Kanal

Empat Pertanyaan yang Merisaukan Wali Sufi Ibrahim bin Adnan


“Ya Ibrahim, kau minta pada-Ku untuk melindungimu dari dosa, dan semua hamba-Ku pun berdoa serupa. Jika Kukabulkan doa kalian, kepada siapa gerangan nanti akan Kutunjukkan rasa belas kasih-Ku, dan kepada siapa akan Kuberikan ampunan-Ku?”

 

Ibnu al-Mulaqqin dalam “Tabaqat al-Aulia” menjelaskan bahwa Ibrahim bin Adham adalah orang yang sangat rajin dan kreatif. Ia selalu makan dengan hasil keringat dan usaha sendiri. Sementara Abu al-Lais as-Samarkandi dalam “Tanbih al-Ghafilin” bercerta tentang sepetak pengalaman hidup Ibrahim bin Adham.

Suatu ketika ada seseorang yang hendak berbincang dan meminta bertemu dengannya. Sayang, Ibrahim menolak menerimanya. Ia mengaku tengah dirisaukan empat perkara dan hari itu empat hal itu begitu membuatnya pusing.

Hal itu membuat murid-muridnya bertanya,”Guru, apakah masalahnya?”

Ibrahim pun menjawab. “Pertama, aku selalu berpikir tentang Hari Pembalasan. Allah menetapkan seseorang berada di Sorga, sementara lainnya di Neraka. Yang menjadi pertanyaanku, aku akan termasuk golongan yang mana?”

“Kedua, aku berfikir tentang keputusan Allah kepada sebentuk janin di dalam kandungan ketika diberikan ruh. Kemudian malaikat yang bertugas bertanya kepada Allah,” Wahai Tuhanku, anak ini kelak akan menjadi orang beruntung atau orang yang celaka? Pada waktu itu (saat aku pun janin), aku tak mengetahui apa yang menjadi jawaban untukku.”

“Ketiga, ketika malaikat pencabut nyawa telah datang, lantas bertanya kepada Allah, ”Apakah orang ini mati dalam keadaan Muslim atau kafir? Aku pun rasanya tak akan mengetahui jawaban untukku.”

“Keempat, ketika aku merenungi ayat ini: “Dan (dikatakan kepada orang-orang kafir): Berpisahlah kamu (dari orang-orang mukmin) pada hari ini, hai orang-orang yang berbuat jahat.” (QS Yassin: 59). Lantas aku bertanya kepada diriku sendiri,”Termasuk golongan yang manakah aku?”

                                                         ***

Konon, di dini hari usai thawaf dalam sebuah ritual haji, Ibrahim bin Adham berdoa “Ya Allah, lindungilah diriku dari perbuatan dosa terhadap-Mu.”

Tiba-tiba, terdengar suara menjawab Ibrahim. “Ya Ibrahim, kau minta pada-Ku untuk melindungimu dari dosa, dan semua hamba-Ku pun berdoa serupa. Jika Kukabulkan doa kalian, kepada siapa gerangan nanti akan Kutunjukkan rasa belas kasih-Ku, dan kepada siapa akan Kuberikan ampunan-Ku?”

                                               ***

Imam al-Ashbihani dalam “Hilyah al-Awliya” bercerita, suatu ketika Ibrahim bin Adham merasa berada dalam sebuah kenikmatan. Ia merasa Allah telah menakdirkan sesuatu yang begitu baik kepadanya.

Dalam perasaan syukur yang dalam, Ibrahim berkata,”Ya Allah, andaikan Engkau memberikan kepada seseorang di antara pecinta-Mu sesuatu yang membuat hati mereka tenang sebelum perjumpaan dengan-Mu, maka berikanlah kepada-Ku hal itu.”

Setelah berbicara demikian, Ibrahim pun tidur. Dalam tidurnya Ibrahim bin Adham memimpikan Allah yang hadir ke hadapan dan menyampaikan sindiran.

“Wahai Ibrahim! Tidakkah kau malu kepada-Ku? Engkau meminta-Ku untuk memberikan kepadamu sesuatu yang menenangkan hatimu. Apakah hati seorang kekasih bisa tenang dengan sesuatu selain kekasihnya? Ataukah seorang pecinta bisa nyaman karena sesuatu selain yang dicintainya?”

                                               ***

Dalam kitab “Jami’ Bayanil ‘Ilmi Wa Fadhlihi”, Ibnu Abdil Bar menulis, suatu hari Ibrahim bin Adham berjalan melewati sebuah pasar di Kota Bashrah. Seketika, tanpa ia ingini, orang-orang pun mengerumuninya.

Di antara mereka memaksa bertanya,”Wahai Abu Ishaq, mengapa kami telah lama berdoa namun tidak kunjung dikabulkan juga?”

Ibrahim menjawab,”Semua itu karena hati kalian semua telah mati, akibat 10 hal.”

Mereka bertanya, “Apakah 10 hal tersebut?”

Jawab Ibrahim,”Pertama, kalian mengenal Allah, namun kalian tidak memberikan hak-hak-Nya.”

“Kalian telah mengaku mencintai Rasulullah SAW, namun kalian justru meninggalkan jalannya.”

“Kalian membaca Alquran, namun tidak pernah mengamalkan apa yang ada di dalamnya.”

“Kalian makan dan menikmati semua nikmat Allah, namun kalian tidak pernah mensyukurinya.”

“Kalian mengatakan bahwa syetan itu musuh terbesar kalian, namun kalian terus mengikuti semua amalannya.”

“Kalian mengatakan Jannah atau Sorga itu ada, namun kalian tidak pernah tekun beramal untuk mendapatkannya.”

“Kalian mengatakan Neraka itu benar adanya, namun setapak pun kalian tidak lari darinya.”

“Kalian mengatakan bahwa kematian itu benar dan akan kalian alami, namun pernahkah dengan sungguh-sungguh kalian menyiapkan bekal untuk menghadapinya?”

“Kalian terjaga dari tidur, namun yang kalian lakukan hanya sibuk dengan aib manusia lain dan melupakan aib-aib diri kalian sendiri.”

“Kalian memakamkan orang-orang yang wafat, namun tak pernah kalian mengambil pelajaran dari mereka.” [dsy, dari beberapa buku Islam klasik]

 

Back to top button