Kanal

Eksploitasi Anti-China Masih Jadi Isu Seksi Saat Pemilu Nanti

Insiden di bulan Januari lalu yang melibatkan perusahaan pertambangan milik China di Morowali, Sulawesi Tengah bisa menjadi pemicu bagi oportunis politik untuk mengeksploitasi sentimen anti-China menjelang pemilu 2024. Isu ini masih seksi meskipun akan memperburuk sentimen tersebut di masa mendatang.

Pada 14 Januari, seorang pekerja Indonesia dan seorang pekerja China tewas dalam aksi protes besar di pabrik Gunbuster Nickel Industry. Smelter milik Jiangsu Delong Nickel Industry China itu berada di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.

Pekerja menuntut kondisi keselamatan dan upah yang lebih baik. Protes tersebut merupakan yang terbaru dari serangkaian bentrokan di kawasan industri di Sulawesi ini. Hal ini terjadi lantaran di pulau tersebut mengalami ledakan investasi dalam penambangan nikel, seiring peningkatan permintaan kebutuhan komponen vital baterai untuk kendaraan listrik, sebuah industri yang ingin dikembangkan di Indonesia.

Dua peneliti National Chengchi University, Taiwan, yakni Deasy Simandjuntak dan Aswin Lin mengungkapkan insiden ini menyoroti pentingnya pemantauan pemerintah terhadap kondisi kerja di Tanah Air. Hal ini mengingat ketika kekerasan terjadi, akan memperburuk sentimen negatif yang lebih luas tentang investasi China di Indonesia.

“Menjelang pemilu 2024, ada risiko insiden semacam itu dapat dimanfaatkan oleh elemen-elemen yang mungkin ingin mengobarkan sentimen anti-Tiongkok demi keuntungan politik,” ungkapnya, seperti mengutip blog ISEAS-Yusof Ishak Institute, Fulcrum yang juga dikutip CNA.

Deasy Simandjuntak merupakan Associate Fellow di ISEAS – Yusof Ishak Institute, Singapura, dan Asisten Profesor di National Chengchi University, Taiwan. Sementara Aswin Lin adalah kandidat PhD di International Doctoral Program in Asia-Pacific Studies, di National Chengchi University, Taiwan.

Stereotip tentang orang Tionghoa tetap kuat

Kampanye pemilu di beberapa negara penerima investasi China di Asia akhir-akhir ini banyak yang menyuarakan retorika anti-China. Pada tahun 2018, oposisi di Malaysia dan Maladewa memenangkan pemilihan setelah mengkritik kebijakan pro-China yang dilakukan pemerintah berkuasa.

Selama pemilu Indonesia 2019 lalu, calon presiden Prabowo Subianto sempat menyesalkan keputusan pemerintah yang mengizinkan masuknya banyak pekerja China ke Indonesia. Ini adalah strategi kampanye yang sensitif karena para pemilih dapat menggabungkan kritiknya dengan kebencian yang sudah berlangsung lama terhadap dominasi ekonomi etnis Tionghoa. Khusus untuk pendukung konservatif Prabowo, penyatuan seperti itu akan memperkuat agenda sektarian mereka.

Menurut Deasy dan Aswin, sektarianisme, terutama yang disebabkan oleh prasangka terhadap orang Indonesia Tionghoa, hingga saat ini masih tetap hidup. Dalam sebuah studi, lebih dari 50 persen responden dalam Proyek Survei Nasional Indonesia 2022, misalnya, percaya bahwa orang Tionghoa Indonesia ‘mungkin masih memiliki loyalitas terhadap China’. Temuan ini menunjukkan bahwa stereotip tentang orang Tionghoa Indonesia tetap kuat.

“Karena kritik terhadap kebijakan pro-China dari Presiden Joko Widodo mendorong beberapa retorika kampanye oposisi 2019, ada kemungkinan taktik semacam itu akan digunakan terhadap calon presiden 2024 mana pun yang memiliki pandangan yang sama. Para politisi ini mungkin mengabaikan risiko mengobarkan sentimen untuk memicu dukungan bagi kandidat mereka sendiri,” tambah keduanya.

Tak lama setelah insiden Januari di Morowali itu, Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Anwar Abbas menduga bahwa ‘apa yang diekstraksi China jauh lebih banyak daripada yang mereka laporkan kepada pemerintah’. Artinya ia pada dasarnya menuduh bahwa perusahaan China mungkin terlibat dalam kesalahan. Pada 2020, Abbas sempat menyinggung Omnibus Law (tentang penciptaan lapangan kerja) sebagai upaya menarik investasi asing dari China.

Secara terpisah, anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mulyanto mengklaim bahwa pemerintah ‘lunak terhadap investor China dan keras terhadap pekerja lokal’. Dia mendesak agar izin Gunbuster Nickel Industry dicabut jika melanggar aturan.

Derasnya arus masuk pekerja China

China adalah salah satu investor terbesar Indonesia, dengan investasi US$3,2 miliar pada 2022. China telah menjadi mitra dagang terbesar Indonesia selama sembilan tahun terakhir, dengan volume perdagangan 2022 mencapai US$124,3 miliar. Kecenderungan ini menyebabkan masuknya pekerja tamu China secara terus-menerus, yang kini berjumlah sekitar 44,34 persen (sekitar 42.900) dari seluruh pekerja asing di Indonesia.

Beberapa kritikus telah mengaitkan kekhawatiran seputar jumlah pekerja China dengan sentimen anti-China. Pada 2021, Mulyanto, yang komisi parlemennya membawahi sektor energi dan industri, sempat menyinggung Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Panjaitan yang bertanggung jawab atas arus masuk warga China itu. Klaim Mulyanto bahwa para pekerja ini tidak terampil disuarakan oleh politisi PKS lainnya yang juga menyayangkan keputusan pemerintah untuk mengizinkan mereka masuk di tengah pembatasan COVID-19.

Pada pertengahan 2022, mantan Gubernur Jakarta dan mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Sutiyoso menyatakan kekhawatirannya bahwa para pekerja China ini tidak akan pernah kembali ke China. Dia menambahkan bahwa mereka akan berkembang biak di Indonesia dan orang-orang keturunan Tionghoa akan mendominasi negara tersebut, dengan menyebut Malaysia dan Singapura sebagai contoh.

Narasi lama bangkitnya komunis

Masih menurut Deasy dan Aswin, ketakutan anti-China seperti itu menggambarkan hambatan yang terus-menerus dalam pengelolaan masalah etnis di Indonesia. “Selama beberapa elit politik memperlakukan orang Tionghoa Indonesia sebagai orang luar yang jumlah dan akses ke pekerjaan atau sumber daya tertentu harus dibatasi, sektarianisme akan tetap ada,” jelas Deasy.

Secara terpisah, masalah pekerja China telah dimasukkan ke dalam narasi yang mengerikan tentang ancaman komunis. Sekitar 46,4 persen dari 1.000 responden dalam jajak pendapat tahun 2021 percaya bahwa komunisme dapat dihidupkan kembali di Indonesia.

Meskipun pertanyaan survei mungkin bias, dengan sebagian besar pilihan terkait China, responden mengaitkan kemungkinan ini dengan sejumlah besar pekerja China (dipilih oleh 12,3 persen), ketergantungan Indonesia pada vaksin COVID-19 China (11,8 persen), keinginan China untuk mencaplok perairan Natuna (9,4 persen), dan kendali China atas ekonomi Indonesia (9 persen).

Sebelumnya, 26 persen dari 1.203 responden dalam jajak pendapat tahun 2020 oleh lembaga berbeda percaya bahwa hubungan China-Indonesia dapat menghidupkan kembali komunisme.

Bisa jadi beberapa politisi dan pendukung mereka akan kembali mengeksploitasi sentimen anti-China untuk mendapatkan suara pada 2024. Ini adalah isu yang seksi yang tentu saja akan memperburuk sentimen tersebut di masa mendatang.

Back to top button