News

Aglomerasi Jakarta yang Disebut-sebut Dipimpin Gibran Mendapat Sorotan Media Asing


Sebuah rencana induk baru akan segera dilaksanakan untuk menyelamatkan Jakarta dari berbagai permasalahan setelah tidak lagi menjadi Ibu Kota. Badan baru yang akan dibentuk yakni Dewan Kawasan Aglomerasi Jakarta disebut-sebut akan dipimpin Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, putra Presiden Joko Widodo.

Dewan ini bertugas membuat cetak biru untuk memecahkan permasalahan seperti transportasi, banjir, perencanaan tata ruang dan degradasi lingkungan di Jakarta dan sekitarnya, serta mengoordinasikan pelaksanaannya dengan kementerian, provinsi, kota, atau kabupaten terkait.

Media asing berbasis di Singapura Channel News Asia (CNA) dalam laporannya Senin (6/5/2024), menyoroti tugas badan baru ini termasuk kemungkinan Gibran memimpin lembaga ini. CNA mengutip pendapat beberapa ahli yang ragu apakah kehadiran Gibran akan cukup untuk memecahkan permasalahan kompleks ini. 

Keberhasilan akan sangat bergantung pada siapa yang akan memimpinnya. Para ahli juga menunjukkan bahwa penyelesaian masalah seperti kemacetan lalu lintas, banjir musiman, dan polusi udara yang memburuk memerlukan kerja sama dengan kota-kota satelit dan pinggiran kota yang secara administratif berada di provinsi tetangga, Jawa Barat dan Banten.

“Salah satu alasan mengapa banjir merajalela di Jakarta adalah karena adanya pembangunan yang berlebihan di daerah hulu di Bogor,” kata Nirwono Joga, pakar tata kota dari Universitas Trisakti Jakarta, mengacu pada daerah pegunungan di selatan Jakarta, mengutip laporan tersebut.

Penanganan permasalahan banjir di Jakarta dimulai dengan membatasi jumlah pembangunan villa dan hotel di Bogor yang menghambat kemampuan tanah dalam menyerap air. Tapi buat apa  (pejabat Bogor) harus membantu Jakarta padahal vila, hotel, dan restoran yang merupakan sumber pendapatan utama kabupaten?

Dari Jakarta ke IKN

Dewan Kawasan Aglomerasi Jakarta mulai berlaku sebagai bagian dari undang-undang baru yang ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi), yang secara resmi menetapkan Ibu Kota Nusantara (IKN) sebagai ibu kota baru yang akan diresmikan pada 17 Agustus saat perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia ke-79. 

Membangun ibu kota baru dari awal di perbukitan Kalimantan diharapkan dapat meringankan sebagian beban Jakarta. Setidaknya itulah yang diharapkan Jokowi, ketika mengumumkan rencana pemindahan ibu kota dari Jawa ke IKN pada tahun 2019.

Indonesia berencana merelokasi sekitar 120.000 pegawai negeri sipil yang bekerja di berbagai kementerian dan lembaga pemerintah di Jakarta ke IKN selama tiga tahun ke depan, menurut pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Abdullah Azwar Anas pada 17 April. 

Namun para pengamat menyatakan bahwa meskipun para pegawai pemerintah pindah bersama keluarga mereka, angka tersebut hanyalah sebagian kecil dari populasi wilayah metropolitan saat ini.

“Tidak semua orang akan segera membawa keluarganya ke ibu kota baru. Masih belum cukup fasilitas bagi mereka di sana seperti perumahan, rumah sakit, dan sekolah,” kata Yayat Surpiyatna, pakar perencanaan kota lainnya dari Universitas Trisakti Jakarta, kepada CNA.

Para analis juga mengatakan bahwa Jakarta kemungkinan akan mempertahankan statusnya sebagai pusat ekonomi dan komersial. Dengan demikian, statusnya akan tetap menjadi salah satu kota paling padat dan tercemar di dunia selama bertahun-tahun yang akan datang.

Pembangunan yang berlebihan di kota metropolitan dan pinggiran kota di sekitarnya, yang dihuni oleh sekitar 34,5 juta orang, juga menjadi penyebab banjir musiman yang berdampak pada ribuan penduduk yang tinggal di tepian sungai. Selain itu, Jakarta juga berjuang melawan penurunan permukaan tanah dan kenaikan permukaan air laut yang mengancam jutaan orang yang tinggal di wilayah pesisirnya.

Mendagri Usulkan Dewan Diketuai Gibran

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengatakan dewan tersebut akan fokus pada “menyelaraskan” berbagai program dan kebijakan yang dikeluarkan oleh berbagai pemerintah di wilayah Jabodetabek.

“Perlu ada satu rencana induk dan sebuah badan yang mengawasi hal ini mulai dari perencanaan hingga evaluasi berkala agar semuanya tersinkronisasi,” kata Tito pada bulan Maret, seraya menambahkan bahwa berbagai kementerian juga akan dilibatkan dalam perumusan dan pelaksanaan rencana induk terpadu ini. 

Kementerian Dalam Negeri sebelumnya mengusulkan agar dewan tersebut diketuai oleh wakil presiden. Tito membela usulan tersebut dengan mengatakan bahwa usulan tersebut perlu dipimpin oleh seseorang yang memiliki otoritas tersebut.

“Masalah-masalah ini tidak bisa ditangani oleh seorang menteri… bahkan menteri koordinator pun tidak, karena ini masalah lintas sektor. Tanggung jawab presiden sudah terlalu besar, sehingga perlu keterlibatan wakil presiden (memimpin dewan),” ujarnya.

Meskipun usulan ini kemudian dibatalkan karena adanya penolakan dari sejumlah partai politik, undang-undang tersebut menyatakan bahwa presiden mempunyai wewenang untuk menunjuk anggota dewan kawasan aglomerasi serta menentukan peran dan wewenang mereka.

Masa jabatan Jokowi berakhir pada bulan Oktober, yang berarti bahwa dewan tersebut kemungkinan besar akan ditunjuk oleh penggantinya, Prabowo Subianto. Presiden yang akan datang tetap bisa memilih siapa pun yang diinginkannya, termasuk wakil presidennya, Gibran.

Gibran adalah putra sulung Jokowi. Pria 36 tahun yang baru menduduki jabatan birokrasi sejak 2021 itu kini menjabat Wali Kota Surakarta, kota di Jawa Tengah yang berpenduduk 575.000 jiwa. 

“Apakah para pemimpin daerah yang sebagian besar berusia 50-an ini akan mendengarkan wapres? Apakah dia paham permasalahan Jakarta? Bisakah dia mengambil keputusan dengan cepat?” tanya Nirwono. Kepemimpinan yang cakap sangatlah penting jika dewan ini ingin mengatasi masalah-masalah di Jakarta secara efektif. 

post-cover
Kemacetan lalu lintas di Jalan Daan Mogot, Jakarta (Foto: Inilah.com/Didik Setiawan)

Berdasarkan indeks lalu lintas global tahunan yang dilakukan spesialis navigasi TomTom, Jakarta berada di peringkat ke-30 kota paling padat dari 387 kota yang disurvei pada 2023. Tahun lalu, pengendara di Jakarta menghabiskan rata-rata 23 menit dan 20 detik untuk berkendara sejauh 10 km, 40 detik lebih lama dibandingkan dengan rata-rata waktu berkendara 10 km tahun sebelumnya.

Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memperkirakan rata-rata banjir mengakibatkan kerugian properti dan infrastruktur sebesar US$532 juta (sekitar Rp8,5 triliun) di wilayah metropolitan.

Jakarta juga terkenal dengan polusi udaranya. Berdasarkan studi Indeks Kualitas Hidup Udara pada tahun 2019, Institut Kebijakan Energi Universitas Chicago mengatakan rata-rata penduduk Jakarta terpapar enam kali lipat tingkat konsentrasi partikel PM2.5 yang direkomendasikan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).  Lembaga tersebut memperkirakan bahwa penduduk Jakarta dapat memperoleh rata-rata harapan hidup 5,5 tahun jika kualitas udara kota tersebut sesuai dengan pedoman WHO.

Luas Wilayah Aglomerasi 10 Kali Luas Jakarta

Tidak jelas seberapa besar kewenangan yang dimiliki dewan baru untuk mengatasi permasalahan ini. Yang jelas, badan baru ini akan melapor langsung kepada presiden dan yurisdiksinya meliputi Jakarta, empat kota satelitnya, dan empat kabupaten. Jika digabungkan, kota-kota dan kabupaten-kabupaten ini memiliki luas sekitar 6.700 km persegi, sekitar 10 kali luas Jakarta.

“(Dewan) harus mengatasi permasalahan yang dihadapi semua orang di wilayah Jabodetabek mulai dari buruknya jaringan transportasi umum, infrastruktur dasar, pencegahan banjir, hingga sanitasi. Bisakah mereka menghasilkan rencana induk dan yang lebih penting apakah mereka mampu menginstruksikan berbagai kementerian, pemerintah daerah, dan provinsi untuk bekerja sama dan melaksanakan kebijakannya?” tanya Yayat.

Para ahli mencatat bahwa badan serupa telah ada sebelumnya , termasuk Badan Kerjasama Pembangunan Jabodetabekjur yang didirikan pada tahun 2010, untuk memastikan bahwa kebijakan perencanaan tata ruang dan pembangunan infrastruktur di berbagai daerah sejalan satu sama lain.

Jabodetabekjur merupakan singkatan dari Jakarta dan sekitarnya: Bogor, Depok, Tanggerang, Bekasi dan Cianjur. Namun sebagian besar badan-badan tersebut hanya mempunyai mandat untuk memberikan rekomendasi kebijakan dan bantuan teknis tanpa wewenang untuk menyelesaikan konflik atau menjatuhkan sanksi kepada pemerintah yang memilih untuk mengabaikan instruksinya.

“Jika dewan aglomerasi hanya sebatas menyelenggarakan rapat koordinasi dan memberikan rekomendasi, maka dewan aglomerasi tersebut akan gagal,” kata Yayat.

Kerja Sama Para Kepala Daerah akan Sulit

Mengajak dua gubernur, empat walikota, dan empat bupati untuk bekerja sama dengan Jakarta bukanlah hal yang mudah, terutama karena bekas ibu kota tersebut akan mendapatkan manfaat paling besar dari kerja sama ini. “Para pemimpin daerah ini dipilih setiap lima tahun sekali sehingga kepentingan para pemilih dan partai politik pendukung mereka adalah yang utama,” kata Nirwono.

Ekonom Nailul Huda dari lembaga think-tank Center of Economic and Law Studies (CELIOS), mencatat bahwa undang-undang yang ada saat ini masih belum jelas mengenai siapa yang harus dijawab oleh para walikota dan bupati ketika kebutuhan Jakarta tidak sejalan dengan kebutuhan di masa lalu. “Akan ada tumpang tindih kewenangan antara dewan (Wilayah Aglomerasi Jakarta) dan pemerintah provinsi,” katanya seraya menambahkan bahwa para walikota dan bupati juga harus bertanggung jawab kepada dewan kota dan parlemen masing-masing. 

Nirwono, pakar perencanaan kota, mengatakan perlu ada insentif bagi daerah pinggiran untuk menjalin kerja sama dengan Jakarta. “Jakarta mempunyai sistem pelayanan kesehatan yang bagus, mengapa tidak membaginya dengan negara tetangga? Izinkan warga Depok dan Bekasi dirawat di rumah sakit umum di Jakarta dan sebagai gantinya daerah pinggiran kota akan mengizinkan jalur MRT dan bus melampaui batas Jakarta? Mengapa tidak bekerja sama membangun fasilitas pengolahan limbah bersama? Jakarta punya uang tapi tidak punya ruang (untuk fasilitas seperti itu),” ujarnya.

Tahun ini, Jakarta memiliki anggaran tahunan sebesar Rp81 triliun sementara kota-kota tetangganya, Tangerang dan Bekasi, masing-masing memiliki anggaran sebesar Rp5,3 triliun rupiah dan Rp6,3 triliun rupiah.

“Mengapa tidak mengalokasikan sebagian dana Jakarta untuk membantu negara-negara tetangga, misalnya, membangun jaringan transportasi umum yang lebih baik sehingga masyarakat tidak harus selalu bergantung pada kendaraan pribadi yang pada akhirnya mengurangi kemacetan lalu lintas baik di pinggiran kota maupun di Jakarta,” kata Joga.

Para ahli mengatakan kerja sama tersebut menjadi lebih penting dibandingkan sebelumnya, mengingat Jakarta bukan lagi ibu kota Indonesia. “Sebelumnya, daerah seperti Bogor misalnya, terdorong untuk melakukan revitalisasi daerah resapan air karena mereka tahu hal ini akan berdampak pada pengambil keputusan di Jakarta. Istana kepresidenan misalnya bisa kebanjiran jika mereka tidak melakukan sesuatu,” kata Firdaus Ali, ketua lembaga pemikir Institut Air Indonesia yang berbasis di Jakarta, kepada CNA.

Firdaus mengatakan badan tersebut harus mampu menemukan solusi yang menguntungkan Jakarta dan daerah sekitarnya. Dia mengatakan hal ini dapat memberikan pendanaan dan insentif bagi daerah pinggiran kota untuk melestarikan daerah tangkapan air, mengambil tindakan terhadap industri yang mencemari saluran air atau membangun bendungan dan waduk.

“Dewan aglomerasi ini harus mendobrak hambatan administratif. Mereka perlu menyelesaikan masalah ini dengan seadil-adilnya sehingga solusinya bisa saling menguntungkan bagi semua orang.”

Back to top button