dalam enam dekade. Tren penurunan pertumbuhan populasi ini tercermin dari penurunan tingkat kelahiran yang mencapai rekor terendah yakni 6,77 kelahiran per 1.000 orang pada tahun 2022. Jumlah warga menikah di negara itu untuk pertama kali turun menjadi 11,6 juta tahun lalu. Angka ini merosot hampir 7 juta dari tahun sebelumnya, lapor South China Morning Post pada 28 Januari lalu.

Biro Statistik Nasional negara itu juga mencatat populasi China turun sekitar 850.000 menjadi 1,41 miliar pada akhir 2022. Dalam jangka panjang, pakar PBB melihat populasi China menyusut hingga 109 juta pada 2050, lebih dari tiga kali lipat penurunan perkiraan mereka sebelumnya pada tahun 2019.

Mantan Direktur Pusat Studi Asia Tengah di Universitas Kashmir KN Pandita menilai, salah satu alasan penting penurunan populasi adalah keengganan kaum muda untuk menikah. Mungkin institusi pernikahan sudah kehilangan kemilaunya atau dianggap sebagai tradisi yang sudah ketinggalan zaman oleh generasi muda di China.

“Kalangan muda di China dengan usia menikah mengatakan bahwa meningkatnya biaya untuk pernikahan dan membesarkan keluarga memicu keengganan meniti rumah tangga bersama pasangan. Hukum negara yang semakin mempersulit untuk bercerai juga menjadi alasan mengapa mereka enggan menikah,” kata Pandita, mengutip EurAsian Times.

Tidak menikah sudah menjadi tren di kalangan anak muda China. Bahkan berkembang menjadi gerakan sosial karena poster-poster di banyak tempat menyerukan kearifan anak muda untuk tidak menikah. Seorang pembawa poster menulis, “Pernikahan itu seperti pertaruhan. Masalahnya adalah orang biasa tidak boleh kalah, jadi saya memilih untuk tidak berpartisipasi.”

Keengganan menikah juga terkait aturan perceraian di negara itu. Pada 2021, pemerintah China mengesahkan undang-undang yang memperkenalkan masa cooling down 30 hari yakni periode bagi orang yang mengajukan perceraian. Anak-anak muda di usia menikah khawatir bahwa pemerintah dapat memperpanjang masa jeda, sehingga membuat undang-undang perceraian menjadi lebih ketat.

Aturan baru menunggu 30 hari memang berhasil menekan tingkat perceraian. Tetapi beberapa aktivis sosial menemukan bahwa hukum agak sulit bagi perempuan yang bercerai tanpa sumber pendapatan mandiri. Selain itu, seseorang yang ingin bercerai harus menunggu lebih lama jika pasangannya menolak untuk bercerai. Hukum tidak bisa memaksanya.

Banyak kasus permohonan cerai yang tidak disetujui padahal pemohon telah menjadi korban perselingkuhan atau kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Seorang wanita muda berkata, “Menikah itu seperti pergi ke neraka.”

Hal ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat China, hal-hal buruk seperti selingkuh dari istri atau melakukan kekerasan dalam rumah tangga bukanlah hal yang aneh. Akibatnya wanita tidak mau menikah karena perilaku kejam semacam ini. Dilaporkan juga bahwa kawin paksa juga menyakitkan dan selalu berakhir dengan perceraian.

Childfree China

Berdampak pada dunia

Pakar China khawatir bahwa tren penurunan populasi ini tidak hanya berdampak pada negera mereka sendiri tetapi juga dunia. China saat ini berfokus untuk mendorong pertumbuhan global sebagai ekonomi terbesar kedua. Untuk mencapai tujuan itu, populasi yang menurun menjadi faktor penghambat.

Pada saat yang sama, angkatan kerja China semakin menua. Akibatnya, jika jumlah orang muda semakin berkurang untuk melanjutkan peningkatan produksi dan mendorong pertumbuhan ekonomi, maka hal ini sangat memprihatinkan.

Masih menurut Pandita, kebijakan satu anak di China juga ikut bertanggung jawab atas penurunan populasi selama lebih dari 35 tahun. Pemerintah sempat mengizinkan dua anak pada 2015, dan di 2021 diizinkan memiliki tiga anak. Namun, bantuan keuangan untuk membesarkan tiga anak belum dipertimbangkan secara serius. Akibatnya program itu pun tak maksimal.

“Apalagi orang-orang di kota menghadapi stagnasi upah, lebih sedikit kesempatan kerja, dan jam kerja melelahkan yang membuat membesarkan satu anak, apalagi tiga, rumit dan mahal,” tambahnya.

Analis mengatakan masalah ini diperumit oleh peran gender yang mengakar yang sering menempatkan sebagian besar pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan anak pada perempuan. Laki-laki umumnya lebih berpendidikan dan mandiri secara finansial daripada perempuan dan tidak mau berbagi beban mengurus rumah tangga atau membesarkan anak.

Perempuan juga dilaporkan menghadapi diskriminasi di tempat kerja. Biasanya didasarkan pada status perkawinan atau orang tua mereka. Majikan juga sering dikatakan tidak mau membayar cuti melahirkan. Memang, beberapa kota dan provinsi telah mulai menerapkan langkah-langkah seperti memberikan cuti melahirkan dan perluasan layanan pengasuhan anak, tetapi ini tidak memadai.

Keadaan menjadi lebih buruk ketika selama pandemi, frustrasi tumbuh di antara generasi muda yang kecewa mata pencaharian dan kesejahteraannya terganggu oleh kebijakan nol-COVID China tanpa kompromi. Protes dan demonstrasi menjadi rutinitas, hingga pemerintah akhirnya mencabut kebijakan nol-COVID.

“Ekonomi China sedang memasuki fase transisi kritis, tidak lagi dapat mengandalkan tenaga kerja yang berlimpah dan kompetitif untuk mendorong industrialisasi dan pertumbuhan,” kata kepala ekonom HSBC Asia, Frederic Neumann.

Perekonomian China memang sedang dalam masalah, tumbuh hanya 3 persen pada 2022, salah satu kinerja terburuk dalam hampir setengah abad. Tenaga kerja yang menyusut dapat membuat pemulihan menjadi lebih menantang. Salah satu implikasi sosialnya adalah akan ada lebih sedikit pekerja yang mendanai hal-hal seperti pensiun dan perawatan kesehatan padahal permintaan akan layanan ini melonjak seiring populasi yang mulai memutih.

Berbicara tentang dampak penurunan populasi China di dunia, kita tahu bahwa China memiliki kemampuan yang terbatas untuk bereaksi terhadap perubahan demografis ini. Dengan demikian, kemungkinan besar akan menyebabkan hasil pertumbuhan yang lebih lambat dalam 20-30 tahun ke depan. Ini akan mengurangi kompetensinya untuk bersaing dengan AS.

Back to top button